Sikap Toleransi Khalifah Umar Bin Khatab Kepada Agama Lain

sikap toleransi khalifah umar

Pecihitam.org – Saat sahabat Sayidina Umar Bin Khattab ra. memegang amanah sebagai khalifah, ada sebuah kisah dari beliau yang patut kita teladani mengenai sikap toleransi. Kisah ini ialah ketika Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium Romawi Timur pada Februari 638 M. Tidak ada sama sekali kekerasan yang terjadi dalam penaklukan kota Jerusallem ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Singkat cerita, Ketika itu penguasa Jerusalem adalah , Patriarch Sophorinus. Ia menyerahkan kunci kota dengan begitu saja kepada khalifah Umar Bin Khatab. Suatu hari, Khalifah Umar dan raja Sophorinus memeriksa sebuah gereja tua yang bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, khalifah Umar ditawari shalat di dalam gereja itu oleh sang raja. Umar menolak seraya berkata:

“Jika saya shalat di dalam gereja ini, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di sini.”

Khalifah Umar kemudian mengambil sebuah batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu itu jatuh kemudian beliau melaksanakan shalat. Umar Bin Khatab setelah itu memastikan bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak sampai kapanpun. Dan tetap terbuka untuk peribadatan ummat Nasrani.

Baca Juga:  Kisah Hafshah Binti Umar Hingga Akhirnya Menjadi Istri Nabi

Sikap toleransi khalifah Umar Bin Khatab ini kemudian diabadikan dalam sebuah piagam perdamaian. Piagam itu di beri nama Al-‘Uhda Al-Umariyyah yang isinya sama dengan Piagam Madinah. Di bawah kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khatab ra. hak dan kewajiban mereka ( umat Nasrani ) dijamin serta dilindungi. Sehingga tidak heran jika kemudian sebagai balas budi itu,Raja Sophorinus juga menyatakan jaminannya.

“Kami tidak akan mendirikan Monastery, Gereja, atau tempat peribadatan baru di kota dan pinggir kota kami. Dan kami juga akan menerima para musafir Muslim ke rumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam. Kemudian kami tidak akan mengucapkan ucapan selamat yang digunakan umat Muslim. Serta kami tidak akan memasang salib di jalan-jalan atau pasar-pasar milik umat Islam.”

Itulah sikap toleransi yang diajarkan Khalifah Umar Bin Khatab. Ternyata dengan saling menjaga toleransi beragama dan sosial akan lebih berdampak baik kepada umat. Sedangkan jika antar golongan saling merasa benar sendiri akan menyebabkan sikap menang sendiri dan menimbulkan ekstrimitas di kalangan ummat.
ㅤㅤ
( Al-Tabari, Tarikh Al-Umam wa al-Muluk; dan juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar Ibn Al-Khattab Trans Yohanan Fiedmann, Albay, 1992, p 191 )

Bukan saja Khalifah Umar ra. yang melakukan sikap toleransi antar beragama yang diajarkan dalam Islam. Para sahabat Nabi yang mulia lainnya juga banyak yang mengimplementasikannya dalam berbagai sisi kehidupan dan bermasyarakat (muamalah). Seperti halnya dalam hal jual beli dan urusan bisnis lain, yang tidak bertentangan langsung dengan syariat Islam. Contohnya saja Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Nabi yang terkemuka. Beliau memulai usaha di hari-hari pertamanya ketika tiba di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa, milik orang – orang Yahudi (Shahih Bukhari, no. 3780).

Sahabat Ali bin Abi Talib ra. beliau menantu Nabi Muhammad SAW, sebagian persiapan dalam acara walimahnya ditangani oleh orang dari Bani Qainuqa. (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan ternyata dalam riwayatnya, Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju perangnya dengan 30 sha’ gandum kepada seorang bangsa Yahudi dari Bani Zhafar bernama Abu Syahm. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid tujuh hal. 461).

Jika Rasulullah SAW dan para sahabatnya saja begitu banyak mengajarkan sikap toleransi. Alangkah bodoh dan sombongnya kita sebagai ummatnya Nabi jika selalu merasa paling benar sendiri. Sikap toleransi dan menghargai keyakinan orang lain bukan berarti menggadaikan keyakinan sendiri. Justru sikap itu sebagai wujud kesungguhan dan keimanan kita dalam beragama dan juga sebagai wujud kasih sayang sesama makhluk Tuhan. Wallahu’alam Bisshawab.

Baca Juga:  FKUB Makassar Bumikan Toleransi Umat Beragama di Lorong Wisata
Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *