Simpanan Berharga, Warisan Tuan Guru Bangil untuk Aswaja

Simpanan Berharga, Warisan Tuan Guru Bangil untuk Aswaja

Pecihitam.org – Tuan Guru Bangil, demikian KH. M. Syarwani Abdan dikenal. Lahir 1915 M/1334 H di Kampung Melayu Ilir Martapura Kalsel dan wafat di Bangil pada 11 September 1989 M/12 Safar 1410 H.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selain mewariskan ilmu lewat pengajaran di Pondok Pesantren Datuk Kalampayan yang beliau dirikan pada 1970 di Bangil dan Majelis Ta’lim, Tuan Guru Bangil juga produktif menulis.

Uniknya, beliau melahirkan beberapa karya justru dengan bahasa Indonesia. Simpanan Berharga adalah judul salah satu karya beliau dan ini yang paling terkenal.

Buku setebal 144 halaman yang berisi dalil-dalil serta metode pendalilan (istidlal) yang mengungkap kebenaran amaliah Aswaja. Buku ini adalah warisan berharga untuk umat Islam penganut manhaj Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia.

Buku Simpanan Berharga yang dijadikan referensi tulisan ini adalah edisi tahun 2003 yang dibagikan gratis pada haul Tuan Guru Bangil ke-14, 20 April 2003. Seperti apa isinya? Mari kita telaah bersama.

Disambut Dan Dihargai Para Ulama

Meski diterbitkan dalam bentuk buku berbahasa Indonesia, Simpanan Berharga sejatinya adalah sebuah terjemah dari kalimat Bahasa Arab, Adz-Dzakhirus Tsaminah Li Ahlil Istiqomah (Simpanan Berharga Untuk Orang-Orang Yang Lurus).

Dicetak pertama kali pada tahun 1967, buku yang membahas empat masalah amaliah Aswaja ini mendapatkan sambutan dan pengantar beberapa Tokoh Islam Nasional.

KH. Machrus Aly, ulama besar dari Pondok Pesantren Lirboyo berpendapat bahwa buku Simpanan Berharga Guru Bangil ini Insya Allah sangat berharga dan berguna sekali apabila kita pelajari isinya dan diamalkan. Beliau berpesan agar jangan sampai terhalang mempelajarinya. 

Menteri Agama era buku ini ditulis, KH. Saifuddin Zuhri menegaskan para pembaca buku ini tidak usah meragukan dan siapapun yang ingin mengadakan perbandingan tidak akan mengalami kesukaran, karena dalil-dalilnya sangat jelas. 

KH. Idham Chalid, sebagai Ketua Umum PBNU, menyatakan Al-Mukarram KH. M. Syarwani Abdan seorang diantara alim ulama yang betul-betul representatif, baik ilmu maupun amal dan perjuangannya dalam mengajar, menyebarkan, dan membela kebenaran faham dan amaliah madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Beliau menyampaikan buku ini memberikan dasar-dasar ilmiah yang kuat atas amaliah kita Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini. Sekaligus juga menyangkal sangkaan dan dakwaan orang bahwa persoalan tahlil, talqin, dan tawassul, dan sebagainya itu, kita kerjakan hanya karena warisan bid’ah nenek moyang yang kita “taqlid buta” pada mereka, dan tidak mempunyai dasar hukum (Al-Qur’an dan Al-Hadits) sama sekali.

Rektor IAIN Sunan Ampel, Prof. TK. H. Ismail Ya’kub ketika diminta memberikan kata sambutan, malah menulis “Kata Penghargaan”. Ini lebih layak kata beliau setelah memperhatikan kesudian dan kesungguhan penulis “Simpanan Berharga” dalam memaparkan (kebenaran) masalah yang menjadi amalan Ahlussunnah Wal Jama’ah, sehingga menghilangkan segala keraguan (dalam mengamalkannya).

Berawal Dari Isi Kuliah

Simpanan Berharga, menurut Tuan Guru Bangil dalam Prakata, sebagian besar isinya telah dikuliahkan di hadapan kader-kader umat Islam yang beliau adakan di daerah Bangil dan sekitarnya (hal.xi). 

Diterbitkan dalam bentuk karangan singkat dimaksudkan untuk menangkis serangan yang dilancarkan secara tajam oleh pihak-pihak atau “kiyai-kiyai muda” yang secara sembrono memberikan “fatwa-fatwa” seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu itu telah memberikan jalan yang sesat pada kita.

Dengan adanya buku ini dan setelah membacanya dengan teliti, mudah-mudahan dapat merobah cara berfikir mereka dan kembali ke jalan yang benar dan diridhai oleh Allah SWT (hal.140).

Kendati berisi bantahan atas tuduhan salah dan sesat terhadap amaliah Aswaja, Tuan Guru Bangil mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan, karena segala masalah yang dibahas dalam buku ini semuanya (hanya semata) menunjukkan pegangan bagi Ahlususnnah Wal Jama’ah (hal.141). Bukan untuk saling mengalahkan terhadap pihak lain.

Baca Juga:  Kitab Shahih Ibnu Hibban Karangan Imam Ibnu Hibban

Empat Pokok Bahasan

Ada empat bahasan pokok dalam Simpanan Berharga Tuan Guru Bangil, yaitu: Bacaan Dan Do’a Untuk Mayit, Bershadaqah Untuk Mayit, Talqin Untuk Mayit, Dan Tawassul.

1. Bacaan Dan Do’a Untuk Mayit.

Membahas tentang Bacaan Dan Do’a Untuk Mayit, Tuan Guru Bangil memaksudkan sebagai jawaban dari pertanyaan, “Apakah si mayit mendapat manfaat dengan amal orang lain?”.

Bahasan diawali dengan mengemukakan hadits riwayat Abi Utsman yang dinilai shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim. Yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam, “Bacakan Yasin atas segala orang yang meninggal diantara kamu“.

Kendati awalnya Tuan Guru Bangil menilai status hadits lemah (hal.34), namun beliau memberikan argumentasi kenapa hadits tersebut harus dipakai (diamalkan).

Argumentasi dibagi dalam empat bahasan, yaitu mengenai kedudukan dan jalan riwayat, hal-hal yang menguatkan, keterangan beberapa ulama Muhadditsin, dan pengertian “mautakum” (orang yang meninggal) dalam redaksi hadits. 

Kesimpulan bahasan, kedudukan hadits tersebut menjadi kuat dan dapat dijadikan hujjah (argumen) dalam beramal (hal.50. Bahwa manfaat bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk si mayit tidak terbatas pada surah Yasin dan Qul Huwallahu Ahad (surah Al-Ikhlas) saja.

Bahwa bacaan dan kemudian berdo’a untuk minta sampaikan pahalanya bagi si mayit dapat dilakukan di atas kuburan, maupun di rumah atau masjid dan sebagainya, baik secara perorangan maupun berkumpul/berjamaah (hal.55).

2. Bershadaqah Untuk Mayit.

Kendati masih mirip dengan tema sebelumnya, namun lebih fokus kepada shadaqah-nya. Berbeda dengan sebelumnya yang fokus pada ke-absah-an bacaan sebagai bentuk sedekah.

Karenanya yang dibahas dalam bab ini adalah sedekah dalam bentuk makanan dan sedekah dalam bentuk amal kebaikan secara umum.

Sedekah dalam bentuk makanan yang dibahas adalah makanan ala kadarnya yang umumnya dihidangkan pada upacara selamatan, tahlilan, dan lainnya yang telah mentradisi pada umat Islam Aswaja.

Ada empat hadits yang dibahas sebagai istidlal atas kebenaran tradisi ini. Dimulai dari menelusuri perawi dan status periwayatannya, kemudian dilanjut dengan membahas redaksi matn hadits.

Beberapa redaksi yang kelihatan saling bertentangan dibahas penulis untuk menemukan benang merah dan titik kompromi, berpegang pada prinsip yang dikemukakan Ibn Hazm dalam Al-Muhalla, “Mengumpulkan (mengompromikan) ucapan-ucapan Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam- sebagian dengan sebagian yang lain adalah wajib“. 

Sementara, bahasan tentang sedekah dalam bentuk amal kebaikan penulis mengemukakan lima hadits. Yaitu hadits sampainya pahala sembahyang dan puasa yang diriwayatkan Imam Ad-Darquthni, hadits sampainya pahala puasa riwayat Imam Muslim, hadits sampainya pahala haji riwayat Imam Al-Bukhari, juga hadits riwayat Abu Daud, Ibn Hibban dan Al-Baihaqi, dan hadits membayarkan hutang mayit dari Jabir radhiyallahu ‘anh.

Kesimpulan bahasan ini setiap sedekah untuk mayit baik makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang syariat Agama Islam (hal.74). Bahwa yang dilarang (haram) adalah berkumpul dan membuatkan makanan untuk meratap dengan disertai memukul-mukul muka dan merobek baju (hal.75).

Inilah yang dimaksud dengan “niyahah” yang dilarang dalam atsar Jarir bin Abdillah, “Adalah kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul ke tempat ahli mayit dan disertai jamuan/makanan untuk mereka oleh ahli mayit itu termasuk niyahah”. Bukan acara tahlilan dan jamuan untuk tahlilan.

3. Talqin Untuk Mayit.

Talqin yang dimaksud adalah upacara pembacaan talqin diatas kubur mayit. Upacara yang dinilai sebagian pihak sebagai bid’ah dhalalah.

Bahasan dimulai Tuan Guru Bangil dengan mengemukakan hadits riwayat Imam Thabrani dari Abi Umamah Al-Bahili yang berisi perintah untuk membacakan talqin terhadap seseorang setelah selesai penguburan.

Baca Juga:  Sunan Abu Dawud, Kitab Hadits Karya Imam Abu Dawud

Kendati hadits tersebut dinyatakan dha’if (lemah) karena diantara Rawinya ada yang kurang kuat, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah (hal.78), namun karena ada riwayat lain yang menguatkan maka ia dapat dijadikan hujjah.

Beberapa penguat yang dikutip KH. M. Syarwani Abdan adalah atsar dari Hakim bin Umair bahwa para sahabat mengerjakan talqin, hadits dari ‘Amr bin ‘Ash riwayat Imam Muslim (shahih) yang meminta agar para pengantar jenazah jangan segera pulang serta berdiri di sekitar kuburnya karena dapat memberi ketenangan dan ketabahan bagi mayit yang baru dikuburkan, hadits shahih riwayat Abu Daud yang menyuruh agar kita memintakan ampun dan ketenangan dalam menjawab pertanyaan di dalam kubur bagi mayit, dan hadits riwayat Ibn Abi Dunia.

Tuan Guru Bangil juga mengemukakan bahwa sebagian ulama hadits menjelaskan yang dimaksud dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim, “Tuntunlah seseorang yang meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illa Allah” adalah orang yang telah meninggal, sesuai redaksi asli hadits, meskipun ada makna majazi (dan ini yang umumnya ditulis penerjemah) yaitu “orang yang akan meninggal dunia” (hal.86).

Pada hakikatnya, tulis Tuan Guru Bangil (hal.86), talqin tidaklah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati (mayit), tapi sekedar memberi ketenangan/ketabahan dalam kubur, seperti tersebut dalam Al-Qur’an, “Peringatkanlah olehmu, karena sungguh peringatan itu bermanfaat bagi orang beriman” (QS Adz-Dzaariyat : 55).

4. Tawassul.

Tawassul adalah meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan disertai ucapan :

  • Dengan berkat fulan, atau
  • Dengan berkat kebesaran Fulan, atau
  • Dengan sesuatu amal, atau
  • Dengan sesuatu ayat, atau
  • Dengan berkat shalawat,
  • Dan lain-lain.

Cara-cara demikian tidak ada larangan dalam agama Islam, karena setiap Muslim tetap berkeyakinan dan percaya, bahwa semuanya itu -apa saja- hanyalah merupakan sebab belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa; sedang yang berkuasa serta yang mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang lain kecuali Dia (hal.88).

Sebagaimana kita telah maklum, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala terkadang menjadikan sesuatu sebagai sebab untuk terjadinya sesuatu (yang lain). Contohnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :

Dan seandainya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan atas mereka beberapa berkah dari langit dan bumi“. (QS Al-A’raf : 96).

Dalil-dalil Tawassul yang dikemukakan Tuan Guru Bangil adalah dalil Tawassul sebelum dan saat jaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam belum wafat, diantaranya riwayat Tawassul Nabi Adam, riwayat Tawassul pada sahabat sesudah Nabi wafat, dan riwayat Tawassul para ulama, yaitu Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Al-Ghazali.

Bahasan tentang Tawassul diperlengkap dengan bahasan tentang Tabarruk (mengharap keberkahan), yaitu Tabarruk dengan Nabi Muhammad, dengan orang besar lainnya, dengan ayat atau bacaan, dan dengan hal/benda lainnya. 

Akhir bab ini Tuan Guru Bangil membahas tentang keramat para Wali Allah dan bahaya memusuhi para Wali.

Metode Pendalilan (Istidlal).

Bagian terpenting dalam kitab Simpanan Rahasia Tuan Guru Bangil ini adalah tentang metode istidlal. Yaitu bagaimana caranya menelusuri berbagai riwayat untuk kemudian menetapkan sebagai dalil atau suatu perbuatan/amal. 

Pengetahuan atas metode ini sangat penting karena umumnya perbedaan antara Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan kelompok lain yang gemar menyalahkan dan menuduh sesat adalah karena berbeda dalam metode istidlal. Terutama mereka yang menganut metode cukup dengan terjemah dan pemahaman tekstual. 

Pentingnya mengenal metode istidlal Aswaja membuat Tuan Guru Bangil menempatkan bahasan ini pada bagian pertama isi buku.

Bahasan dimulai dengan prinsip-prinsip (qaidah) Ilmu Hadits, diantaranya:

  1. Jika diantara sahabat Nabi mengucapkan perkataan yang menyangkut persoalan yang tidak bisa di-ijtihad-i (seperti berkaitan dengan akhirat), maka ucapan tersebut dianggap bersumber dari Nabi. Karena tidak mungkin sahabat Nabi mengarang sendiri tanpa ada informasi dari Nabi.
  2. Jika seorang Tabi’in Besar membawa kata, “Dahulu para sahabat Nabi melakukan….”, maka para ulama ahli Hadits dan Ushul Fiqh memandang perkataan tersebut mengandung dua unsur, yaitu unsur marfu’ (bersumber dari Nabi) dan unsur Ijmak (kesepakatan) para sahabat.
  3. Hadits Dha’if (lemah) bila berkaitan dengan pahala dan siksa, selama tidak terkategorikan maudhu’ (palsu), maka para ulama Muhadditsin membolehkan bahkan mensunnahkan mengamalkannya, dengan alasan ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama).
Baca Juga:  Musnad Imam Asy Syafii Kumpulan Hadits Riwayat Imam Syafii

Dalam istidlal, seorang Mujtahid dapat mengangkat status suatu hadits yang disepakati para huffazh (penggal hadits) sebagai hadits dha’if ke derajat hadits shahih (hal.13). Ini adalah cara yang tidak diketahui para huffazh (yang hanya mengandalkan hafalan).

Hal ini memberi pengertian bahwa seorang Mujtahid kadang mempunyai suatu cara ijtihadiyah dapat menganggap suatu hadits yang diposisikan dhaif sebagai (setara) hadits shahih.

Ini adalah titik beda antara Aswaja dengan aliran lain yang justeru bersikap sebaliknya, mendhaifkan bahkan menuduh palsu hadits yang dianggap shahih oleh para penghafal hadits.

Namun, untuk men-tashih suatu hadits tidak boleh dilakukan sembarang orang. Tidak semua orang boleh men-tashih, pun sebaliknya men-dhaif-kan kedudukan suatu hadits.

Karenanya, kita tidak boleh tergesa-gesa untuk menerima perkataan “ini hadits shahih”, “ini hadits lemah”, “itu hadits palsu”.

Adanya orang yang bukan ahlinya turut campur masalah ini, orang yang menentang suatu hadits hanya karena tidak cocok dengan hawa nafsunya, dan orang-orang yang begitu gampang memasukkan hadits-hadits ke dalam kategori hadits palsu, adalah problem terbesar masalah istidlal ini.

Karenanya kita perlu memperhatikan dan menyoroti ketika ada yang berbicara mengenai kedudukan suatu hadits.

Khatimah

Demikian sekilas telaah atas buku Simpanan Berharga susunan Tuan Guru Bangil yang membawa kita menemukan garis kebenaran  amaliah Aswaja yang selama ini sering disalahkan, dituduh bid’ah dhalalah (sesat), bahkan pelakunya kadang dikafirkan oleh kelompok-kelompok yang tidak memahami metode istidlal Aswaja.

Buku Simpanan Berharga Guru Bangil semestinya ditelaah dan dipelajari oleh setiap penuntut ilmu agama, agar tidak hanya taklid buta atas suatu amalan yang diwarisi dari para ulama, tapi juga mengetahui dalilnya, bahkan memahami bagaimana cara berdalil (istidlal).

Guru Bangil mengaku merasa sangat berbahagia sekali jika sekiranya buku ini dapat dipelajari dengan sadar oleh setiap umat Islam, terutama bagi setiap siswa di madrasah-madrasah yang ingin memperdalam Ilmu Agama (hal.xii).

Beliau berpesan agar angkatan yang mendatang dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah dapat mempelajari masalah pokok dari karangan ini dengan baik dan seksama, agar tidak ragu-ragu lagi dan meyakini benar akan kebenaran fatwa-fatwa ulama-ulama kita yang terdahulu, yang telah mempunyai kedudukan sebagai Waratsatul Anbiya. 

Nasehat Tuan Guru Bangil, “Angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai sesuatu perkara agama, jangan dianggap mudah dan dipermudah, tapi hendaknya ditanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui tentang urusan agama jika sekiranya tidak mengetahui” (hal.141).

Ust. Khairullah Zainuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *