Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Mata Gus Dur

cak nurcholish madjid

Pecihitam.org – Gus Dur tipikal esais yang sering menuliskan hal-hal yang dijumpai dalam suatu perjalanan ataupun perjumpaan dengan sosok tertentu. Salah satu sosok yang pernah ditulisnya adalah cendikiawan Muslim yang bernama Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selain keduanya sama-sama cendikiawan Muslim terkemuka yang pernah Indonesia miliki, nampaknya keduanya secara personal cukup dekat. Mengingat, Cak Nurcholish Madjid sendiri merupakan sama-sama putra Jombang sebagaimana Gus Dur, cucu Mbah Hasyim, pendiri Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Pesantren Tebuireng Jombang.

Sebagai intelektual, keduanya berangkat dari titik pijak perspektif yang berbeda, meski diujungnya sama-sama mengusung Islam yang humanis. Gus Dur berangkat dari titik pijak tradisionalisme pesantren, sebab Gus Dur lahir dari lingkungan intelektual ini.

Berangkat dari titik tradisionalisme Islam itu, Gus Dur melakukan penjelajahan intelektual yang luas secara otodidak: filsafat, sastra dunia, ilmus sosial, budaya, politik, film bahkan sepakbola.

Di sisi lain, Cak Nur berangkat dari tradisi modernisme Islam, sebab ia nyantri di Gontor dan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahkan pernah menjadi ketua umumnya. Postur intelektual Cak Nur lebih tampak sebagai seorang intelektual kampus: mengikuti pendidikan yang tertib dengan bidang yang khusus.

Gus Dur tampil lebih santai dan “urakan” dengan pemikiran keislaman yang dari awal cukup eksploratif dan terbuka. Sedangkan Cak Nur menampakkan sebagai sosok intelektual formal dengan gagasan Islam modernis yang rapi dan tertib penuh dengan kutipan-kutipan akademik.

Baca Juga:  Gus Dur dan Tiga Pendekar dari Chicago

Suatu waktu Gus Dur pernah menulis khusus tentang Cak Nur di Tempo, berjudul Cak Nur: Tetap tapi Berubah. Dalam tulisan itu, Gus Dur menceritakan kesannya dari hasil kunjungannya ke tempat tinggal Cak Nur di Amerika saat kuliah doktoral di Universitas Chicago. Gus Dur melihat pada sosok Cak Nur yang dikenalnya itu ada yang tetap tapi juga ada yang berubah.

Menurut Gus Dur, sosok Cak Nur tetap memiliki pandangan yang jernih dan mencekam saat mengartikulasikannya. Kemudian, kediaman Cak Nur juga masih bernuansa sama seperti sebelumnya, seperti rumah mahasiswa di luar negeri yang sudah berkeluarga pada umumnya. Ruang tamunya juga masih sama, masih dipenuhi oleh buku-buku seperti “toko buku loakan”, kata Gus Dur.

Gaya pikiran Cak Nur juga masih sama, masih memfokuskan pada pemikiran-pemikiran dasar keagamaan. Cak Nur belum tertarik dengan isu-isu keagamaan sampingan. Cak Nur juga masih seperti dulu, pendapat-pendapatnya masih saja disertai kutipan dalil nash sebagai penguatnya.

Gus Dur mengatakan kalau cara berpakaian Cak Nur juga masih tetap seperti dulu, sederhana tidak mengikuti fashion. Selain itu, mobil Cak Nur juga masih sama seperti ketika di Jakarta. Kata Gus Dur “Cak Nur masih saja tidak mengerti tentang seluk beluk mesin dan mobilnya hanya sekedar bisa untuk jalan sehari-hari.”

Baca Juga:  Humor Gus Dur, dari Ingatan Unta hingga Presiden Gila

Selain itu, bacaan Cak Nur juga masih seputar pemikiran dasar-dasar keislaman. Ia masih berkutat dengan teologi dan filsafat. Menurut Gus Dur, di rak buku Cak Nur belum tampak koleksi sastra dunia seperti yang disukai oleh Gus Dur.

Menurut Gus Dur, meski banyak hal Cak Nur masih tetap seperti dulu, tapi di sana-sini mulai ada yang berubah. Cak Nur meski fokusnya masih tetap pada disiplin dasar-dasar keislaman, namun Cak Nur sudah beranjak dari pemikiran Rasyid Ridha dan beralih ke tradisi Asy’ariah, al-Baqilani, bahkan belakangan lagi ke Ibn Taimiyah.

Konon disertasi Cak Nur juga membahas Ibn Taimiyah. Kabarnya, Cak Nur berhasil menemukan bahwa pandangan Ibn Taimiyah itu tak sekolot kesan selama ini yang dipahami oleh ulama’-ulama’ Wahabi. Menurut Cak Nur, Ibn Taimiyah tidak menolak semua pemikiran filsafat. Ibn Taimiyah masih menerima filsafat naturalisme.

Selain itu, menurut Gus Dur, Cak Nur mulai tak puas hanya dengan lagu Indonesia Raya dan hymne Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia mulai melirik musik-musik klasik. Meski ada kemajuan selera musiknya, Gus Dur masih mengejeknya dengan mengatakan koleksi lagunya masih agak rendahan dan kurang fanatik.

Baca Juga:  Perjuangan Raden Fatah dalam Menyebarkan Agama Islam di Nusantara

Selain itu, Cak Nur juga mulai menyukai dunia fotografi dan mulai peduli dengan hal-hal detail domestik, seperti harga gas elpiji dan kulkas. Bagi Gus Dur hal itu tidaklah biasa, demikian menandakan semakin kosmopolitnya kebudayaan Cak Nur yang sebelumnya dikenal dengan tampilan formal.

Demikianlah cerita ketika Gus Dur menceritakan sosok Cak Nur yang akrab dengannya. Di mata Gus Dur, pada sosok Cak Nur ada yang masih tetap seperti sebalumnya, juga ada yang mulai berubah. Namun, semuanya masih dalam kerangka Cak Nur semakin matang dan semakin positif. Wallahua’lam.