Strategi Dakwah Walisanga Menyebarkan Ajaran Islam di Nusantara

Strategi Dakwah Walisanga Menyebarkan Ajaran Islam Di Nusantara

Pecihitam.org – Ajaran Islam di wilayah  Nusantara sebelum kemunculan Walisanga, keadaan umat Islam di penjuru wilayah nusantara saat itu,  mengalami krisis aqidah membuat Umat Islam kemunduran.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Umat Islam ketika itu, banyak melakukan kegiatan ritual keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti: menyembah berhala ,syirik dan kegiatan lainnya. Ajaran  Hindu-Budha yang melekat dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Islam selama berabad-abad lamanya.

Melihat hal ini mendorong para Walisanga menyebarkan ajaran Islam, dengan melakukan metode- metode dakwah  yang bersifat bijak, dan mereka memperkenalkan Islam tidak secara serta merta, tidak instant dan merumuskan strategi jangka panjang.

Salah satu mengembangkan ajaran Islam lewat beberapa langkah strategis, yaitu Tadrij (bertahap ), Adamul Haraj (tidak menyakitkan).

Lewat cara ini para wali membawa Islam tidak mengusik tradisi mereka, bahkan tidak juga mengusik agama serta kepercayaan mereka.

Multietnis, multibudaya dan multibahasa menjadi alasan para wali mempertahankannya disaat mereka menyebarkan ajaran Islam.

Pada masa itu, ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat sesuai adat budaya dan kepercayaan melalui proses asimilasi dan sinkretisasi.

Metode dakwah yang dibawa oleh para Walisanga tersebut demikian unikunik, dan damai membuat mereka tertarik yang akhirnya banyak di antara mereka berpindah agama  dan masuk ajaran Islam.

Ketika ajaran Islam mulai diterima dikalangan masyarakat saat itu, kebiasaan atau adat istiadat yang lama masih tetap mereka lakukan, sehingga terjadi campur baur antara kebiasaan adat istiadat ajaran Hindu-Budha dengan ajaran Islam.

Baca Juga:  Karomah Mbah Sholeh, Tukang Sapu Masjid yang Punya Sembilan Makam

Campur baur, antara ajaran Hindu-Budha, dan  ajaran Islam yang telah mengakar kuat dikalangan masyarakat membuat sulit dipisahkan, antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi ajaran Hindu-Budha.

Kemunculan Walisanga pada awal tahun 1500 M menjadi awal kebangkitan Islam di wilayah nusantara. Kebangkitan Islam di wilayah nusantara bersamaan dengan munculnya Walisanga membuat masyarakat Islam mengalami kemajuan pola hidup yang lebih baik.

Kehidupan masyarakat Islam kala itu terlihat dari pola pikir, etika, gaya hidup, meski mereka belum bisa menghilangkan tradisi,adat kebiasaan ajaran Hindu-Budha masa lalu.

Keadaan ini terjadi mengingat para Walisanga tidak menghilangkan kebiasaan- kebiasaan tradisi ajaran Hindu-Budha ketika para Walisanga menyebarkan ajaran Islam sehingga lambat laun muncul tradisi budaya baru, yaitu tradisi budaya Islam . 

Hal ini terjadi pada akhir abad ke-14, atau awal abad ke-15, yang saat itu hampir semua masyarakat di pesisir pantai utara Pulau Jawa memeluk agama Islam. Tidak lain diyakini sebagai hasil dakwah dari Walisongo.

Dakwah yang dilakukan Walisanga ketika itu mampu melakukan perubahan dari agama sebelumnya Hindu-Budha menjadi muslim dalam jangka 50 tahunan.

50 tahun tidaklah waktu yang sebentar! Lantas bagaimana strategi Walisanga sampai akhirnya disebut mampu mengislamkan semua  masyarakat di pesisir pantai utara Pulau Jawa?.

Kesemuanya itu terungkap secara jelas dalam buku, “Islam Indonesia,Islam Paripurna:Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional (Imdadun Rahmat, 2017)

Setidaknya ada 5 pendekatan dakwah yang digunakan Walisanga: Pertama, Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel yang disebut melakukan pendekatan  teologis. Mereka berdakwah sampai hingga tingkat lapisan masyarakat paling bawah.

Baca Juga:  15 Strategi Dagang Dalam Islam Yang Harus Kamu Ketahui

Cara menyebarkan ajaran Islam di kalangan bawah, yaitu: masyarakat diajari tentang nilai-nilai Islam, perbedaan antara pandangan hidup Islam dengan lainnya, serta menanamkan dasar-dasar Islam. 

Kedua, Sunan Giri yang disebut menggunakan pendekatan ilmiah, salah satunya membangun pesantren, membuat pelatihan, hingga pengkaderan, dan menugaskan muridnya untuk berdakwah  di suatu tempat.

Pendekatan lain yang sering digunakan Sunan Giri dalam berdakwah , yaitu: menciptakan permainan anak-anak mulai dari Jemblongan hingga permainan padang bulan

Ketiga, Pendekatan kelembagaan, dalam arti para wali tidak semua berdakwah di masyarakat langsung. Namun, ada juga yang berdakwah dibidang pemerintahan salah satunya Sunan Kudus.

Sunan Kudus yamg  ikut terlibat langsung dalam kesultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati. Mereka ikut serta mendirikan kesultanan dan aktif di dalamnya. Keberadaan mereka  memiliki pengaruh besar di kalangan bangsawan, birokrat, pedagang, dan lainnya.

Keempat, Sunan Muria dan Sunan Drajat dikenal cara dakwahnya  dengan pendekatan sosial. Kedua anggota Walisanga ini lebih senang hidup jauh dari keramaian dan memilih berdakwah pada masyarakat yang tinggal di desa-desa atau kampung-kampung. Meningkatkan pemahaman keagamaan menjadi sasaran Sunan Drajat dan Sunan Muria sebagai upaya meningkatkan kehidupan sosial.

Kelima yang disebut pendekatan kultural. Sunan Kalijaga dan Sunan Muria dikenal dakwahnya dalam pendekatan kultural. Islamisasi budaya dengan menyisipkan ajaran-ajaran Islam hingga muncul budaya-budaya baru yang mengandung nilai-nilai Islam.

Baca Juga:  Ayat Kursi; Sejarah Turunnya, Bacaan Lengkap dengan Latin, Arti dan Keutamaannya

Gamelan Sekaten, gapura masjid hingga baju takwo merupakan contoh dari produk budaya dari Sunan Kalijaga dan Sunan Muria di masa itu 

Saat pendekatan kultural berlangsung, budaya Hindu-Budha yang telah mengakar kuat di kalangan masyarakat kala itu membuat terjadi sinkretisme, hingga pada akhirnya akulturasi budaya baru tak bisa dihindari.

Kenyataan ini akibat,  dari penyebaran ajaran Islam yang tidak sempurna, karena tidak mencapai target aqidah dan syariah membuat munculnya akulturasi budaya

Di sisi lain perkembangan pendidikan pengajaran Islam ketika itu, masih sederhana. Terlihat dari pendidikan Pesantren-Pesantren yang tersebar di penjuru nusantara, yang masih memakai metode pendidikan tradisional dengan cara hafalan dan mengacu pada sumber refrensi buku- buku kuno, membuat sistem pendidikan menjadi kurang efektif. 

Keadaan ini berlangsung berabad-abad lamanya  baru kemudian, timbul gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Namun, bagaimanapun juga  pendekatan-pendekatan tersebut terbukti mampu mengislamkan hampir seluruh pesisir pantai utara Pulau Jawa.

Penulis: Suryatiningsih (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor: Baldan

Redaksi