Sufisme Adalah Solusi Bagi Penyakit Ekstremisme Islam dan Hati yang Kering

Sufisme Adalah Solusi Bagi Penyakit Ekstremisme Islam dan Hati yang Kering

Pecihitam.org – Ed Husain merupakan seorang muslim keturunan keluarga imigran asal Pakistan-India yang tinggal di London. Ia menulis buku yang kemudian menjadi buku best seller internasional, judulnya “The Islamist: Why I Became an Islamic Fundamentalist, What I Say Inside, and Why I Left (2009)”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Buku tersebut di kemudian hari telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan beberapa waktu silam pernah saya ulas[1]. Buku tersebut mengisahkan perjalanannya menjadi seorang ekstremis dan sekaligus menceritakan kenapa ia keluar dari gerakan ekstremisme.

Semasa muda, ia pernah terpikat dengan organisasi Hizbut Tahrir di London. Identitas diri sebagai seorang muslim yang tinggal di negeri yang sekuler seperti London membuat jiwanya krisis.

Pada masa itu, ia mengimani doktrin-doktrin Hizbut Tahrir bahwa tak sempurna keislaman seseorang jika ia belum menerapkan ajaran Islam sepenuhnya. Dalam pemahaman Hizbut Tahrir, Islam yang sempurna (kaffah) ini tak lain adalah menerapkan khilafah islamiyah.

Walaupun sempat menggebu-gebu sebagai aktivis Hizbut Tahrir, namun di kemudian hari akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari organisasi ekstremis tersebut.

Menurutnya, setelah ia menjadi aktivis gerakan ekstremis tersebut, ia mengalami kekeringan spiritual. Doktrin Hizbut Tahrir yang obsesif terhadap politik dan kekuasaan duniawi, menjadikannya kering akan spiritualisme.

Baca Juga:  Keperkasaan NU Hadapi Radikalisme dan Wahabi di Indonesia

Nampaknya, kaum muda yang mengalami nasib yang serupa dengan Ed Husain tak sedikit. Bahkan, mungkin saja sebagian besar dari mereka tak memiliki nasib sebaik seperti Ed yang akhirnya tersadar dan keluar dari gerakan tersebut. Banyak di antara mereka sepertinya masih terhipnotis oleh doktrin khilafahisme yang memperdaya nalar sehat itu.

Lebih-lebih, sepertinya saat ini ekstremisme telah menjadi fenomena yang besar. Ekstremisme sudah menjangkiti dan menyihir banyak kaum muslim di berbagai belahan dunia, khususnya di Indonesia.

Bahkan, Martin Van Bruinessen, seorang peneliti perkembangan Islam di Indonesia menerbitkan laporan riset yang ia editori beberapa tahun lalu. Dengan lugas dan jelas, penelitian tersebut mengabarkan bahwa terjadi fenomena “kembalinya konservatisme Islam” alias ekstremisme Islam di Indonesia.

Fenomena ekstremisme yang semakin besar tersebut perlu mendapatkan perlawanan dan penanganan yang serius, supaya tidak terus-menerus menipu banyak kaum muslim di negeri kita.

Terkait persoalan ini, akan menarik jika kita melanjutkan kisah hidup dari Ed Husain. Diceritakan olehnya bahwa ia akhirnya keluar dari gerakan ekstremisme dan kemudian memeluk ajaran sufisme Islam atau tasawuf.

Baca Juga:  Herd Immunity, Mungkinkah Indonesia Terapkan Strategi Ini untuk Tangani Covid-19 ?

Ed Husain setelah sadar dari kekeliruannya karena mengikuti gerakan ekstremisme yang kering spiritualisme, kemudian ia belajar sufisme kepada guru tarekat di Suriah.

Menurut ceritanya, dengan memelajari dan mempraktikkan sufisme secara perlahan-lahan, Ed Husain mampu mengobati kekeringan hatinya yang sekian lalu didoktrin untuk obsesif kepada politik dan kekuasaan ala Hizbut Tahrir.

Dari pengalaman Ed tersebut penting untuk diambil manfaatnya bahwa sufisme mampu menjadi solusi atas problem ekstremisme yang belakangan ini banyak menjangkiti banyak saudara muslim kita.

Bahkan, beberapa waktu silam cendikiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla memberikan paparan solusi yang serupa dalam sela-sela Ngaji Ihya’-nya di Kafe Basabasi, Yogyakarta.

Sosok yang populer dengan sapaan Gus Ulil tersebut menjelaskan bahwa salah satu tujuan dari Ngaji Ihya’-nya adalah untuk menjadi narasi tandingan atas problem ekstrimisme dalam dunia muslim kontemporer.

Menurutnya, bahkan Imam Ghazali, pengarang kitab tasawuf “Ihya’ Ulumiddin” yang dikajinya menjelaskan hal yang serupa bahwa kecenderungan sebagian kaum muslim yang terlalu berorientasi legal-formalistik dalam beragama akan menjadikannya kering secara spiritual dan hanya memiliki cara pandang yang serba hitam-putih.

Baca Juga:  Berfikir Madzhabic adalah Ciri Khas Ulama Nusantara

Menurut Gus Ulil bahwa fenomena semacam ekstremisme itu sudah lama terjadi bahkan pada era Imam Ghazali itu sendiri. Kemudian, menurutnya lahirnya kitab sufistik Ihya’ Ulumuddin merupakan jawaban dan solusi dari imam Ghazali atas problem sebagian kaum muslim yang terlalu legal-formalistik dalam beragama. Beragama yang terlalu legal-formalistik tersebut membuat jiwa penganutnya menjadi kekeringan spiritualitas.

Dari beberapa kisah di atas, menampakkan bahwa sufisme atau tasawuf dapat menjadi jawaban atas problem ekstremisme yang sedang menjangkiti kehidupan sebagian kaum muslim di negeri kita. Dengan memelajari dan mengamalkan sufisme akan mengurangi obsesi berislam yang berlebhan dalam mengejar kekuasaan dan duniawi. Wallahua’lam.


[1] https://iqra.id/pengakuan-seorang-pejuang-khilafah-218543/