Suluk Wujil – Kitab Rahasia Tasawuf Karya Sunan Bonang (Bagian 1)

suluk wujil

Pecihitam.org – Dalam khazanah sastra jawa, karya sastra berupa suluk merupakan salah satu diantara karangan-karangan yang berupa ajaran keagamaan. Suluk diciptakan dalam rangka pengajaran dan untuk pendidikan, suluk mempunyai gaya bahasa yang khas dalam pencatatannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ada terdapat banyak sekali suluk yang ada di nusantara ini baik itu yang sudah diterjemahkan maupun yang belum. Salah satunya adalah suluk wujil karya sunan bonang yang terbilang sangat masyhur dikalangan masyarakat jawa khususnya jawa timur.

Selain suluk juga dalam khazanah jawa biasanya ada primbon dan wirid, ketiganya ini biasanya saling berkaitan satu sama lain, sehingga menurut para peneliti disebut sebagai perpustakaannya Islam kejawen.

Karya sastra suluk dan wirid ini biasanya terkait erat dengan pengajaran tasawuf, sedangkan untuk primbon sendiri mencakup ajaran-ajaran kebudayaan atau adat-istiadat masyarakat jawa, seperti halnya ramalan hujan, musim tanam dan yang lainnya.

Suluk wujil merupakan salah satu suluk yang usianya cukup tua sebab ditulis pada kisaran abad ke-17 menurut sri harti widyastuti penulis buku suluk wujil: suntingan teks dan tinjauan semiotik, yaitu pada tahun 1607 masehi.

Menurutnya juga suluk wujil ini ditulis pada masa peralihan maksudnya adalah masa dimana adanya perubahan yang besar sebab adanya sesuatu yang mempengaruhinya dan dalam hal ini adalah pengaruh Islam yang besar terhadap kebudayaan hindu-budha yang menyebabkan adanya perubahan dalam kebudayaan masyarakat jawa.

Suluk wujil kemudian bisa sedikit ditransliterasi oleh percetakan soemodidjojo mahadewa di Yogyakarta pada tahun 1957, sehingga bisa dilakukan publikashi atas suluk wujil ini. Kendati demikian masih banya kata-kata yang sukar dimengerti oleh para penerjemah.

Baca Juga:  Begini Cara Islam Memuliakan Wanita Sejak Zaman Rasulullah

Sehingga membatasi atas publikasi suluk wujil karya sunan bonang tersebut. Namun hal tersebut juga bisa dikatakan senagai satu proses awal dimana akan bisa dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut atas karya suluk wujil tersebut.

Adapun isi dari suluk wujil tersebut kurang lebih seperti demikian :

Pupuh satu: “Dyan warnanen sira ta pun wujil, matur sira ing adinira, ratu wahdat ratu wahdat panenggrane, samungkem amung lebu, talapalan sang maha muni, sang adekeh ing benang, mangke atur bendu, sawetnya nedo jinarwan, saprapating kahing agama kang sinelit, teka ing rahasya purba”.

Maknanya kurang lebih adalah pupuh satu “inilah cerita tentang wujil, yang datang kepada gurunya, ratu wahdat ratu wahdat namanya, bersimpuh ia dikaki syekh agung, yang tinggal di desa benang, ia meminta maaf sebab ingin tahu hakikat dan ajaran agama, sampai yang terdalam”

Pupuh dua: “sedasa warsa sira pun wujil, angastu pada sang adinira, tan antuk warandikane, ri kawijilanipun, sira wujil ing maospait, ameng amnganira, neteng majalanggu, telas sandining aksara, pun wujil matur marang sang adi gusti, anuhun pangatpada”

Artinya : pupuh dua “Sepuluh tahun lamanya, wujil berguru kepada syekh agung, namun belum saja mendapat ajaran utama, dulu ia berasal dari majapahit yang bekerja sebagai abdi raja, ia menguasai sastra dan tata bahasa juga mahir sastra jawa, maka menyembahlah wujil sambil berkata dengan hormat”.

Pupuh tiga: “pun wujil byakteng kang anuhun sih, ing talapakan sang jati wenang, pejah gesang katur mangke, sampun manuh pamuruk, sastra arab paduka warti, wekasane angladrang, anggeng among kayun, sabran dina raraketan, malah bosen kawula kang anglugdrugi, ginawe alan-alan”.

Artinya: pupuh tiga “wujil memohon dengan tulus kepada gurunya, memohon untk diberikan ajaran, hamba serahkan hidup dan matiku, telah selesai ajaran guru dalam bahasa arab, masih juga hamba mencari mengembara mengikuti kata hati, setiap hari kita bermain bersama, rasanya seperti bosan saya melawak menjadi bahan tertawaan”.

Pupuh empat: “ya pangeran ing sang adi gusti, jarwaning wisik aksara tunggal, pangiwa lan panengene, nora na bedanipun, dene maksih atata gendhing, maksih ucap-ucapan, karone puniku, datan pulih anggen mendra, atilar trensa saka ring majapahit, nora antuk usada”.

Artinya : “duhai kanjeng syekh guru, penjelasan mengenai ajaran rahasia kesatuan, baik sebelum datangnya ajaran agama Islam di jawa, maupun pada zaman Islam adalah sama. Antaranya orang masih memperhatikan musik atau nada, tetapi keduanya tetap dalam kata-kata, dengan kepergian hamba dari majapahit dan meninggalkan semua yang hamba cintai, hamba tidak mencapai cita-cita hamba, hamba tidak menemukan obat”.

Pupuh lima: “ya marma lunga ngikis ing wengi, ngulati sarahsyaning tunggal, sampurna ning lampah kabeh, sing pandita sun dunung, ngulati sari ning urip, wekas ing jati wenang, wekas ing lor kidul, surup ing radtya wulan, reming neta kelawan surup ing pati, wekas ing ana ora”.

Artinya : “karena sesungguhnya pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia dari kesatuan, mencari kesempurnaan dalam setiap tingkahlaku, hamba menemui tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sesungguhnya, titik akhir antara utara dan timur, terbenamnya matahari dan rembulan untuk selamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya dari mati, akhir dari ada dan yang tidak ada.

Pupuh 1-5 ini adalah menceritakan tentang seorang murid yang bernama wujil yang tengah gelisah ingin mengetahui tentang sesuatu yang umum ingin diketahui banyak orang akan tetapi belum diketahui jawabannya.

Baca Juga:  Begini Konsep Kenegaraan Menurut Sang Filusuf al-Mawardi

Sebab jawabannya merupakan sesuatu yang esensial dan merupakan hakikat kehidupan didunia ini. Sehingga dalam pupuh diatas wujil banyak menanyakan suatu pertanyaan-pertanyaan yang tidak umum dilakukan oleh orang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia ingin mengetahui tentang hakikat kehidupan ini, akan tetapi tidak mampu diutarakan atau barangkali sudah diutarakan tetapi tidak menemukan jawaban. Rasa ingin tahu manusia yang besar menurut KH. Miftah Faqih adalah satu modal dasar untuk agar manusia bisa belajar.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat. Tabik.!