Sunan Giri, Seorang Sunan yang Mempunyai Kerajaannya Sendiri

Sunan Giri, Seorang Sunan yang Mempunyai Kerajaannya Sendiri

PeciHitam.org – Sunan Giri, Sunan sekaligus raja atau dalam bahasa Jawa disebut Pandito Ratu. Seorang Ulama dan Wali yang berkuasa sebagai Raja “Kerajaan” Dakwah bernama Giri Kedaton.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Murid beliau banyak tersebar di Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku menjadi kader-kader Dakwah Islam. Keberkahan dakwah Sunan Giri menjadikan Islam tersebar kepenjuru Nusantara.

Daftar Pembahasan:

Profil Sunan Giri

Sunan Giri merupakan Putra dari Syaikh Maulana Ishak dari Asia Tengah. Beliau menikah dengan anak semata wayang Prabu Menak Sembuyu dari kerajaan Blambangan diujung timur pulau Jawa. Ibu beliau bernama Dewi Sekardadu melahirkan Sunan Giri pada tahun 1442 M.

Nama beliau sangat banyak, seperti Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudro, karena perjalanan hidup beliau yang sangat berliku.

Kelahiran beliau menjadikan iri beberapa Patih Blambangan yang urung menikahi Ibundanya karena kalah dalam sayembara menyembuhkan sakit Dewi Sekardadu.

Ayahnya, Syaikh Maulana Ishak yang seorang Islam kurang disukai di Blambangan karena berlainan Agama dengan Raja serta para pembesar Kerajaan.

Maulana Ishak akhirnya pergi dari Blambangan dan menuju Kerajaan Pasai untuk melanjutkan misi dakwah Islam. Sedangkan Raden Paku akhirnya dibuang diselat Bali kemudian ditemukan oleh saudagar, Nyi Ageng Pinatih, dari Gresik. Bayi Sunan Giri akhirnya dijadikan anak angkatnya dan diberi nama Joko Samudro.

Pada usia dewasa, Joko Samudro dipondokan oleh Ibu angkatnya di Ampeldenta Surabaya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak dari teman sejawatnya yaitu Syaikh Maulana Ishak yang ditinggalkan di Blambangan.

Babada Tanah Jawa menyebut, sebelum meninggalkan Jawa, Maulana Ishak berpesan jika suatu saat anaknya akan mondok di Ampel, beliau berpesan untuk mengganti nama anaknya kelak dengan Raden Paku.

Pada masa pendidikan telah selesai di Ampeldenta, Raden Paku dan Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang diperintahkan menuju Pasai untuk memperdalam Ilmu agama Islam kepada Maulana Ishak. Raden Paku baru mengetahui bahwa gurunya itu adalah ayah kandungnya sendiri.

Baca Juga:  Ismail Raji al Faruqi dan Pemikirannya Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Membangun Giri Kedaton

Raden Paku kembali ke Jawa setelah menimba Ilmu Islam selama 3 tahun kepada ayahnya. Sekembalinya ke Jawa, Raden Paku terkenal dengan nama Raden ‘Ainul Yaqin karena kedalaman keilmuan beliau. Dia mendapatkan wilayah dakwah disekitar Kecamatan kebomas Kab. Gresik.

Beliau membangun tempat dakwah di puncak Gunung yang dalam bahasa Jawa disebut Giri. Tempat bedakwah Islamnya dinamakan oleh beliau dengan nama Giri Kedaton. Nama Giri inilah yang kemudian terkenal dan digunakan secara luas untuk menyebut Raden ‘Ainul Yaqin.

Kemudian hari, Giri Kedaton menjadi sebuah dinasti Dakwah Keturunan Sunan Giri yang berpusat  di Puncak Gunung Giri. Kerajaan Giri Kedaton sebagai pusat pendidikan dan penyebaran Islam bukan hanya di Gresik atau di Jawa. Pengaruh Giri Kedaton sampai ke Madura, Sulawesi, Lombok, Tidore bahkan sampai Maluku.

Pada masa selanjutnya Giri Kedaton bukan hanya berfungsi sebagai sekolah dan penyebaran dakwah Islam, tetapi menjelma sebagai “Kerajaan” yang turun-temurun menggunakan gelar Sunan.

Pengaruh besar para keturunan Sunan Giri di Giri Kedaton menjadikan restu dan legitiminasi Sunan Giri sangat penting bagi keberlangsungan kekuasaan politik para raja Jawa.

Kejayaan Giri Kedaton terjadi pada masa Sunan Prapen berkuasa tahun 1548-1605. Tahun tersebut terjadi peralihan Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang. Sultan Hadiwijaya meminta restu Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton untuk melantiknya sebagai Sultan Kesultanan Pajang.

Giri Kedaton runtuh setelah Sunan Kawis Guwa, penguasa Giri Kedaton pada masa itu, dikalahkan oleh Pangeran Pekik seorang Panglima Perang Kesultanan Mataram Islam. Penaklukan Giri Kedaton secara paksa karena Sunan Kawis Guwa menolak untuk menjadi daerah bawahan Kesultanan Mataram Islam.

Dakwah Sunan Giri

Wilayah dakwah Sunan Giri berpusat di puncak Gunung atau Giri. Tempat ini pada masa sekarang adalah komplek makam Sunan Giri dan keturunannya masuk wilayah Desa Sidomukti Kec. Kebomas Kab. Gresik.

Baca Juga:  Beethoven Symphony 9 dan Cita Rasa Musik Gus Dur

Awal mula beliau berdakwah yakni membangun masjid dengan pesantren serta rumah kediaman beliau. Pesantren ini kemudian terkenal dengan Giri Kedaton setelah meninggalnya Sunan Ampel, guru Sunan Giri, pada tahun 1475 M.

Kemunculan Kedaton Giri, membawa dampak positif bagi perkembangan Islam di wilayah Giri. Giri Kedaton menjadi perlambang pusat pengembangan dakwah Islam kesuluruh Nusantara.

Pusat Pendidikan Giri Kedaton tergambar dalam sistem pendidikan yang dicanangkan oleh beliau. Dia banyak mengirimkan kader dakwah islam ke wilayah-wilayah yang belum tersentuh Islam.

Peran Sunan Giri dalam dakwah islam sangat erat berkaitan dengan pengkaderan Islam untuk dakwah yang lebih luas. Beliau juga diketahui sebagai pengikut Tarekat Syatariyah dan bertindak sebagai mursyid.

Silsilah sanad tarekat Syatariyah beliau berasal dari Maulana Ishak, ayah beliau sendiri dan bersambung kepada Rasulullah SAW. Silsilah Tarekat Syatariyah beliau merujuk pada bukti yang terdapat pada makam Bupati Gresik Pertama yaitu Kyai Tumenggung Pusponegoro.

Dakwah Lewat Lagu Ala Sunan Giri

Sunan Giri walaupun dikenal sebagai pemegang Tassawuf yang kental, beliau tidak melarang penggunaan kesenian dalam berdakwah. Bahkan beliau membuat beberapa tembang atau lagu dolanan untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam.

Dolanan Jelungan, Padhang Mbulan, Cublak Suweng adalah karya beliau yang berupa permainan disertai nyanyian bernilaikan Islam. Selain karya di atas, beliau juga membuat Instrumen music gendhing bernama Asmaradhana dan lagu Turi-turi Putih.

Nilai-nilai Islam dalam permainan Jelungan dan Lagu Padhan Mbulan dapat dilihat dari lirik lagunya,

“Padhang-padhang Mbulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar, ngalap padang gilar-gilar, nundang bagog hangatikar”

Terjemahan bahasa Indonesia kurang lebih akan berbunyi;

“Terang-terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit

Makna yang terkandung dalam lirik lagu di atas adalah “Terang-terang bulantelah datang kepada Mereka yaitu terangnya Cahaya Rembulan berupa Islam menyibak kegelapan Ajaran Agama lama. Anjuran bagi anak-anak untuk keluar dari Rumah dengan ajakan “Dolanane naning latar dengan tujuan melihat dan merasakan Cahaya Agama baru yaitu Islam.

Baca Juga:  Ismail al Jazari, Imuwan Muslim Ahli Robotika Abad Pertengahan

“ngalap padang gilar-gilar Dengan datangnya Islam menjadi penanda Terang Benderang masa depan dengan Agama Islam yang baru datang. Penggambaran Sunan Giri kepada Islam sama dengan cahaya bulan purnama yang menerangi kegelapan malam.

“Nundang bagog hangatikar-Mengusir gelap yang lari terbirit-birit bermaksud menjelaskan Islam akan membawa keselamatan dan menyingkirkan masa suram.

Agama baru (Islam) merupakan harapan bagi orang-orang Jawa khususnya untuk mendapat kesetaraan dalam kedudukan dan hak. Hal ini merupakan hal baru bagi orang-orang masa itu karena adanya sistem kasta dalam agama lama.

Beliau menciptakan permainan itu untuk mendidik pengertian tentang keselamatan hidup. Keselamatan hidup jika berpegangan kepada agama Islam dan menyingkirkan kegelapan godaan setan.

Sasaran tembang beliau yakni anak-anak yang masih suka bermain dengan bernyanyi. Latar belakangnya adalah menanamkan nilai-nilai Tauhid kepada anak-anak agar terbiasa dan akrab dengan Agama Islam, yang notabene Agama baru.

Penerimaan kepada Agama baru menjadi penting agar tidak terjadi penolakan yang bersifat kekearasan keagamaan. Demikian kearifan Walisongo dalam melihat situasi obyek dakwah dengan sangat menghormati budaya lokal.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan