Sejarah Lengkap Sunan Kudus, dari Silsilah Hingga Kesuksesan Dakwahnya

sunan kudus

Pecihitam.org – Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shadiq merupakan salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo. Sunan Kudus lahir sekitar 1500an Masehi, nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Sunan Kudus adalah seorang wali yang sangat dikenal dengan sikap toleransinya yang tinggi. Hal tersebut masih dikenal sampai sekarang dan diikuti oleh pengikutnya yang mencintai kedamaian.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Asal-usul Sunan Kudus

Sunan Kudus memiliki nama asli dan lengkap, Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Nama Ja’far Shadiq diambil dari nama datuknya yaitu Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad Saw.

Menurut Agus Sunyoto budayawan Nahdlatul Ulama’ (NU), dalam karyanya Atlas Walisongo (2017) dengan mengutip Babad Tanah Jawi dan Naskah Derajad menjelaskan bahwa Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) merupakan putra dari Sunan Ngudung atau Usman Haji dan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel

Raden Usman Haji sendiri merupakan putra dari Ali Murtadho kakak dari Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel dan Ali Murtadho (kakek Sunan Kudus) merupakan putra dari Syaikh Ibrahim Samarkand, seorang ulama’ dari Asia Tengah yang menikah dengan puteri kerajaan Champa, Vietnam.

Ketika Syaikh Ibrahim Samarkandi pergi ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam, kedua anaknya (Sunan Ampel dan Ali Murtadho) tersebut dibawa. Kedua puteranya tersebut juga menyebarkan ajaran Islam, Sunan Ampel menjadi wali besar dan Ali Murtadho juga melahirkan keturunan seorang ulama besar’ bernama Usman Haji, yang kemudian melahirkan putra bernama Sunan Kudus.

Dikisahkan, Raden Usman Haji (ayah Sunan Kudus) oleh Sunan Ampel dijadikan imam di daerah Jipang, Panolan, Dusun Ngudung. Kemudian, Usman Haji melakukan semedi (berapa) di Gunung Jambangan selama tiga bulan.

Dari sanalah kemudian Usman Haji mengalami pengalaman spiritual dan menjadi wali. Nama Usman Haji oleh masyarakat sekitar sana kemudian diberikan gelar sebagai Sunan Ngudung, sebutan untuk wali yang tinggal di daerah Ngudung.

Silsilah Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad Saw, berikut adalah runtutannya:

  1. Sunan Kudus bin
  2. Sunan Ngudung bin
  3. Fadhal Ali Murtadha bin
  4. Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
  5. Jamaluddin Al-Husain bin
  6. Ahmad Jalaluddin bin
  7. Abdillah bin
  8. Abdul Malik Azmatkhan bin
  9. Alwi Ammil Faqih bin
  10. Muhammad Shahib Mirbath bin
  11. Ali Khali’ Qasam bin
  12. Alwi bin
  13. Muhammad bin
  14. Alwi bin
  15. Ubaidillah bin
  16. Ahmad Al-Muhajir bin
  17. Isa bin
  18. Muhammad bin
  19. Ali Al-Uraidhi bin
  20. Ja’far Shadiq bin
  21. Muhammad Al-Baqir bin
  22. Ali Zainal Abidin bin
  23. Al-Husain bin
  24. Ali bin Abi Thalid dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
  25. Nabi Muhammad Rasulullah

Guru-gurunya

Selain belajar agama kepada Raden Usman Haji ayahnya sendiri, Ja’far Shodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal seperti Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel kakerknya.

Kiai Telingsing naman aslinya adalah Ling Sing, beliau merupakan seorang ulama dari negeri Cina yang dahulu datang ke Tanah Jawa bersama Laksamana jenderal Cheng Hoo. Dalam sejarah dikatakan, bahwa jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, The Ling Sing kemudian dipanggil dengan sebutan Telingsing. Beliau tinggal di sebuah daerah yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana. Disana Kiai Telingsing tidak hanya mengajarkan Islam, namun juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah. Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Sunan Kudus itu sendiri.

Dengan belajar kepada Kiai Telingsing yang berasal dari negeri Tirai Bambu itu, Raden Ja’far Shodiq sedikit banyak mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam berjuang. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Sunan Kudus dimasa mendatang yaitu ketika menghadapi masyarakat Jawa yang kebanyakan dulu masih beragama Hindu dan Budha.

Metode Dakwah yang Luwes

Strategi Pendekatan kepada Masyarakat

Sunan Kudus termasuk wali yang sangat toleran dan juga pendukung gagasan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat secara luwes sebagaimana berikut :

  • Membiarkan dulu adat istiadat, budaya dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal dalam menghadapi kondisi masyarakat yang demikian.
  • Budaya dan Adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam namun mudah dirubah maka segera dihilangkan.
  • Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap perilaku dan adat rakyat. Namun diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dengan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  • Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras dalam dakwah menyiarkan agama Islam. Prinsipnya mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
Baca Juga:  Syaikh Abdul Malik Purwokerto, Mursyid dan Pejuang yang Bersahaja

Strategi dakwah seperti ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah berbeda dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel, itu sebabnya mereka kemudian disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang metode Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad kemudain disebut sebagai Kaum Putihan atau Aliran Giri.

Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan dan dapat menjadikan masyarakat islam yang baik.

Merangkul Masyarakat Hindu

Dahulu masyarakat Kudus masih banyak yang beragama Hindu dan Budha dan mengajak mereka masuk agama Islam tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang masih memegang teguh dan memeluk dengan kuat kepercayaan lama. Dalam masyarakat seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang menegakkan agama Islam.

Dikisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia yang dibawa para pedagang Asing dari kapal besar. Sapi itu kemudian diikat dihalaman rumah Sunan Kudus.

Masyarakat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu lantas terheran-heran, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi tersebut. Dalam pandangan agama Hindu Sapi adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Bagi mereka menyembelih sapi merupakan perbuatan dosa yang dikutuk para dewa.

Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah sang Sunan hendak menyembelih sapi dihadapan para rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang itu keramat? Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri dan bisa saja terjadi konflik.

Tidak lama kemudian halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus kemudian keluar dari dalam rumahnya.

“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”

“Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.”

Kontan para penduduk terpesona mendengar cerita itu. Mereka yang masih beragama Hindu terkagum-kagum dan menyangka Ja’far Shadiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka pun bersedia mendengarkan ceramahnya. Sunan kudus kemudian melanjutkan,

“Salah satu diantara surat-surat dalam Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah.” kata Sunan Kudus.

Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an? Mereka kemudian menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Maka, sesudah simpati itu berhasil diraih akan memudahkan jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan pura dan candi-candi milik orang Hindu. Contohnya kita bisa melihat menara Kudus, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.

Dengan bentuknya yang mirip candi tersebut orang-orang Hindu akhirnya merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah dan nasehat dari Sunan Kudus.

Merangkul Masyarakat Budha

Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam dengan sikap toleransi yang tinggi, kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah masjid berdiri, beliau lalu membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu:

  1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
  2. Mengambil keputusan yang benar
  3. Berkata yang benar
  4. Hidup dengan cara yang benar
  5. Bekerja dengan benar
  6. Beribadah dengan benar
  7. Dan menghayati agama dengan benar.
Baca Juga:  Shafiyah binti Huyay, Salah Satu Istri Rasulullah dari Keturunan Yahudi

Strategi itu pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Selamatan Mitoni

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika pernah gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni dan lain-lain.

Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk yang Islami. Cara ini juga dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, dahulu bila seorang istri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Sunan Kudus tidak menentang adat tersebut secara keras melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa. Melainkan diganti dengan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.

Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah rupawan seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu orang tua harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Kemudian, sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab tetang Nabi Yusuf. Hingga kini acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

Namun ternyata, ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal mengundang seluruh masyarakat baik yang Islam, Hindu dan Budha ke dalam masjid. Dikisahkan dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus hendak Mitoni dan bersedekah atas kehamilan sang isteri yang telah tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, massyarakatt harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau dan enggan datang, terutama dikalangan Hindu dan Budha.

Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau awalnya terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, sehinggga akibatnya mereka malah menjauh. Karena iman atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi dan kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid. Hasilnya masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangan tersebut.

Disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan masyarakat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika mereka tengah antusias mendengarkan keterangan sunan Kudus, karena waktu sudah terlalu lama dan dikuatirkan mereka jenuh, beliau mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, namun disitulah letak segi positipnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak.

Karena keingintahuan mereka demikian besar akhirnya tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian beliau berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat pun menaruh simpati dan menghormatinya.

Cara-cara yang ditempuh Sunan Kudus dalam mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama, adu kesaktian dan melalui kesenian. Beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang yang didalamnya disisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Kisah Sunan Kudus di Mekkah

Menurut legenda, dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sulit diatasi.

Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya. akan tetapi sudah banyak orang mencoba tetap tidak pernah berhasil.

Baca Juga:  Strategi Dakwah Walisanga Menyebarkan Ajaran Islam di Nusantara

Pada suatu hari Sunan Kudus menghadap penguasa negeri itu namun kedatangannya disambutnya dengan sinis.

“Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu?” Tanya sang Amir.

“Dengan doa”, jawab Ja’far Shodiq singkat.

“Jika hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.” Jawab Amir kembali

“Saya tahu memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Namun jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Ja’far Shodiq.

“Hah, sungguh bernai tuan mengatakan demikian”, kata amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”

“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Ja’far Shodiq dengan tenangnya.

“Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.”

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban tersebut.
Ja’far Shodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan.

Secara khusus Ja’far Shodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq. Namun Ja’far Shodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis.

Sang Amir kemudian mengijinkannya. Batu itu lalu dibawa ke tanah Jawa, dan dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah suci.

Peninggalan Sunan Kudus

Tidak hanya mengajarkan agama Islam, Sunan Kudus meninggalkan bukti sejarah yang sampai saat ini masih dirawat oleh masyarakat. Adapun beberapa peninggalannya antara lain :

1. Masjid dan Menara Kudus

Disebut juga Masjid Al Manar atau nama resminya Masjid Al Aqsa Manarat Qudus. Bangunan Masjid dengan gaya arsitektur Islam, Hindu, dan Budha ini memiliki keunikan dan keindahan sehingga menunjukkan terjadinya proses akulturasi.

Masjid yang didirikan pada tahun 1549 M ini ramai dikunjungi masyarakat untuk beribadah serta ziarah ke makam Sunan. Masjid ini juga menjadi pusat keramaian saat festival Dhandhangan dalam menyambut bulan Ramadhan.

2. Keris Cintoko

Pusaka ini merupakan salah satu peninggalan sejarah yang masih dirawat sampai sekarang. Terdapat ritual rutin setiap tahun usai Idul Adha yaitu menjamas atau memandikan keris tersebut. Acara ini adalah suatu rangkaian sakral wujud penghormatan pada peninggalan Sunan Kudus.

3. Dua Tombak Sunan Kudus

Berama dengan Keris Cintoko, dua tombak ini juga merupakan peninggalan yang masih dilestarikan hingga sekarang. Upacara tradisi yang sudah berusia ratusan tahun dilaksanakan di dekat pintu makam Sunan. Selain menjaga pusaka peninggalannya, acara ini juga bertujuan untuk mengingat nilai yang terkandung didalamnya yaitu kebijaksanaan dan kekuasaan (Dapur Panimbal).

4. Tembang Asmarandana

Melalui tembang Asmarandana ini Sunan Kudus mengajarkan agama Islam dengan memasukkan lirik yang terkandung didalamnya. Sehingga dengan mudah diterima baik oleh masyarakat Hindu Budha saat itu.

5. Budaya Kurban Non Sapi

Sunan Kudus meminta kepada masyarakat untuk tidak kurban menyembelih hewan sapi saat Idul Adha. Tujuan yaitu untuk menghormati masyarakat Hindu, sehingga mereka mengganti hewan kurban dengan memotong kerbau. Kepercayaan ini oleh masyarakat masih dianut sampai sekarang.

Wafatnya Sunan Kudus

Sunan Kudus wafat sekitar tahun 1550 M pada saat menjadi Imam sholat subuh di Masjid Menara Kudus dalam posisi sujud. Beliau kemudian di makamkan di lingkungan masjid tersebut. Sampai sekarang makam beliau ramai dikunjungi masyarkat untuk ziarah atau mendoakan.

Beliaulah salah satu tokoh penting dalam masyarakat Islam, menjadi panutan dan masih dikenang sampai sekarang. Cara dakwahnya yang penuh toleransi menjadikan Sunan Kudus dengan mudah diterima oleh masyarakat.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik