Surah Al-Ahqaf Ayat 7-9; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Ahqaf Ayat 7-9

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Ahqaf Ayat 7-9 ini, menerangkan sikap orang-orang musyrik ketika Rasulullah saw membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka. Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah sihir yang dibacakan oleh tukang sihir, yaitu Muhammad saw.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah memerintahkan agar Rasulullah menegaskan keadaan dirinya yang sebenarnya untuk menguatkan apa yang telah disampaikannya. Dia diperintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa tidak ada sesuatu pun yang diikutinya, selain Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepadanya, dan tidak ada suatu apa pun yang diada-adakannya.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ahqaf Ayat 7-9

Surah Al-Ahqaf Ayat 7
وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُنَا بَيِّنَٰتٍ قَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلۡحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمۡ هَٰذَا سِحۡرٌ مُّبِينٌ

Terjemahan: Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: “Ini adalah sihir yang nyata”.

Tafsir Jalalain: وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ (Dan apabila dibacakan kepada mereka) kepada penduduk Mekah ءَايَٰتُنَا (ayat-ayat Kami) yakni Alquran بَيِّنَٰتٍ (yang menjelaskan) atau yang jelas keadaannya قَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ (berkatalah orang-orang yang ingkar) di antara mereka لِلۡحَقِّ (kepada kebenaran) kepada Alquran لَمَّا جَآءَهُمۡ هَٰذَا سِحۡرٌ مُّبِينٌ (ketika kebenaran itu datang kepada mereka, “Ini adalah sihir yang nyata”) jelas sihirnya.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah memberitahukan tentang orang-orang musyrik dalam kekufuran dan keingkaran mereka, bahwa jika dibacakan ayat-ayat Allah yang jelas, nyata dan gamblang kepada mereka, maka mereka berkata: هَٰذَا سِحۡرٌ مُّبِينٌ (“Ini adalah sihir yang nyata.”) yakni sihir yang benar-benar jelas.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan sikap orang-orang musyrik ketika Rasulullah saw membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka. Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah sihir yang dibacakan oleh tukang sihir, yaitu Muhammad saw. Menurut mereka, tukang sihir memang biasa mengada-adakan kebohongan dan menyihir orang lain untuk mencapai maksudnya.

Dalam ayat yang lain diterangkan tuduhan orang-orang musyrik terhadap Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an adalah mimpi yang kacau yang diada-adakan, dan Muhammad saw adalah seorang penyair. Allah berfirman:

Bahkan mereka mengatakan, “(Al-Qur’an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul-rasul yang diutus terdahulu.” (al-Anbiya’/21: 5)

Orang-orang musyrik menuduh Muhammad sebagai tukang sihir karena menurut mereka, Abu al-Walid bin al-Mugirah pernah disihirnya. Karena pengaruh sihir itu, ia menyatakan kekagumannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan Rasulullah saw kepadanya.

Kisah ini bermula ketika pada suatu waktu, sebelum Rasulullah saw hijrah ke Medinah, para pemimpin Quraisy berkumpul untuk merundingkan cara menundukkan Rasulullah. Setelah bermusyawarah, akhirnya mereka sepakat mengutus Abu al-Walid, seorang sastrawan Arab yang tak ada bandingannya waktu itu untuk datang kepada Rasulullah, meminta kepada beliau agar berhenti menyampaikan risalahnya.

Sebagai jawaban, Rasulullah membaca Surah 41 (Fussilat) dari awal sampai akhir. Abu al-Walid terpesona mendengar bacaan ayat itu; ia termenung memikirkan ketinggian isi dan keindahan gaya bahasanya. Kemudian ia langsung kembali kepada kaumnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Rasulullah.

Setelah Abu al-Walid kembali, ia ditanya oleh kaumnya tentang hasil usahanya. Mereka heran, mengapa Abu al-Walid bermuram durja. Abu al-Walid menjawab, “Aku telah datang kepada Muhammad dan ia menjawab dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadaku. Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Tetapi perkataan itu bukanlah syair, bukan sihir, dan bukan pula kata-kata ahli tenung.

Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah, susunan kata-katanya runtun dan enak didengar. Al-Qur’an itu bukanlah kata-kata manusia. Ia sangat tinggi dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan susunannya.”

Mendengar jawaban Abu al-Walid itu, kaum Quraisy menuduhnya telah berkhianat dan cenderung tertarik kepada agama Islam karena telah terkena pengaruh sihir Nabi Muhammad. Dari sikap Abu al-Walid setelah mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dan sikap orang-orang musyrik Mekah itu kepada Abu al-Walid, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya hati mereka telah mengakui kebenaran Al-Qur’an, telah mengagumi isi dan gaya bahasanya, namun ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk mengucapkan dan menyatakan kebenaran itu.

Abu al-Walid seorang yang mereka banggakan keahliannya dalam sastra dan bahasa Arab selama ini, tidak berkutik sedikit pun dan terpesona mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana halnya dengan mereka yang jauh lebih rendah pengetahuannya dari Abu al-Walid? Karena tidak ada satu alasan pun yang dapat mereka kemukakan, dan untuk menutupi kelemahan mereka, maka mereka langsung menuduh bahwa Al-Qur’an adalah sihir yang berbentuk syair, dan Muhammad itu adalah tukang sihir yang menyihir orang dengan ucapan-ucapan yang berbentuk syair.

Dalam ayat yang lain, diterangkan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang musyrikin tidak mau mengakui kebenaran Al-Qur’an sekalipun hati mereka sendiri telah mengakuinya, ialah kefanatikan mereka terhadap kepercayaan nenek moyang mereka. Allah berfirman:

Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.” (az-Zukhruf/43: 22).

Di samping kefanatikan kepada ajaran nenek moyang, mereka juga khawatir akan kehilangan kedudukan sebagai pemimpin suku atau kabilah, jika mereka menyatakan isi hati mereka yang sebenarnya terhadap kebenaran risalah Nabi Muhammad.

Tafsir Quraish Shihab: Apabila ayat-ayat Kami yang nyata telah dibacakan kepada orang-orang musyrik, maka–akibat sikap ingkar dan sombong mereka terhadap ayat-ayat itu–mereka berkata tanpa berpikir, “Ini adalah sihir yang nyata.”

Surah Al-Ahqaf Ayat 8
أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُ قُلۡ إِنِ ٱفۡتَرَيۡتُهُۥ فَلَا تَمۡلِكُونَ لِى مِنَ ٱللَّهِ شَيۡـًٔا هُوَ أَعۡلَمُ بِمَا تُفِيضُونَ فِيهِ كَفَىٰ بِهِۦ شَهِيدًۢا بَيۡنِى وَبَيۡنَكُمۡ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Terjemahan: Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Al Quran)”. Katakanlah: “Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tiada mempunyai kuasa sedikitpun mempertahankan aku dari (azab) Allah itu. Dia lebih mengetahui apa-apa yang kamu percakapkan tentang Al Quran itu. Cukuplah Dia menjadi saksi antaraku dan antaramu dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Baca Juga:  Surah Al-Ahqaf Ayat 15-16; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Jalalain: أَمۡ (Bahkan) lafal Am di sini mempunyai makna sama dengan lafal Bal dan Hamzah yang menunjukkan makna ingkar يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُ (mereka mengatakan, “Dia telah mengada-adakannya”) maksudnya, Alquran itu.

قُلۡ إِنِ ٱفۡتَرَيۡتُهُۥ (Katakanlah, “Jika aku mengada-adakannya) umpamanya فَلَا تَمۡلِكُونَ لِى مِنَ ٱللَّهِ (maka kalian tiada mempunyai kuasa mempertahankan aku dari Allah) dari azab-Nya شَيۡـًٔا (barang sedikit pun) artinya, kalian tidak akan mampu menolak azab-Nya daripada diriku, jika Dia mengazab aku هُوَ أَعۡلَمُ بِمَا تُفِيضُونَ فِيهِ (Dia lebih mengetahui apa-apa yang kalian percakapkan tentangnya) tentang Alquran itu.

كَفَىٰ بِهِۦ (Cukuplah Dia) Yang Maha Tinggi شَهِيدًۢا بَيۡنِى وَبَيۡنَكُمۡ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ (menjadi saksi antaraku dan antara kalian dan Dialah Yang Maha Pengampun) kepada orang yang bertobat ٱلرَّحِيمُ (lagi Maha Penyayang”) kepada orang yang bertobat kepada-Nya; karena itu Dia tidak menyegerakan azab-Nya kepada mereka.

Tafsir Ibnu Katsir: أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُ (“Bahkan mereka mengatakan: ‘Ia telah mengada-adakannya.’”) yang mereka maksud adalah Muhammad saw.

Firman Allah: قُلۡ إِنِ ٱفۡتَرَيۡتُهُۥ فَلَا تَمۡلِكُونَ لِى مِنَ ٱللَّهِ شَيۡـًٔا (“Katakanlah: ‘Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tidak mempunyai kuasa sedikitpun mempertahankanku dari [adzab] Allah.”) maksudnya, jika aku [Muhammad] berdusta terhadap Allah dan mengaku bahwa Dia telah mengutusku, padahal tidak demikian halnya, niscaya Dia akan mengadzabku dengan adzab yang keras. Dan tidak ada seorangpun, baik kalian maupun yang lainnya, yang mampu melindungi diriku dari-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman: Firman Allah:

قُلۡ إِنِ ٱفۡتَرَيۡتُهُۥ فَلَا تَمۡلِكُونَ لِى مِنَ ٱللَّهِ شَيۡـًٔا هُوَ أَعۡلَمُ بِمَا تُفِيضُونَ فِيهِ كَفَىٰ بِهِۦ شَهِيدًۢا بَيۡنِى وَبَيۡنَكُمۡ (“Katakanlah: ‘Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tidak mempunyai kuasa sedikitpun mempertahankanku dari [adzab] Allah. Dia lebih mengetahui apa-apa yang kamu percakapkan tentang al-Qur’an itu. Cukuplah Dia menjadi saksi antara aku dan antara kamu.”) yang demikian itu merupakan ancaman yang keras sekaligus tekanan yang menakutkan bagi mereka.

Firman Allah: وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ (“Dan Dialah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) sedangkan yang ini merupakan anjuran dan dorongan bagi mereka untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Artinya, dengan semua itu, jika kalian kembali dan bertaubat, maka Allah akan menerima taubat kalian dan memberikan ampunan kepada kalian serta menyayangi kalian.

Tafsir Kemenag: Di samping menuduh Muhammad saw sebagai tukang sihir, orang-orang musyrik itu juga menuduh beliau sebagai orang yang suka mengada-ada dan mengatakan yang bukan-bukan tentang Allah. Karena itu, Allah memerintahkan kepada Muhammad saw untuk membantah tuduhan itu dengan mengatakan,

“Seandainya aku berdusta dengan mengada-ada atau mengatakan yang bukan-bukan tentang Allah, seperti jika aku bukanlah seorang rasul, tetapi aku mengatakan bahwa aku adalah seorang rasul Allah yang diutus-Nya kepadamu untuk menyampaikan agama-Nya, tentulah Allah menimpakan azab yang sangat berat kepadaku, dan tidak seorang pun di bumi ini yang sanggup menghindarkan aku dari azab itu. Mungkinkah aku mengada-adakan sesuatu dan mengatakan yang bukan-bukan tentang Allah dan Al-Qur’an, dan menjadikan diriku sebagai sasaran azab Allah, padahal tidak seorang pun yang dapat menolongku daripadanya?” Allah berfirman:

Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya). (al-haqqah/69: 44-47).

Pada akhir ayat ini, Rasulullah saw menegaskan kepada orang-orang musyrik bahwa Allah Maha Mengetahui segala tindakan, perkataan, dan celaan mereka terhadap Al-Qur’an, misalnya mengatakan Al-Qur’an itu sihir, syair, suatu kebohongan, dan sebagainya; karena itu Dia akan memberi pembalasan yang setimpal.

Nabi Muhammad mengatakan bahwa cukup Allah yang menjadi saksi tentang kebenaran dirinya menyampaikan agama Allah kepada mereka. Allah pula yang akan menjadi saksi tentang keingkaran serta sikap mereka yang menolak kebenaran.

Selanjutnya Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa meskipun mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya, serta terhadap Al-Qur’an, namun pintu tobat tetap terbuka bagi mereka.

Allah akan menerima tobat mereka asalkan mereka benar-benar bertobat kepada-Nya dengan tekad tidak akan durhaka lagi kepada-Nya, dan tidak akan melakukan perbuatan dosa yang lain. Allah mau menerima tobat mereka karena Ia Maha Pengampun dan tetap memberi rahmat kepada orang-orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya.

Tafsir Quraish Shihab: Bahkan orang-orang kafir itu akan mengatakan, “Muhammad telah membuat al-Qur’ân lalu mengatakannya dari Allah? Jawablah, “Jika aku melakukan kebohongan tentang itu, maka pasti Allah segera menurunkan siksa kepadaku dan kalian tidak akan mampu menghindarkan diriku dari siksa-Nya. Hanya Dia yang lebih mengetahui tuduhan kalian terhadap ayat-ayat-Nya.

Cukuplah Dia sebagai saksi atas kebenaranku dan kebohongan kalian. Sesungguhnya Dia Mahaluas ampunan bagi orang-orang yang bertobat, lagi Mahabesar rahmat karena Dia selalu memberi kesempatan bagi orang-orang yang berbuat maksiat untuk memperbaiki diri.

Surah Al-Ahqaf Ayat 9
قُلۡ مَا كُنتُ بِدۡعًا مِّنَ ٱلرُّسُلِ وَمَآ أَدۡرِى مَا يُفۡعَلُ بِى وَلَا بِكُمۡ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ وَمَآ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ

Terjemahan: Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan”.

Tafsir Jalalain: قُلۡ مَا كُنتُ بِدۡعًا (Katakanlah, “Aku bukanlah rasul yang pertama) atau untuk, pertama kalinya مِّنَ ٱلرُّسُلِ (di antara rasul-rasul) maksudnya aku bukanlah rasul yang pertama, karena telah, banyak rasul yang diutus sebelumku, maka mengapa kalian mendustakan aku وَمَآ أَدۡرِى مَا يُفۡعَلُ بِى وَلَا بِكُمۡ (dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadap kalian) di dunia ini; apakah aku akan diusir dari negeriku, atau apakah aku akan dibunuh sebagaimana nasib yang telah dialami oleh nabi-nabi sebelumku, atau adakalanya kalian melempariku dengan batu, atau barangkali kalian akan tertimpa azab sebagaimana apa yang dialami oleh kaum yang mendustakan sebelum kalian.

Baca Juga:  Surah Al-Ahqaf Ayat 33-35; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

إِنۡ (Tiada lain) tidak lain أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ (aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku) yaitu Alquran, dan aku sama sekali belum pernah membuat-buat dari diriku sendiri وَمَآ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ (dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan”) yang jelas peringatannya.

Tafsir Ibnu Katsir: Mengenai firman Allah: قُلۡ مَا كُنتُ بِدۡعًا مِّنَ ٱلرُّسُلِ (“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama.’”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Qatadah mengatakan: “Aku bukanlah Rasul yang pertama kali.” Firman-Nya: وَمَآ أَدۡرِى مَا يُفۡعَلُ بِى وَلَا بِكُمۡ (“Dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadapmu.”)

Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat ini, setelahnya turun ayat yang artinya: “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (al-Fath: 2)

Demikian pula dikatakan oleh ‘Ikrimah, al-Hasan dan Qatadah, ayat tersebut dinasakh (dihapus) oleh firman Allah: لِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ (“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.”) mereka menyatakan bahwa setelah ayat ini turun, ada seseorang dari kaum muslimin yang berkata:

“Yang demikian itu, Allah Ta’ala menjelaskan apa yang telah Dia lakukan terhadapmu, ya Rasulallah, lalu apa yang akan Dia perbuat terhadap kami?” maka Allah menurunkan ayat: لِّيُدۡخِلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ (“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”) (al-Fath: 5)

Demikianlah yang ia katakan. Sedangkan yang ditegaskan di dalam hadits shahih, bahwa orang-orang yang beriman berkata: “Selamat kepada engkau ya Rasulallah, sedang kami bagaimana?” maka Allah menurunkan ayat ini.

Mengenai firman-Nya: وَمَآ أَدۡرِى مَا يُفۡعَلُ بِى وَلَا بِكُمۡ (“Dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadapmu.”) adl-Dlahhak mengatakan: “Aku tidak tahu apa yang diperintahkan kepadaku dan apa yang dilarang setelah ini.”

Abu Bakar al-Hadzali menuturkan dari al-Hasan al-Bashri, ia berkata: “Sedangkan di akhirat, maka mudah-mudahan Allah melindungi kita semua. Beliau [Rasulullah] telah mengetahui bahwa beliau berada di surga, tetapi beliau berkata:

‘Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu di dunia. Apakah aku akan dikeluarkan sebagaimana Nabi-nabi sebelumku, ataukah aku akan dibunuh sebagaimana Nabi-nabi sebelumku dibunuh? Dan aku tidak tahu, apakah kalian akan ditenggelamkan ke dalam bumi ataukah kalian akan dilempari batu?”

Pendapat inilah yang didukung oleh Ibnu Jarir, dan tidak boleh ada takwil lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa inilah yang memang sesuai dengan Rasulullah, dimana di akhirat kelak sudah pasti beliau masuk surga bersama orang-orang yang mengikutinya.

Sedangkan di dunia, maka beliau tidak mengetahui, bagaimanakah akhir dari perkara beliau dan bagaimanakah nasib orang-orang musyrik Quraisy, apakah mereka ini akan beriman, ataukah akan tetap kafir sehingga mereka akan diadzab dan dibinasakan karena kekufuran mereka.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Kharijah bin Zain bin Tsabit, dari Ummul A’la’, salah seorang shahabat wanita, yang pernah berbaiat kepada Rasulullah saw. menuturkan: Ketika kaum anshar melakukan undian untuk menampung kaum Muhajirin, ‘Utsman bin Mazh’un bergegas menyongsong mereka dalam menyediakan tempat tinggal. Lalu ‘Utsman jatuh sakit, dan kamipun merawatnya, sehingga ketika ia meninggal dunia, maka ia kami bungkus dalam kainnya. Lalu Rasulullah masuk menemui kami dan kukatakan:

“Semoga rahmat Allah selalu dilimpahkan kepadamu wahai Abus Sa-ib. Persaksianku atas dirimu adalah bahwa Allah telah memuliakanmu.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimana engkau tahu bahwa Allah memuliakannya?” Kemudian kukatakan: “Aku tidak tahu, -kujadikan bapak ibumu sebagai tebusanmu (Rasulullah).” Maka beliau bersabda:

“Adapun ia, telah kedatangan suatu kepastian [kematian] dari Rabbnya, dan sungguh aku berharap kebaikan baginya. Demi Allah, meskipun aku seorang utusan Allah, tetapi aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat-Nya terhadap diriku.”

Lebih lanjut Ummul ‘Ala’ bercerita: Maka kukatakan: “Demi Allah, aku tidak akan lagi memuji seorangpun sesudahnya selama-lamanya. Dan hal itu membuatku sangat sedih. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bahwa ‘Utsman mempunyai satu ember air yang mengalir. Akupun mendatangi Rasulullah saw. lalu aku beritahukan hal itu kepadanya, maka beliau pun bersabda: “Itu adalah amalnya.”

Hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari saja. Dan dalam lafazhnya yang lain disebutkan: “Aku tidak tahu, padahal aku Rasul Allah, apakah yang diperbuat [oleh Allah] terhadap dirinya.” Hal ini nampaknya lebih mendekati dengan dalil ucapan Ummul ‘Ala’:

“Hal ini menjadikanku sangat sedih.” Nash ini dan lainnya menunjukkan, bahwa tidak boleh memastikan [seseorang] masuk surga kecuali memang mereka telah dinyatakan masuk surga oleh pembawa syariat, seperti sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga:

Ibnu Salam, al-‘Umaisha’, Bilal, Suraqah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Hiram, orang tua Jabir, dan tujuh puluh orang ahli membaca al-Qur’an yang terbunuh di sumur Ma’unah, Zaid bin Haritsah, Ja’far, Ibnu Rawahah, dan yang semisal mereka.

Firman Allah: إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ (“Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.”) yakni aku hanya mengikuti wahyu yang diturunkan Allah Ta’ala kepadaku. وَمَآ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ (“Dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”) maksudnya, peringatanku sudah sangat jelas bagi setiap orang yang berakal dan berfikir. wallaaHu a’lam.

Baca Juga:  Surah Thaha Ayat 99-101; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Kemenag: Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan bahwa ia bukanlah yang pertama di antara para rasul. Seperti telah disebutkan dalam keterangan kosakata, bid’ artinya sesuatu yang baru, atau barang yang baru pertama kali adanya.

Jika kaum musyrik mengingkari kerasulan Muhammad padahal sebelumnya telah banyak rasul Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi Isa, maka sikap ingkar serupa itu sangat aneh dan perlu dipertanyakan karena diutusnya Muhammad sebagai rasul sesungguhnya bukan yang pertama di antara para rasul.

Sebelum Nabi Muhammad, Allah telah mengutus banyak nabi dan rasul pada setiap zaman dan tempat yang berbeda. Pengutusan para nabi oleh Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia adalah pengalaman universal umat manusia, bukan hanya untuk memperbaiki keadaan kaum musyrik Mekah. Jadi diutusnya Muhammad untuk mengemban misi risalah, bukanlah sesuatu yang baru sama sekali.

Selanjutnya Allah memerintahkan agar Rasulullah menyampaikan kepada orang-orang musyrik bahwa ia tidak mengetahui sedikit pun apa yang akan dilakukan Allah terhadap dirinya dan mereka di dunia ini, apakah ia harus meninggalkan negeri ini dan hijrah ke negeri lain seperti yang telah dilakukan nabi-nabi terdahulu, ataukah ia akan mati terbunuh seperti nabi-nabi lain yang mati terbunuh. Ia juga tidak mengetahui apa yang akan ditimpakan kepada kaumnya.

Semuanya itu hanya diketahui oleh Allah yang Maha Mengetahui. Rasulullah saw menegaskan kembali bahwa walaupun Allah telah berjanji akan memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan akan mengalahkan orang-orang kafir, memasukkan kaum Muslimin ke dalam surga dan memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka, namun ia sedikit pun tidak mengetahui kapan hal itu akan terjadi.

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa hanya Allah saja yang mengetahui segala yang gaib. Para rasul dan para nabi tidak mengetahuinya, kecuali jika Allah memberitahukannya. Karena itu, ayat ini membantah dengan tegas kepercayaan yang menyatakan bahwa para wali mengetahui yang gaib, mengetahui apa yang akan terjadi.

Rasulullah saw sendiri sebagai utusan Allah mengakui bahwa ia tidak mengetahui hal-hal yang gaib, apalagi para wali yang tingkatnya jauh di bawah tingkat para rasul.

Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dan imam-imam yang lain: Dari Ummul ‘Ala’, ketika ‘Utsman bin Madz’un meninggal dunia aku berdoa semoga Allah merahmatimu hai Abu al Saib, sungguh Allah telah memuliakanmu. Maka Rasulullah menegur; Dari mana engkau mengetahui bahwa Allah telah memuliakannya?

Adapun dia sendiri telah mendapat keyakinan dari Tuhannya dan aku benar-benar mengharapkan kebaikan baginya. Demi Allah, aku tidak mengetahui, padahal aku Rasul Allah, apakah yang akan diperbuat Allah terhadap diriku, begitu pula terhadap diri kamu semua”. Ummul ‘Ala’ berkata: “Demi Allah semenjak itu aku tidak pernah lagi mensucikan (memuji) orang buat selama-lamanya. (Riwayat al-Bukhari)

Dari keterangan di atas jelas bahwa Rasulullah sendiri tidak mengetahui hal yang gaib. Beliau tidak mengetahui apakah sahabatnya ‘Utsman bin Madz’un yang telah meninggal itu masuk surga atau masuk neraka. Namun, beliau berdoa agar sahabatnya itu diberi rahmat oleh Allah. Hal ini juga berarti bahwa tidak seorang pun yang dapat meramalkan sesuatu tentang seseorang yang baru meninggal.

Rasulullah saw sendiri tidak mengetahui, apalagi seorang wali atau seorang ulama. Jika ada seorang wali menyatakan bahwa dia mengetahui yang gaib, maka pernyataan itu adalah bohong belaka. Rasulullah menjadi marah mendengar orang-orang yang menerka-nerka nasib seseorang yang meninggal dunia sebagaimana tersebut dalam hadis di atas.

Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita tentang sikap yang baik dalam menghadapi atau melayat salah seorang teman yang meninggal dunia. Petunjuk itu adalah agar kita mendoakan dan jangan sekali-kali meramalkan nasibnya, karena yang mengetahui hal itu hanyalah Allah.

Pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan agar Rasulullah menegaskan keadaan dirinya yang sebenarnya untuk menguatkan apa yang telah disampaikannya. Dia diperintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa tidak ada sesuatu pun yang diikutinya, selain Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepadanya, dan tidak ada suatu apa pun yang diada-adakannya.

Semuanya berasal dari Allah Yang Mahakuasa. Ia hanyalah seorang pemberi peringatan yang diutus Allah untuk menyampaikan peringatan kepada mereka agar menjaga diri dari siksa dan murka Allah. Nabi saw juga menegaskan bahwa ia telah menyampaikan kepada mereka bukti-bukti kuat tentang kebenaran risalahnya. Ia bukan malaikat, sehingga ia tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan manusia.

Tafsir Quraish Shihab: Katakan kepada mereka, “Aku bukanlah rasul pertama yang diutus oleh Allah sehingga kalian mengingkari kerasulanku, dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat Allah terhadapku dan kalian. Dalam berbuat dan berkata, aku hanya mengikuti wahyu Allah. Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang sangat jelas.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Ahqaf Ayat 7-9 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S