Surah Al-Hasyr Ayat 8-10; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Hasyr Ayat 8-10

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Hasyr Ayat 8-10 ini, menerangkan bahwa orang yang berhak memperoleh pembagian harta fai’ dalam ayat 7 di atas, adalah orang-orang Muhajirin karena mereka dianggap kerabat Rasulullah saw. Mereka sebagai Muhajirin telah datang ke Medinah mengikuti Rasulullah saw berhijrah dengan meninggalkan kampung halaman, sanak keluarga, harta benda, dan handai tolan yang biasa membantu mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kemudian diterangkan sikap orang-orang mukmin dari golongan Ansar dalam menerima dan menolong saudara-saudara mereka orang-orang Muhajirin yang miskin, dan pernyataan Allah yang memuji sikap mereka itu.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hasyr Ayat 8-10

Surah Al-Hasyr Ayat 8
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنًا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ

Terjemahan: (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Tafsir Jalalain: لِلۡفُقَرَآءِ (Terhadap orang-orang fakir) bertaalluq kepada lafal yang tidak disebutkan, lengkapnya: Takjublah kalian terhadap orang-orang fakir ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنًا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ (yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka karena mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong agama, Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar) dalam keimanannya.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah menjelaskan tentang keadaan orang-orang fakir yang berhak mendapatkan harta fa’i bahwa mereka adalah: ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنًا (“Yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka [karena] mencari karunia dari Allah dan keridlaan-Nya.”) maksudnya mereka meninggalkan kampung halaman mereka dan menyelisihi kaum mereka karena mencari keridlaan Allah Ta’ala.

وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ (“Dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”) maksudnya mereka itulah orang-orang yang ucapan mereka dibenarkan oleh amal perbuatan mereka, dan mereka adalah para pemuka Muhajirin.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa orang yang berhak memperoleh pembagian harta fai’ dalam ayat 7 di atas, adalah orang-orang Muhajirin karena mereka dianggap kerabat Rasulullah saw. Mereka sebagai Muhajirin telah datang ke Medinah mengikuti Rasulullah saw berhijrah dengan meninggalkan kampung halaman, sanak keluarga, harta benda, dan handai tolan yang biasa membantu mereka.

Di Medinah mereka hidup dalam keadaan miskin, tetapi mereka adalah pembela Rasul dan pejuang di jalan Allah. Seakan-akan dengan ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar memperhatikan mereka dengan menyerahkan sebagian fai’ ini untuk mereka.

Kemudian Allah menerangkan sifat-sifat orang-orang Muhajirin itu sebagai berikut:

  1. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka menunjukkan ketaatan mereka hanya kepada Allah saja dengan mengorbankan semua yang mereka miliki hanya untuk mencari keridaan-Nya.
  2. Orang-orang yang rela meninggalkan rumah dan harta bendanya untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
  3. Orang-orang yang berani mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela Allah dan Rasul-Nya.

Diriwayatkan bahwa kemiskinan dan penderitaan orang-orang Muhajirin sedemikian rupa sehingga ada yang mengikatkan tali ke perut mereka untuk mengurangi rasa lapar. Namun demikian, mereka tidak menampakkan kemiskinan dan penderitaan mereka kepada orang lain.

Pada ayat yang lain, Allah memerintahkan kaum Muslimin agar memberi nafkah kepada mereka, di samping juga menyebutkan sifat-sifat mereka:

(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui. (al-Baqarah/2: 273)

Oleh karena itu, Allah menyediakan pahala yang besar untuk mereka sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis Nabi saw:

Rasulullah saw bersabda, “Berilah kabar gembira wahai kaum Muhajirin yang miskin dengan cahaya yang sempurna di hari Kiamat. Kalian masuk surga lebih dahulu setengah hari sebelum orang-orang kaya. Setengah hari (pada hari Kiamat) adalah selama lima ratus tahun (masa di dunia).” (Riwayat Abu Dawud dari Sa’id al-Khudri)

Orang yang memiliki sifat dan keadaan seperti orang Muhajirin itu ada sepanjang masa selama ada perjuangan menegakkan agama Allah. Oleh karena itu, perintah dalam ayat ini berlaku juga bagi kaum Muslimin saat ini dan kaum Muslimin di masa yang akan datang.

Tafsir Quraish Shihab: Harta fay’ itu juga diberikan kepada kaum Muhâjirîn papa yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka, yang mengharapkan tambahan harta dan perkenan Allah, dan yang menolong Allah dengan jiwa dan harta mereka. Mereka itu adalah orang-orang Mukmin sejati.

Surah Al-Hasyr Ayat 9
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمۡ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

Terjemahan: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ (Dan orang-orang yang telah menempati kota) Madinah وَٱلۡإِيمَٰنَ (dan telah beriman) yang dimaksud adalah sahabat-sahabat Anshar مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمۡ حَاجَةً (sebelum kedatangan mereka, Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka) artinya mereka tidak iri hati مِّمَّآ أُوتُواْ (terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka) yakni apa yang telah diberikan oleh Nabi saw. kepada mereka berupa harta rampasan dari Bani Nadhir, yang memang harta itu khusus buat kaum Muhajirin.

وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌ (dan mereka mengutamakan, orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan) yakni mereka memerlukan apa yang mereka relakan kepada orang-orang Muhajirin. وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ (Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya) dari ketamakannya terhadap harta benda فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (mereka itulah orang-orang yang beruntung).

Tafsir Ibnu Katsir: Setelah itu Allah memuji kaum Anshar serta menjelaskan keunggulan, kemuliaan, keagungan, dan kesucian diri mereka dari rasa iri, serta tindakan mereka mendahulukan orang lain atas diri mereka sendiri, padahal mereka lebih membutuhkannya, Allah berfirman:

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ (“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman [Anshar] sebelum [kedatangan] mereka [Muhajirin].”) yaitu, mereka telah mendiami negeri Madinah sebelum kaum Muhajirin itu datang dan mereka telah beriman sebelum kebanyakan dari mereka beriman.

‘Umar berkata: “Aku wasiatkan kepada khalifah setelahku agar memperhatikan kaum Muhajirin generai pertama, hendaknya dia mengetahui hak mereka dan memelihara kehormatan mereka. Dan aku wasiatkan kepadanya agar memperlakukan orang-orang Anshar dengan baik, agar menerima siapa yang berbuat kebaikan dari mereka dan memaafkan siapa yang berbuat kesalahan dari mereka.” Demikian yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.

Firman Allah: يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ (“Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.”) maksudnya, karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, mereka mencintai kaum Muhajirin dan memberikan bantuan dengan harta benda mereka.

Baca Juga:  Surah Al-Hasyr Ayat 1-5; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, ia mendengar Anas bin Malik berkata ketika keluar bersamanya untuk menemui al-Walid bahwa Nabi saw. pernah mengundang para shahabat Anshar agar beliau dapat memberikan hasil negeri Bahrain kepada mereka. Mereka berkata:

“Tidak, kecuali jika engkau memberikan hasil yang sama dengannya kepada saudara-saudara kami dari kaum Muhajirin.” Beliau bersabda: “Apabila tidak [kalian terima], maka bersabarlah sehingga kalian menjumpaiku. Sesungguhnya pengutamaan atas kalian akan terjadi setelahku.” (HR al-Bukhari)

Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia bercerita, kaum Anshar berkata: “Bagilah kebun kurma antara kami dan mereka [kaum Muhajirin].” Beliau bersabda: “Tidak.” Maka mereka berkata: “Apakah kalian dapat memenuhi bahan makanan kami dan kami akan bersekutu dengan kalian dalam memetik buahnya.” Kemudian mereka berkata: “Kami mendengar dan kami taat.” (HR al-Bukhari).

Firman-Nya: وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمۡ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُواْ (“Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka.”) maksudnya mereka sama sekali tidak menaruh rasa dengki terhadap kaum Muhajirin atas keutamaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa kedudukan, kemuliaan dan penyebutan lebih awal, serta urutan.

Mengenai firman-Nya: وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمۡ حَاجَةً (“Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka.”) al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Yakni kedengkian.” مِّمَّآ أُوتُواْ (“terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka.”) Qatadah mengatakan: “Yakni atas apa yang telah diberikan kepada saudara-saudara mereka.” Demikian pula dikemukakan oleh Ibnu Zaid. Dan di antara hadits yang dijadikan dasar pengertian tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, dari Anas, ia berkata:

“Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: ‘Akan muncul kepada kalian sekarang ini seorang dari penghuni surga.’ Kemudian muncullah seorang dari kaum Anshar, sedang jenggotnya masih basah dari bekas wudlunya seraya menjinjing sedalnya dengan tangan kirinya.

Dan pada keesokan harinya Rasulullah saw. mengucapkan hal yang sama, lalu orang tersebut muncul kembali seperti pada kali yang pertama. dan pada hari ketiga Rasulullah saw. mengucapkan hal yang sama juga, lalu orang itupun muncul dalam keadaan seperti penampilannya yang pertama. setelah Rasulullah saw. berdiri, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash mengikuti orang itu. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata:

‘Sesungguhnya aku marah kepada ayahku dan aku bersumpah untuk tidak menemuinya selama tiga hari. Kalau saja engkau berkenan memberikan tempat tinggal kepadaku sampai berlalu tiga hari itu.’ Orang itu menjawab: ‘Baiklah.’”

Anas mengatakan: Abdullah bin ‘Amr memberitahukan bahwa ia menginap bersama orang itu selama tiga malam. Selama itu ia tidak pernah melihat orang itu bangun malam sedikitpun, namun jika terbangun pada malam hari dan tidak bisa tidur ia senantiasa berdzikir kepada Allah dan bertakbir sehingga ia bangun untuk shalat shubuh. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata:

“Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berkata kecuali kebaikan. Setelah tiga malam itu berlalu dan hampir saja aku menganggap remeh perbuatannya, kukatakan: ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya antara diriku dan ayahku tidak ada rasa marah ataupun putus hubungan, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda untukmu tiga kali: Akan muncul kepada kalian sekarang ini seorang penghuni surga.

Akan tetapi yang muncul adalah engkau selama tiga kali itu. Dan aku ingin tinggal di tempatmu agar aku dapat melihat amal perbuatanmu sehingga aku dapat menirunya. Tetapi aku tidak melihatmu melakukan amal perbuatan yang besar. Lalu apa yang mengantarkanmu sampai pada apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw.?’ Ia menjawab:

‘Tidak ada, selain apa yang telah engkau saksikan.’ Ketika aku pergi, ia pun memanggilku dan berkata: ‘Tidak ada kecuali apa yang telah engkau saksikan, hanya saja aku tidak pernah mendapatkan di dalam diriku rasa ingin menipu terhadap kaum muslimin, dan aku tidak merasa dengki kepada seorangpun atas kebaikan yang telah diberikan Allah kepadanya.’ ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: ‘Inilah yang telah mengantarkan dirimu pada tingkat puncak, dan itulah yang sulit dicapai.’”

Demikian hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam kitab al-Yaum wal Lailah, dari Suwaid bin Nashr, dari Ibnul Mubarak, dari Ma’mar. Dan sanad hadits tersebut shahih menurut persyaratan ash-Shahihain.

Dan firman Allah: وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌ (“Dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan.”) maksudnya, mereka lebih mendahulukan orang-orang yang membutuhkan daripada kebutuhan diri mereka sendiri.

Dan mereka memulia dengan orang lain sebelum diri mereka, meskipun mereka sendiri membutuhkannya. Di dalam kitab ash-Shahihain telah ditegaskan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik shadaqah adalah usaha [jerih payah] orang yang miskin.”

Maqam [kedudukan] ini lebih tinggi daripada keadaan orang-orang yang disifati Allah Ta’ala melalui firman-Nya: وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ (“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (al-Insaan: 8) Dan firman-Nya: وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ (“Dan memberikan harta yang dicintainya.”)(al-Baqarah: 177).

Karena itu mereka telah menginfakkan dari harta mereka apa yang mereka sukai dan mungkin mereka tidak memerlukan atau sangat membutuhkannya. Adapun orang-orang tadi, mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri sekalipun mereka sangat memerlukannya.

Pada maqam inilah, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menyedekahkan seluruh hartanya sehingga Rasulullah saw. bersabda: “Apakah engkau tidak sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab: “Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” (HR Tirmidzi).

Demikian pula air yang disuguhkan kepada ‘Ikrimah dan para shahabatnya pada peristiwa Yarmurk. Dimana masing-masing dari mereka menyuruh untuk menyerahkan kepada shahabatnya, sedang dia sendiri dalam keadaan luka berat dan sangat membutuhkan air tersebut.

Kemudian air itu diserahkan kepada orang ketiga. Hingga belum sampai pada orang ketiga itu, mereka [orang-orang sebelumnya] telah meninggal dunia sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang meminumnya. Semoga Allah meridlai mereka dan menjadikan mereka ridla.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa seseorang mendatangi Rasulullah saw. dan berkata: “Ya Rasulallah, aku sedang dalam kesulitan.” Lalu Rasulullah saw. mengutus kepada istri-istri beliau, namun mereka tidak mempunyai apa-apa. Rasulullah saw. bersabda:

“Tidakkah ada seseorang yang dapat menjamu orang ini pada malam ini? Semoga Allah merahmatinya.” Kemudian salah seorang dari kaum Anshar berdiri dan berkata: “Aku ya Rasulallah.” Diapun pergi kepada keluarganya lalu berkata kepada istrinya: “Ini adalah tamu Rasulullah saw. Jangan engkau sembunyikan makanan apapun untuknya.” Istrinya menjawab:

“Demi Allah, aku tidak mempunyai apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.” Selanjutnya ia berkata: “Kemarilah, matikan lampu, tidak mengapa kita tidak makan pada malam ini.” Istrinya pun mematuhi. Pada pagi hari laki-laki itu datang menghadap Rasulullah saw., beliau bersabda: “Allah kagum –tertawa- atas perbuatan si fulan dan fulanah.” Maka Allah menurunkan ayat:

وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌ (“Dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan [apa yang mereka berikan itu].”) Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dalam bab yang lain, juga Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i. Dan meurut riwayat Muslim, nama orang Anshar itu adalah Abu Thalhah ra.

Firman Allah: وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”) maksudnya, barangsiapa yang bersih dari sifat kikir, maka dia benar-benar beruntung dan berhasil.

Baca Juga:  Penafsiran KH. Bisri Mustafa Tentang Ayat Kemajemukan

Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Jauhilah kedhaliman oleh kalian karena kedhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah sifat kikir dari kalian, karena sifat kikir ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, membawa mereka kepada pertumpahan darah di antara mereka, dan penghalalan hal-hal yang haram bagi mereka.” Hadits riwayat Muslim dari al-Qa’anbi, dari Dawud bin Qais dengan lafadznya.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Terbebas dari sifat kikir orang yang menunaikan zakat, menjamu tamu dan memberi pada saat musibah.”

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini diterangkan sikap orang-orang mukmin dari golongan Ansar dalam menerima dan menolong saudara-saudara mereka orang-orang Muhajirin yang miskin, dan pernyataan Allah yang memuji sikap mereka itu. Sifat-sifat orang Ansar itu ialah:

  1. Mereka mencintai orang-orang Muhajirin, dan menginginkan agar orang Muhajirin itu memperoleh kebaikan sebagaimana mereka menginginkan kebaikan itu untuk dirinya. Rasulullah saw memper-saudarakan orang-orang Muhajirin dengan orang-orang Ansar, seakan-akan mereka saudara kandung. Orang-orang Ansar menyedia-kan sebagian rumah-rumah mereka untuk orang-orang Muhajirin, dan mencarikan perempuan-perempuan Ansar untuk dijadikan istri orang-orang Muhajirin dan sebagainya.

‘Umar bin al-Khaththab pernah berkata, “Aku mewasiatkan kepada khalifah yang diangkat sesudahku, agar mereka mengetahui hak orang Muhajirin dan memelihara kehormatan mereka. Dan aku berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Ansar, orang yang tinggal di kota Medinah dan telah beriman sebelum kedatangan orang Muhajirin, agar Allah menerima kebaikan mereka dan memaafkan segala kesalahan mereka.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundhir dari Yazid bin al-Aslam diterangkan bahwa orang Ansar berkata, “Ya Rasulullah, bagi dia tanah kami ini, yang sebagian untuk kami kaum Ansar dan sebagian lagi untuk kaum Muhajirin.” Nabi saw menjawab,

“Tidak, penuhi saja keperluan mereka dan bagi dualah buah kurma itu, tanah itu tetap kepunyaanmu.” Mereka berkata, “Kami rida atas keputusan itu.” Maka turunlah ayat ini yang menggambarkan sifat-sifat orang-orang Ansar.

  1. Orang Ansar tidak berkeinginan memperoleh harta fai’ itu seperti yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw berkata kepada orang-orang Ansar, “Sesungguhnya saudara-saudara kami (Muhajirin) telah meninggalkan harta-harta dan anak-anak mereka dan telah hijrah ke negerimu.” Mereka berkata, “Harta kami telah terbagi-bagi di antara kami.” Rasulullah berkata, “Atau yang lain dari itu?” Mereka berkata, “Apa ya Rasulullah?” Beliau berkata, “Mereka adalah orang yang tidak bekerja, maka sediakan tamar dan bagikanlah kepada mereka.” Mereka menjawab, “Baik ya Rasulullah.”
  2. Mereka mengutamakan orang Muhajirin atas diri mereka, sekalipun mereka sendiri dalam kesempitan, sehingga ada seorang Ansar mempunyai dua orang istri, kemudian yang seorang diceraikannya agar dapat dikawini temannya Muhajirin.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidhi, dan an-Nasa’i dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah saw, dan berkata, ‘Aku lapar. Maka Rasulullah berkata kepada istri-istrinya menanyakan makanan, tapi tidak ada, beliau berkata, ‘Apakah tidak ada seorang yang mau menerima orang ini sebagai tamu malam ini?

Ketahuilah bahwa orang yang mau menerima laki-laki ini sebagai tamu (dan memberi makan) malam ini, akan diberi rahmat oleh Allah. Abu thalhah, seorang dari golongan Ansar, berkata, ‘Saya ya Rasulullah. Maka ia pergi menemui istrinya dan berkata, ‘Hormatilah tamu Rasulullah. Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, tidak ada makanan kecuali makanan untuk anak-anak.

Abu thalhah berkata, ‘Apabila anak-anak hendak makan malam, tidurkanlah mereka, padamkanlah lampu biarlah kita menahan lapar pada malam ini agar kita dapat menerima tamu Rasulullah. Maka hal itu dilakukan istrinya. Pagi-pagi besoknya Abu thalhah menghadap Rasulullah saw menceritakan peristiwa malam itu dan beliau bersabda, ‘Allah benar-benar kagum malam itu terhadap perbuatan suami-istri tersebut. Maka ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu.”

Diriwayatkan pula oleh al-Wahidi dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu ‘Umar bahwa seorang sahabat Rasulullah saw dari golongan Ansar diberi kepala kambing. Timbul dalam pikirannya bahwa mungkin ada orang lain lebih memerlukan dari dirinya. Seketika itu juga kepala kambing itu dikirimkan kepada kawannya, tetapi oleh kawannya itu dikirim pula kepada kawannya yang lain, sehingga kepala kambing itu berpindah-pindah pada tujuh rumah dan akhirnya kembali ke rumah orang yang pertama. Riwayat ini ada hubungannya dengan penurunan ayat ini.

Allah selanjutnya menegaskan bahwa orang-orang yang dapat mengendalikan dirinya dengan mengikuti agama Allah, sehingga ia dapat menghilangkan rasa loba terhadap harta, sifat kikir, dan sifat mengutamakan diri sendiri, adalah orang-orang yang beruntung. Mereka telah berhasil mencapai tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan Allah.

Dalam sebuah hadis Nabi saw dijelaskan bahwa beliau bersabda: Tidak akan berkumpul debu-debu (yang lengket) pada wajah seseorang ketika berjuang di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam selama-lamanya, dan tidak akan berkumpul pada hati seorang hamba sifat kikir dan keimanan selama-lamanya. (Riwayat an-Nasa’i)

Dalam hadis lain dijelaskan: Rasulullah bersabda, “Peliharalah dirimu dari perbuatan zalim, sesungguhnya perbuatan zalim (menimbulkan) kegelapan di hari Kiamat, peliharalah dirimu dari sifat-sifat kikir, karena sesungguhnya kikir itu menghancurkan orang-orang yang sebelum kamu, menimbulkan pertumpahan darah di antara mereka dan akan menghalalkan yang mereka haramkan.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi dari Jabir bin ‘Abdullah)

Nabi saw juga bersabda dalam hadis lain: (Tiga golongan) yang terbebas dari sifat kikir, yaitu orang yang membayarkan zakat, memuliakan tamu, dan memberikan sesuatu kepada orang yang susah. (Riwayat ath-thabrani)

Tafsir Quraish Shihab: Sedangkan kaum Anshâr, penduduk asli Madinah yang telah dengan tulus beriman sejak sebelum datangnya kaum Muhâjirîn, mencintai saudara-saudara mereka yang datang itu, tidak merasa iri dengan jatah fay’ yang diperoleh Muhâjirîn, dan mendahulukan kepentingan Muhâjirîn daripada kepentingan mereka sendiri walaupun mereka dalam keadaan kekurangan. Barangsiapa yang dirinya terjaga–dengan izin Allah–dari sifat kikir yang sangat, maka telah berhasil mendapatkan semua yang ia senangi.

Surah Al-Hasyr Ayat 10
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Terjemahan: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ (Dan orang-orang yang datang sesudah mereka) yakni sesudah kaum Muhajirin dan kaum Ansar hingga hari kiamat nanti يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (mereka berdoa, “Ya Rabb kami! Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami) yakni rasa dengki (terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”).

Tafsir Ibnu Katsir: Dan firman Allah: وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka [Muhajirin dan Anshar], mereka bedoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.’”)

Baca Juga:  Surah Al-Hujurat Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Mereka ini adalah kelompok ketiga, orang-orang fakir dari mereka berhak mendapatkan harta fa’i, setelah kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Yaitu kelompok [orang] yang mengikuti mereka dengan baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah at-Taubah yang artinya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama [masuk Islam] di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah.” (at-Taubah: 100)

Dengan demikian, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik adalah orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka yang baik dan sifat-sifat mereka yang luhur, yang senantiasa mendoakan mereka dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Itulah sebabnya, di dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman:

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ (“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka [Muhajirin dan Anshar], mereka berdoa.”) yakni berkata: رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا (“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami,”) yakni murka dan hasad. لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (“Terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.’”)

Betapa bagusnya kesimpulan Imam Malik dari ayat ini, bahwa kaum Rafidhah [sempalan paham Syi’ah] yang telah mencaci maki para Shahabat Nabi tidak berhak mendapatkan harta fa’i ini, karena dalam diri mereka tidak terdapat sifat-sifat yang ada pada orang-orang yang telah dipuji Allah, yaitu orang-orang yang mengatakan:

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.”)”

Ismail bin ‘Ulayyah meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: “Kalian telah diperintahkan memohon ampunan bagi para shahabat Muhammad saw. tetapi kalian justru mencaci-maki mereka. Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi kalian bersabda: “Umat ini tidak akan binasa, sehingga orang-orang terakhir dari mereka melaknat para pendahulunya.” (HR al-Baghawi).

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa generasi kaum Muslimin yang datang kemudian, setelah berakhirnya generasi Muhajirin dan Ansar, sampai datangnya hari Kiamat nanti berdoa kepada Allah, yang artinya, “Wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa saudara-saudara kami seagama yang lebih dahulu beriman daripada kami.”

Ada beberapa hal yang dapat diambil dari ayat ini, yaitu:

  1. Jika seseorang berdoa, maka doa itu dimulai untuk diri sendiri, kemudian untuk orang lain.
  2. Kaum Muslimin satu dengan yang lain mempunyai hubungan persaudaraan, seperti hubungan saudara seibu-sebapak. Mereka saling mendoakan agar diampuni Allah segala dosa-dosanya, baik yang sekarang, maupun yang terdahulu.
  3. Kaum Muslimin wajib mencintai para sahabat Rasulullah saw, karena mereka telah memberikan contoh dalam berhubungan yang baik dengan sesama manusia. Jika seseorang ingin hidupnya bahagia di dunia dan di akhirat, hendaklah mencontoh hubungan persaudaraan yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan Ansar itu.

Ayat ke-10 ini mempunyai hubungan erat dengan ayat sebelumnya (ayat ke-9). Oleh karena itu, maksud ayat ini ialah menjelaskan bagaimana hubungan orang-orang Muhajirin yang telah meninggalkan kampung halaman, keluarga, dan harta mereka di Mekah dengan orang-orang Ansar yang beriman yang menerima orang-orang Muhajirin dengan penuh kecintaan dan persaudaraan di kampung halaman mereka, yang mereka lakukan semata-mata untuk mencari keridaan Allah dan bersama-sama menegakkan agama Allah serta menunjukkan iman mereka yang benar, demikian pulalah hendaknya hubungan kaum Muslimin yang datang sesudahnya. Hendaklah mereka tolong-menolong dan mempererat persaudaraan dalam meninggikan kalimat Allah.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa hubungan orang yang sedang berhijrah dan penduduk negeri yang menerima mereka, dapat menimbulkan hubungan persaudaraan yang kuat di antara manusia, asal dalam hubungan itu terdapat unsur-unsur keimanan, keikhlasan, dan tolong-menolong, seperti yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Dalam situasi ini terdapat kesempatan yang paling banyak bagi seorang mukmin untuk melakukan berbagai perbuatan yang membentuk sifat-sifat takwa dan diridai Allah.

Ibnu Abi Laila berkata, “Manusia terbagi kepada beberapa tingkatan yaitu tingkatan Muhajirin, tingkatan Ansar, dan tingkatan generasi sesudahnya yang selalu mengikuti jejak Muhajirin dan Ansar. Oleh karena itu, hendaknya kita berupaya agar dapat masuk ke dalam salah satu dari tiga tingkatan tersebut.

Kemudian disebutkan lanjutan doa orang-orang yang beriman itu, yang artinya, “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau timbulkan dalam hati kami rasa dengki kepada orang-orang yang beriman.”

Rasa dengki dan dendam adalah sumber segala kejahatan dan maksiat yang mendorong orang berbuat kebinasaan, kezaliman, dan menumpahkan darah di muka bumi. Allah berfirman:

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. (at-Taubah/9: 100)

Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang tersebut dalam ayat 10 ini mengatakan bahwa Allah Maha Penyayang kepada para hamba-Nya, dan banyak melimpahkan rahmat-Nya. Oleh karena itu, mereka mohon agar Dia memperkenankan doa-doa mereka.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia mendengar seorang laki-laki bertemu dengan sebagian orang Muhajirin, maka dibacakan ayat, “Lil fuqara’il-muhajirin” (bagi orang fakir golongan Muhajirin), kemudian salah seorang berkata kepadanya, “Mereka itu orang-orang Muhajirin, apakah kamu termasuk sebagian dari mereka.” Orang itu menjawab, “Tidak.” Kemudian dibacakan pula kepadanya:

“Wal-ladhina tabawwa’ud-dara wal-imana min qablihim” (dan orang-orang yang telah menempati kota Medinah dan telah beriman sebelum kedatangan mereka). Kemudian salah seorang berkata kepadanya, “Mereka itu golongan Ansar, apakah engkau dari golongan mereka?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian dibacakan ayat:

“Wal-ladhina ja’u min ba’dihim” (orang-orang yang datang kemudian), Seseorang juga bertanya kepadanya, “Apakah engkau dari golongan mereka?” Ia menjawab, “Aku mengharap demikian.” Kemudian ia berkata, “Bukankah sebagian mereka mencela sebagian yang lain?” Ayat ini menunjukkan bahwa antara orang-orang mukmin tidak boleh mencela sesama mereka.

Tafsir Quraish Shihab: Kaum mukminin yang datang setelah kaum Muhâjirîn dan Anshâr mengatakan, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman! Janganlah Engkau ciptakan rasa iri dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman! Ya Tuhan kami, Engkau benar-benar Mahalembut dan Maha Penyayang.”

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Hasyr Ayat 8-10 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S