Surah Al-Insan Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Insan Ayat 1-3

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Insan Ayat 1-3 ini, sebelum membahas kandungan ayat ini, terlebih dahulu kita mengetahui isi surah. Dalam surah ini dibicarakan perihal penciptaan dan cobaan kepada umat manusia yang berpotensi untuk bersyukur kepada Allah atau mengingkari-Nya. Balasan yang akan diberikan kepada orang-orang kafir, dalam surah ini, dibicarakan secara global.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sementara mengenai kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepada orang-orang Mukmin dipaparkan secara lebih rinci. surah ini kemudian mengkhususkan pembicaraan kepada Rasulullah saw. yang dikaruniai al-Qur’ân. Rasul diperintahkan agar bersabar dan selalu melakukan ketaatan.

Surah ini juga memuat peringatan bagi mereka yang mencintai kehidupan dunia dengan tidak mempedulikan akhirat. Dibicarakan pula mengenai ayat-ayat yang dapat dijadikan sebagai nasihat dan peringatan dengan kehendak Allah. Sesungguhnya rahmat dan azab Allah akan diberikan sesuai dengan kehendak dan kemahakuasaan-Nya.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Insan Ayat 1-3

Surah Al-Insan Ayat 1
هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡـًٔا مَّذۡكُورًا

Terjemahan: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Tafsir Jalalain: هَلۡ (Bukankah) artinya, sesungguhnya أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ (telah datang atas manusia) Nabi Adam حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ (satu waktu dari masa) empat puluh tahun لَمۡ يَكُن (sedangkan dia belum merupakan) ketika itu شَيۡـًٔا مَّذۡكُورً (sesuatu yang dapat disebut) maksudnya, Nabi Adam selama empat puluh tahun masih tetap berbentuk tanah dan bukan berarti apa-apa. Atau bila yang dimaksud dengan manusia adalah jenis manusia selain dia, maka yang dimaksud dengan lafal Al-Hiin atau masa ialah masa mengandung, jadi bukan empat puluh tahun.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman mengabarkan tentang manusia, bahwa Dia telah menciptakannya setelah sebelumnya tidak pernah menjadi sesuatu yang disebut karena kerendahan dan kelemahannya. Dimana Allah berfirman: هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡـًٔا مَّذۡكُورًا (“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.”)

Tafsir Kemenag: Ayat pertama ini menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah yang tidak dikenal dan tidak disebut-sebut sebelumnya. Apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.

Ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bagian yang menceritakan evolusi manusia. Uraian sepenuhnya mengenai hal ini dapat dilihat di bawah ini.

Pada abad-19, Charles Darwin mengemukakan teori bahwa jenis manusia ada di muka bumi melalui suatu proses panjang evolusi. Mereka tidak langsung ada sebagaimana dinyatakan pada banyak kitab suci. Dia menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses evolusi, yang berujung pada terbentuknya manusia, kemungkinan besar memerlukan waktu jutaan tahun. Hal kedua yang dikemukakan oleh teori Darwin adalah bahwa manusia berkembang dari binatang.

Pada permulaan adanya kehidupan, demikian dinyatakan oleh teori ini, bentuk kehidupan yang ada adalah binatang-binatang tingkat rendah. Dengan berjalannya waktu, muncul binatang-binatang tingkat tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang berkembang menjadi manusia. Hal demikian ini dibuktikannya dengan adanya sederet bukti dari tengkorak hewan yang secara runut mengarah ke tengkorak manusia saat ini.

Bukti lain juga dikemukakan dari perkembangan bentuk embrio. Dalam perkembangannya, embrio manusia berubah-ubah bentuk. Dimulai dari mirip bentuk embrio ikan, kelinci, dan jenis binatang lainnya, dan berakhir berbentuk manusia. Dari temuan terakhir ini, kemudian disimpulkan bahwa evolusi panjang manusia berasal dari bintang tingkat rendah.

Point kedua dari teori Darwin adalah bahwa manusia dan kera datang dari satu moyang yang sudah punah saat ini. Moyang yang punah ini disebutnya sebagai “missing link”, rantai yang hilang. Haekel, seorang peneliti setelah masa Darwin, berpendapat bahwa binatang yang menjadi “missing link” adalah yang disebut Lypotilu.

Apabila binatang ini atau sisa-sisa dari binatang ini dapat ditemukan, maka teka-teki mengenai evolusi manusia dapat dijelaskan dengan lebih baik. Para pemikir yang mempercayai teori ini menganggap bahwa gorila dan simpanse ada pada jalur evolusi manusia.

Peneliti lain yang bernama Huxley mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda. Ia menyimpulkan bahwa garis manusia dapat saja terjadi jauh sebelum munculnya jenis-jenis kera. Jadi, manusia dan kera tidak pernah berhubungan.

Penelitian yang lebih kemudian yang dilakukan oleh Prof. Jones dan Prof. Osborne, cenderung untuk menyimpulkan bahwa walaupun manusia ada melalui proses evolusi, namun prosesnya sudah terpisah dari binatang lainnya di masa yang lebih jauh.

Dan dari saat itu, manusia berevolusi pada garisnya sendiri, tanpa bercampur dengan evolusi binatang lainnya. Dengan kata lain, manusia bukanlah cabang dari binatang lain, katakanlah kera, sebagaimana dipercaya oleh Darwin.

Para ahli arkeologi dan antropologi menemukan bahwa peradaban manusia terjadi melalui jalur yang terbagi secara jelas. Pada zaman batu, manusia pertama kali melangkah masuk ke daerah budaya dan kemasyarakatan.

Sejak masa itu, manusia melakukan evolusi dalam mempertahankan hidup sebagai “binatang yang lemah”. Karena tidak memiliki kekuatan, cakar, dan taring yang kuat sebagaimana binatang lain, manusia menggunakan batu sebagai alat mempertahankan diri dan kegunaan lainnya.

Baca Juga:  Surah Al-Insan Ayat 4-12; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Kemudian datang zaman perunggu, dimana manusia mulai menggunakan bahan metal untuk membuat peralatan. Zaman ini diikuti oleh zaman besi. Dari berbagai situs yang ditemukan para arkeologi disimpulkan bahwa berbagai zaman dari kehidupan manusia dilakukan dengan perubahan budaya dari satu masa ke masa lainnya.

Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang berkaitan erat dengan penciptaan manusia yang bertahap, yaitu:

Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (Nuh/71: 13-20)

Ayat di atas mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur’an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur’an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan “meniupkan” kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.

Hal kedua yang diungkapkan Al-Qur’an dalam kaitan penciptaan manusia adalah dari kondisi ketiadaan. Suatu subjek yang bertolak belakang dengan penjelasan sebelumnya. Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, padahal (sebelumnya) dia belum berwujud sama sekali? (Maryam/19: 67)

Ayat di atas menunjuk pada ciptaan pertama dari jenis manusia. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. Reproduksi manusia pada saat ini terjadi dengan bibit yang diproduksi dari organ laki-laki dan perempuan.

Harus diperhatikan secara cermat bahwa dalam ayat tersebut, ada pernyataan bahwa sesuatu ada dari bukan sesuatu. Ayat tersebut menyatakan bahwa sebelum tahapan dimana material dan benda lain menjadi benda hidup, ada satu tahapan lain dimana tidak ada eksistensi apa pun. Kita dapat menyatakan bahwa kursi dibuat dari kayu; atau rantai dibuat dari besi. Di sini kita memiliki material yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang tertentu.

Mereka yang tidak mempercayai agama seringkali menyatakan ayat di atas sebagai dongeng saja. Akan tetapi, ayat di atas tidak menyatakan hal yang demikian. Arti ayat di atas jelas memberitahukan bahwa sebelum adanya penciptaan, tidak ada apa-apa di alam semesta. Setelah ada penciptaan alam semesta, menyusul kemudian penciptaan-penciptaan lainnya, termasuk penciptaan manusia.

Tahap kedua perkembangan manusia tampaknya terjadi pada saat manusia ada secara fisik, namun otak belum berkembang baik. Dengan demikian, posisinya masih sama atau lebih rendah dari binatang. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (al-Insan/76: 1).

Tahap ketiga evolusi manusia dicapai saat reproduksi antara manusia laki-laki dan perempuan mulai terjadi. Di dalam Al-Qur’an, Dinyatakan suatu masa dari evolusi manusia. Ketika itu manusia mempunyai karakter binatang tingkat tinggi. Karakter ini adalah adanya perbedaan didasarkan pada seks, terbagi menjadi jantan dan betina.

Pada masa ini, perkembangbiakan sudah melalui sperma yang dihasilkan manusia laki-laki. Keadaan demikian ini menjadikan manusia sudah memiliki ciri yang sama dengan binatang tingkat tinggi. Dua penggalan ayat di bawah ini menunjukkan hal tersebut:

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka (seraya berkata), “Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur.” (al-A’raf/7: 189)

Dan firman Allah: Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak?. (an-Nisa’/4: 1)

Lebih lanjut Al-Qur’an memperlihatkan perkembangan manusia ke tingkat yang lebih lanjut, yaitu menggunakan nalarnya, demikian: Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (al-Insan/76: 2)

Mulai dari masa ini, karena peran pentingnya di alam semesta, manusia mulai mempelajari alam. Untuk dapat mengelola dengan baik, manusia memerlukan penguasaan pengetahuan secara luas. Tahap keempat ini dicapai saat otak manusia telah mencapai kesempurnaannya. Diciri dari perkembangan kecerdasan dan kepedulian terhadap lingkungan yang sangat cepat.

Baca Juga:  Surah Al-Insan Ayat 23-31; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Dengan kemampuannya dalam mendengarkan dan melihat, sebagaimana juga dapat dilakukan oleh binatang, manusia kemudian mulai melatih kecerdasannya sampai pada tingkat dapat melakukan penemuan-penemuan yang berguna untuk kehidupannya. Di sini manusia telah menempatkan dirinya jauh di atas binatang. Ia menjadi jenis binatang yang dapat bertahan hidup melalui kemampuan berpikir dan berbicara.

Uraian evolusi manusia ini tidak dengan eksplisit disampaikan dalam Al-Qur’an . Mengapa? Karena kitab ini tidak dimaksudkan sebagai buku ilmiah. Al-Qur’an diciptakan untuk mengungkapkan kebenaran, dan meninggalkan beberapa gap atau rumpang yang akan diisi oleh kemajuan pengetahuan manusia.

Tafsir Quraish Shihab: Dalam surah ini dibicarakan perihal penciptaan dan cobaan kepada umat manusia yang berpotensi untuk bersyukur kepada Allah atau mengingkari-Nya. Balasan yang akan diberikan kepada orang-orang kafir, dalam surat ini, dibicarakan secara global. Sementara mengenai kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepada orang-orang Mukmin dipaparkan secara lebih rinci.

Surah ini kemudian mengkhususkan pembicaraan kepada Rasulullah saw. yang dikaruniai al-Qur’ân. Rasul diperintahkan agar bersabar dan selalu melakukan ketaatan. Surat ini juga memuat peringatan bagi mereka yang mencintai kehidupan dunia dengan tidak mempedulikan akhirat. Dibicarakan pula mengenai ayat-ayat yang dapat dijadikan sebagai nasihat dan peringatan dengan kehendak Allah.

Sesungguhnya rahmat dan azab Allah akan diberikan sesuai dengan kehendak dan kemahakuasaan-Nya.]] Sungguh, manusia telah melewati suatu masa sebelum ditiupkan ruh ke dalam dirinya. Ketika itu, manusia adalah sesuatu yang tak bernama dan belum diketahui akan diperlakukan apa.

Surah Al-Insan Ayat 2
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

Terjemahan: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

Tafsir Jalalain: إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia) artinya, jenis manusia مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ (dari setetes mani yang bercampur) yang bercampur dengan indung telur, yaitu air mani laki-laki bercampur menjadi satu dengan air mani perempuan نَبْتَلِيهِ (yang Kami hendak mengujinya) dengan membebankan kewajiban-kewajiban kepadanya, jumlah ayat ini merupakan jumlah Isti’naf yakni kalimat permulaan, atau dianggap sebagai Hal dari lafal yang diperkirakan. Yaitu, Kami bermaksud hendak mengujinya ketika Kami mempersiapkan kejadiannya فَجَعَلْنَاهُ (karena itu Kami jadikan dia) Kami menjadikan dia dapat سَمِيعًا بَصِيرًا (mendengar dan melihat.)

Tafsir Ibnu Katsir: إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٍ (“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.”) yakni yang bercampur. Kata “al-‘asy-ju” dan “al-masyii-ju” berarti sesuatu yang bercampur sebagian dengan sebagian lainnya.

Mengenai firman-Nya: مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٍ (“Setetes air mani yang bercampur.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yakni sperma laki-laki dan ovum perempuan jika telah bersatu dan bercampur, lalu beralih dari satu fase ke fase berikutnya, dari satu keadaan ke keadaan berikutnya, dan dari satu warna ke warna berikutnya.”

Firman Allah: نَّبۡتَلِيهِ (“Yang Kami hendak mengujinya.”) yakni mencobanya. Yang demikian itu sama dengan firman-Nya: liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan (“Siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya.”) (al-Mulk: 2). فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا (“Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”) maksudnya, Kami berikan kepadanya pendengaran dan penglihatan sehingga dengan keduanya dia mampu berbuat ketaatan dan juga kemaksiatan.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan unsur-unsur penciptaan manusia, yaitu bahwa manusia diciptakan dari sperma (nuthfah) laki-laki dan ovum perempuan yang bercampur. Kedua unsur itu berasal dari sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan dan keluar secara berpancaran. Firman Allah:

Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (ath-thariq/86: 6-7)

Perkataan amsyaj (bercampur) yang terdapat dalam ayat ini maksudnya ialah bercampurnya sperma laki-laki yang berwarna keputih-putihan dengan sel telur perempuan yang kekuning-kuningan. Campuran itulah yang menghasilkan segumpal darah (‘alaqah), kemudian segumpal daging (mudgah), lalu tulang belulang yang dibungkus dengan daging, dan seterusnya, sehingga setelah 9 bulan dalam rahim ibu lahirlah bayi yang sempurna.

Maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk mengujinya dengan perintah (taklif) dan larangan, dan untuk menjunjung tegaknya risalah Allah di atas bumi ini. Sebagai ujiannya, di antaranya adalah apakah mereka bisa bersyukur pada waktu senang dan gembira, dan sabar dan tabah ketika menghadapi musuh.

Karena kelahiran manusia pada akhirnya bertujuan sebagai penjunjung amanat Allah, kepadanya dianugerahkan pendengaran dan penglihatan yang memungkinkannya menyimak dan menyaksikan kebesaran, kekuasaan, dan besarnya nikmat Allah.

Manusia dianugerahi pendengaran dan akal pikiran adalah sebagai bukti tentang kekuasaan Allah. Penyebutan secara khusus pendengaran dan penglihatan dalam ayat ini bermakna bahwa keduanya adalah indra yang paling berfungsi mengamati ciptaan Allah untuk membawa manusia mentauhidkan-Nya.

Dengan alat penglihatan dan pendengaran serta dilengkapi pula dengan pikiran (akal), tersedialah dua kemungkinan bagi manusia. Apakah ia cenderung kembali kepada sifat asalnya sebagai makhluk bumi sehingga ia sama dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau ia cenderung untuk menjadi makhluk yang Ilahiah, yang berpikir dan memperhatikan kebesaran-Nya?

Baca Juga:  Mengapa Surat Al-Fatihah Diletakkan Terakhir dalam Tafsir Jalalain?

Setelah menjadi manusia yang sempurna indranya sehingga memungkinkan dia untuk memikul beban (taklif) dari Allah, maka diberikanlah kepadanya dua alternatif jalan hidup seperti disebutkan dalam ayat berikutnya.

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari nutfah yang memiliki berbagai unsur. Lalu Kami menguji dan mencobanya dengan berbagai perintah dan larangan. Karena itu, ia Kami jadikan memiliki pendengaran dan penglihatan agar dapat mendengarkan ayat-ayat dan menyaksikan bukti-bukti kekuasaan Kami.

Surah Al-Insan Ayat 3
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Terjemahan: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Tafsir Jalalain: إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ (Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan petunjuk) maksudnya, Kami telah menjelaskan kepadanya jalan hidayah dengan mengutus rasul-rasul kepada manusia إِمَّا شَاكِرًا (ada yang bersyukur) yaitu menjadi orang mukmin,

وَإِمَّا كَفُورًا (dan ada pula yang kafir) kedua lafal ini, yakni Syaakiran dan Kafuuran merupakan Haal dari Maf’ul; yakni Kami telah menjelaskan jalan hidayah kepadanya, baik sewaktu ia dalam keadaan bersyukur atau pun sewaktu ia kafir sesuai dengan kepastian Kami. Lafal Immaa di sini menunjukkan rincian tentang keadaan.

Tafsir Ibnu Katsir: إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ (“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus.”) yakni Kami telah memberikan penjelasan dan keterangan sekaligus menjadikannya dapat melihat. Yang demikian itu seperti firman Allah Jalla wa ‘Alaa: wa HadainaaHun najdaiin (“Dan kami tunjuki dia dua jalan.”) maksudnya, kami jelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.

Firman Allah: إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (“Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”) kalimat ini manshub [berharakat fathah] dalam kedudukannya sebagai haal dari huruf Haa’ di dalam firman-Nya: innaa HadainaaHus sabiila; yang artinya, dalam hal itu dia bisa sengsara dan bisa juga bahagia, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Malik al-Asy’ari, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

“Setiap orang pergi pada pagi hari, lalu dia akan mempertaruhkan dirinya, baik dia akan membinasakannya atau menyelamatkannya.”

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad, manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Allah menunjukkan kepadanya kebaikan dan kejahatan.

Dari perkataan sabil yang terdapat dalam ayat ini, tergambar keinginan Allah terhadap manusia yakni membimbing mereka kepada hidayah-Nya. Kata sabil lebih tepat diartikan sebagai petunjuk daripada jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kenabian yang disebutkan dalam kitab suci.

Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan, dan pikiran. Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti wujud-Nya melalui penglihatan terhadap diri mereka sendiri dan alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.

Akan tetapi, memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu, sebagian manusia ada yang bersyukur, tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukmin, dan ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang tersedia. Pada ayat lain disebutkan:

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (al-Mulk/67: 2)

Firman Allah: Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (Muhammad/47: 31)

Bahwa manusia diciptakan atas fitrah dan hidayah-Nya terlebih dahulu, baru kemudian datang godaan untuk mengingkari Allah, disebutkan dalam suatu ayat: ?(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. (ar-Rum/30: 30)

Dalam suatu hadis disebutkan: Tiada seorang pun yang keluar (rumah), kecuali di tangannya ada dua bendera: bendera (yang satu) di tangan malaikat dan bendera (yang lain) di tangan setan. Jika seseorang keluar karena mengharapkan apa yang dicintai atau disenangi Allah, niscaya ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya.

Ia senantiasa berada di bawah bendera malaikat sampai ia kembali ke rumahnya. Dan jika seseorang keluar karena mencari apa yang dimurkai Allah, niscaya ia diikuti oleh setan dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera setan sampai ia kembali ke rumahnya. (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah)

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepada manusia petunjuk kebenaran, ada yang beriman dan ada pula yang ingkar.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Insan Ayat 1-3 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S