Surah Al-Qashash Ayat 25-28; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Qashash Ayat 25-28

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Qashash Ayat 25-28 ini, dijelaskan bagaimana akhir penderitaan yang dialami Musa dengan dikabulkan doanya oleh Allah. Selanjutkan dikisahkan pertemuan nabi Musa dengan dua orang gadis pengembala anak dari nabi Syuaib as. Di ayat ini juga dijelaskan pertemuan Musa dengan Syuaib yang ingin berterima kasih kepada nya atas bantuannya memberi minum ternak-ternak mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qashash Ayat 25-28

Surah Al-Qashash Ayat 25
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Terjemahan: Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”.

Tafsir Jalalain: فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ (Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan) seraya menutupkan kain kerudung ke mukanya karena malu kepada Nabi Musa قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا (ia berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami”) Nabi Musa memenuhi panggilannya dan menolak dalam hatinya upah yang akan diberikan kepadanya, karena seolah-olah wanita itu bermaksud hendak memberi upah dan menganggap dirinya sebagai seorang upahan.

Kemudian wanita itu berjalan di muka Nabi Musa tiba-tiba angin meniup kainnya, sehingga terlihat kedua betisnya. Lalu Nabi Musa berkata kepadanya, “Berjalanlah engkau di belakangku dan tunjukkanlah jalan itu kepadaku”.

Wanita itu menuruti apa yang dikatakan oleh Nabi Musa, sehingga Nabi Musa sampai ke tempat bapak wanita itu, dia adalah Nabi Syuaib a.s. Ketika Nabi Musa sampai di hadapannya ternyata telah disiapkan makan malam, maka Nabi Syuaib berkata, “Duduklah, kemudian makan malamlah”.

Nabi Musa menjawab, “Aku khawatir jika makan malam ini sebagai imbalan karena aku telah memberi minum ternak keduanya, sedangkan aku berasal dari ahlul bait yang tidak pernah meminta imbalan dari suatu pekerjaan yang baik”. Nabi Syuaib berkata, “Tidak, ini merupakan tradisiku dan tradisi nenek moyangku. Kami biasa menjamu tamu kami, juga biasa memberi makan”.

Nabi Musa baru mau memakannya dan menceritakan kepadanya semua apa yang telah ia alami. Untuk itu maka Allah swt. berfirman, فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ (“Maka tatkala Musa mendatangi bapak wanita itu dan menceritakan kepadanya kisah mengenai dirinya) lafal Al Qashash adalah Mashdar yang bermakna Isim Maf’ul; maksudnya Nabi Musa menceritakan kepadanya tentang pembunuhannya terhadap seorang bangsa Mesir dan niat bangsa Mesir untuk membunuhnya, serta kekhawatirannya terhadap Firaun.

قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (Syuaib berkata, ‘Janganlah kamu takut! Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim’.”) karena tidak ada kekuasaan bagi Firaun atas negeri Madyan.

Tafsir Ibnu Katsir: Ketika kedua wanita itu kembali lebih cepat dengan membawa kambing-kambing ke rumah ayahnya, sang ayah pun tidak percaya dengan kedatangan keduanya yang begitu cepat. Dia menyanyakan tentang kondisi kedua putrinya itu. Lalu keduanya menceritakan peristiwa tentang yang dilakukan oleh Musa. Maka sang ayah mengutus salah satu dari kedua puterinya itu untuk mengajak Musa menemui dirinya.

Firman Allah: فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ (“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari wanita itu berjalan dengan malu-malu.” Yaitu jalannya wanita-wanita yang terhormat [bukan budak].”)

Sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mukminin, ‘Umar ra, berkata: “Dia datang dengan menutupkan dengan pakaiannya ke wajahnya.”
Ibnu Abi Hatim berkata bahwa ‘Amir bin Maimun berkata, ‘Umar ra. berkata: “Dia datang berjalan dengan malu-malu dengan menutupkan pakaian ke wajahnya, bukan wanita yang amat berani dan sering keluar rumah.” Isnadnya shahih.

Al-Jauhari berkata: “Kata [assalfa’u] pada laki-laki adalah pemberani, dan pada wanita adalah aktif dan gesit, sedangkan pada unta adalah tangkas.”

قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا (“Ia berkata: ‘Sesungguhnya ayahku memanggilmu, agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami.’”) ini merupakan sikap beradab dalam bertutur kata, dimana ia tidak memintanya secara mutlak, agar tidak menimbulkan perasaan curiga, bahkan ia berkata:

“Sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk memberikan balasan bagi kebaikanmu memberi minum ternak kami.” Yaitu “agar ia memberikan balasan dan memberimu upah atas pertolonganmu memberikan minum ternak kami.”

فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ (“Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya dan menceritakan kepadanya cerita tentang dirinya.”) yaitu dia menceritakan kepadanya perkara yang terjadi terhadap dirinya yang menyebabkan ia keluar dari negerinya.

قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (“Ayahnya berkata: ‘Jangan kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.’”) ia berkata: “Tenteramlah jiwamu dan luruskanlah pandanganmu, karena engkau telah keluar dari kerajaan mereka. mereka tidak memiliki kekuasaan di negeri kami.” Untuk itu dia berkata: نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (“Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.”)

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa ayah wanita ini. Ada beberapa pendapat, salah satunya berpendapat bahwa ayahnya itu adalah Syu’aib as. salah seorang Nabi yang diutus kepada penduduk Madyan. Inilah pendapat yang masyur di kalangan banyak ulama. Juga dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri dan selainnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz al-Azdi, dari Malik bin Anas, telah sampai kabar kepadanya, bahwa Syu’aib as. lah yang diceritakan oleh Musa tentang dirinya. Dia berkata: لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (“Jangan kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.”)

Ath Thabrani meriwayatkan dari Salamah bin Sa’ad al-Ghazi, bahwa seorang utusan datang kepada Rasulullah saw. dan berkata kepadanya: “Selamat datang kaum Syu’aib dan dua saudari Musa, semoga engkau diberi hidayah.” Ulama lain berkata: “Dia adalah anak laki-laki saudara Syu’aib.” Pendapat lain mengatakan: “Dia adalah seorang laki-laki Mukmin dari kaum Syu’aib.”

Baca Juga:  Surah Yasin Ayat 55-58; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Kemenag: Pada ayat ini dijelaskan bagaimana akhir penderitaan yang dialami Musa dengan dikabulkan doanya oleh Allah. Tak disangka-sangka, datanglah salah seorang dari kedua gadis itu dengan agak malu-malu dan berkata kepada Musa bahwa ayahnya mengundang Musa datang ke rumahnya untuk sekadar membalas budi baik Musa yang telah menolong mereka mengambil air minum dan memberi minum binatang ternak mereka.

Musa dapat memahami bahwa kedua gadis itu berasal dari keluarga orang baik-baik, karena melihat sikapnya yang sopan dan di waktu datang kepadanya dan mendengar bahwa yang mengundang datang ke rumahnya itu bukan dia sendiri melainkan ayahnya. Kalau gadis itu sendiri yang mengundang, mungkin timbul kesan yang tidak baik terhadapnya.

Para mufasir berbeda pendapat tentang ayah gadis itu apakah dia Nabi Syuaib atau bukan. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayah kedua gadis itu adalah seorang pemuka agama yang saleh dan telah berusia lanjut. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ayah wanita itu adalah Nabi Syuaib tidak bisa diterima karena Nabi Syuaib hidup jauh sebelum Nabi Musa.

Akhirnya berangkatlah Musa bersama gadis itu ke rumah orang tua mereka. Setelah sampai, Musa menceritakan kepada orang tua gadis itu riwayat hidupnya bersama Fir’aun, bagaimana kesombongan dan penghinaannya terhadap Bani Israil, sampai kepada keputusan dan perintah untuk membunuhnya, sehingga ia lari dari Mesir karena takut dibunuh.

Orang tua itu mendengarkan cerita Musa dengan penuh perhatian. Setelah Musa selesai bercerita, orang tua itu berkata kepadanya, “Engkau tidak perlu merasa takut dan khawatir karena engkau telah lepas dari kekuasaan orang-orang zalim itu. Mereka tidak akan dapat menangkapmu, karena engkau telah berada di luar batas kerajaan mereka.” Dengan demikian, hati Musa merasa tenteram karena ia sudah mendapat perlindungan di rumah seorang pemuka agama yang besar pengaruhnya di kawasan tersebut.

Tafsir Quraish Shihab: Salah seorang dari dua wanita yang dikirim oleh ayahnya–setelah si ayah mendengar apa yang telah dilakukan Mûsâ pada kedua wanita itu–datang menemui Mûsâ dengan malu-malu. Kepadanya, wanita itu berkata,

“Ayahku memanggilmu untuk memberi upah kerjamu mengambilkan kami air.” Sampai di rumah sang ayah, Mûsâ lantas mengisahkan perjalanannya dari negeri Mesir. Orang tua itu berkata, “Jangan takut! Kamu telah selamat dari orang-orang zalim, karena Fir’aun tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas kami.”

Surah Al-Qashash Ayat 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Terjemahan: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Tafsir Jalalain: قَالَتْ إِحْدَاهُمَا (Salah seorang dari kedua wanita itu berkata) yakni wanita yang disuruh menjemput Nabi Musa yaitu yang paling besar atau yang paling kecil يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ (“Ya bapakku! Ambillah dia sebagai orang yang bekerja pada kita) sebagai pekerja kita, khusus untuk menggembalakan kambing milik kita, sebagai ganti kami إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”) maksudnya, jadikanlah ia pekerja padanya, karena dia adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.

Lalu Nabi Syuaib bertanya kepada anaknya tentang Nabi Musa. Wanita itu menceritakan kepada bapaknya semua apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa, mulai dari mengangkat bata penutup sumur, juga tentang perkataannya, “Berjalanlah di belakangku”.

Setelah Nabi Syuaib mengetahui melalui cerita putrinya bahwa ketika putrinya datang menjemput Nabi Musa, Nabi Musa menundukkan pandangan matanya, hal ini merupakan pertanda bahwa Nabi Musa jatuh cinta kepada putrinya, maka Nabi Syuaib bermaksud mengawinkan keduanya.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”) yaitu berkata salah seorang putri laki-laki ini. Satu pendapat mengatakan, wanita itu adalah yang pergi di belakang Musa as. ia berkata kepada ayahnya: يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ (“Hai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja.”) yaitu sebagai penggembala kambingnya.

‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq dan selainnya berkata: Ketika wanita itu berkata: إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (“sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”) maka ayahnya berkata kepadanya: “Apa yang kamu ketahui tentang itu?” wanita itu berkata:

“Dia telah mengangkat sebuah batu besar yang tidak mampu diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki. Dan saat aku datang bersamanya, aku berjalan di depannya, lalu ia berkata kepadaku: ‘Berjalanlah di belakangku.’ Jika ia berbeda jalan denganku, ia memberikan sebuah tanda batu kerikil agar aku mengetahui kemana ia berjalan.”

Sufyan ats-Tsauri berkata dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Manusia paling cerdik ada 3 orang; Abu Bakar yang memberikan kecerdikannya kepada ‘Umar, teman Yusuf ketika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya tempat yang baik,’ dan teman wanita Musa berkata:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (“Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”)

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 28-30; Seri Tadabbur Al-Qur'an

Tafsir Kemenag: Rupanya orang tua itu tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu, yang mengurus semua urusan keluarga itu hanyalah kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di samping mengurus rumah tangga. Terpikir oleh salah seorang putri itu untuk meminta tolong kepada Musa yang tampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya menjadi pembantu di rumah ini.

Putri itu mengusulkan kepada bapaknya agar mengangkat Musa sebagai pembantu mereka untuk menggembala kambing, mengambil air, dan sebagainya karena dia seorang yang jujur, dapat dipercaya, dan kuat tenaganya. Usul itu berkenan di hati bapaknya, bahkan bukan hanya ingin mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan salah satu putrinya dengan Musa.

Tafsir Quraish Shihab: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai Ayah, pekerjakan pemuda itu untuk menggembala atau mengurus domba piaraan kita dengan gaji! Sungguh, ia adalah orang yang paling baik yang engkau pekerjakan, karena tenaganya kuat dan dirinya dapat dipercaya.”

Surah Al-Qashash Ayat 27
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

Terjemahan: Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.

Tafsir Jalalain: قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ (Berkatalah dia, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini) yaitu yang paling besar atau yang paling kecil عَلَى أَن تَأْجُرَنِي (atas dasar kamu bekerja denganku) yakni, menggembalakan kambingku ثَمَانِيَ حِجَجٍ (delapan tahun) selama delapan tahun,

فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا (dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun) yakni, menggembalakan kambingku selama sepuluh tahun فَمِنْ عِندِكَ (maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu) kegenapan itu وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ (maka aku tidak hendak memberati kamu) dengan mensyaratkan sepuluh tahun.

سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ (Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku) lafal Insya Allah di sini maksudnya untuk ber-tabarruk مِنَ الصَّالِحِينَ (termasuk orang-orang yang baik”) yaitu orang-orang yang menepati janjinya.

Tafsir Ibnu Katsir: ayahnya berkata: إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ (“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.”) Laki-laki ini memintanya untuk menggembalakan kambingnya dan menikahkannya dengan salah seorang putrinya.

Syu’aib al-Jubba-i berkata: “Keduanya cantik dan molek.” Para murid Abu Hanifah mengambil dalil ayat ini tentang sahnya jual beli, dimana salah seorang berkata: “Aku jual kepadamu salah seorang budak ini dengan harga 100.” Lalu yang lain berkata, “Aku beli.” Maka sah. wallaaHu a’lam.

Firman-Nya: عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ (“Atas dasar bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah darimu.”) kewajibanmu hanya menggembalakan kambingku selama delapan tahun. Jika engkau mendermakan dengan melebihkannya dua tahun maka itu adalah darimu sendiri. Kalau tidak, cukup delapan tahun saja.

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (“Maka aku tidak hendak memberatkanmu. Dan engkau insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”) yaitu aku tidak akan memberatkanmu, tidak menyakitimu dan tidak menguasaimu.

Tafsir Kemenag: Dengan segera orang tua itu mengajak Musa berbincang. Dengan terus terang dia mengatakan keinginannya untuk mengawinkan Musa dengan salah seorang putrinya. Sebagai mahar perkawinan ini, Musa harus bekerja menggembalakan kambing selama delapan tahun, kalau Musa menyanggupi bekerja sepuluh tahun maka itu lebih baik.

Ini adalah tawaran yang amat simpatik dan amat melegakan hati Musa, sebagai seorang pelarian yang ingin menghindarkan diri dari maut, seorang yang belum yakin akan masa depannya, apakah ia akan terlunta-lunta di negeri orang, karena tidak tentu arah yang akan ditujunya. Apalagi yang lebih berharga dan lebih membahagiakan dari tawaran itu? Tanpa ragu-ragu Musa telah menetapkan dalam hatinya untuk menerima tawaran tersebut.

Para ulama mengambil dalil dengan ayat ini bahwa seorang bapak boleh meminta seorang laki-laki untuk menjadi suami putrinya. Hal ini banyak terjadi di masa Rasulullah saw, bahkan ada di antara wanita yang menawarkan dirinya supaya dikawini oleh Rasulullah saw atau supaya beliau mengawinkan mereka dengan siapa yang diinginkannya.

Umar pernah menawarkan anaknya Hafsah (yang sudah janda) kepada Abu Bakar tetapi Abu Bakar hanya diam. Kemudian ditawarkan kepada ‘Utsman, tetapi ‘Utsman meminta maaf karena keberatan. Hal ini diberitahukan Abu Bakar kepada Nabi. Beliau pun menenteramkan hatinya dengan mengatakan, “Semoga Allah akan memberikan kepada Hafsah orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan ‘Utsman.” Kemudian Hafsah dikawini oleh Rasulullah.

Tafsir Quraish Shihab: Syu’ayb berkata kepada Mûsâ, “Aku bermaksud mengawinkanmu dengan salah seorang putriku ini. Sebagai maskawinnya, kamu harus bekerja pada kami selama delapan tahun. Tapi, jika kamu mau menggenapkannya mejadi sepuluh tahun dengan sukarela, maka itu baik saja. Tapi aku tidak mengharuskan dirimu memilih masa yang lebih panjang. Insya Allah kamu akan mendapatkan diriku sebagai orang yang saleh, yang baik dalam bermuamalat dan menepati janji.”

Surah Al-Qashash Ayat 28
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ

Terjemahan: Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”.

Baca Juga:  Tadabbur Surah Ali Imran Ayat 141-148; Terjamahan dan Tafsir

Tafsir Jalalain: Musa قَالَ ذَلِكَ (Berkata, “Itulah) yakni perjanjian yang telah kamu katakan itu بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ (antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu) delapan atau sepuluh tahun masa penggembalaan itu; huruf Ma pada lafal Ayyama adalah huruf Zaidah قَضَيْتُ (aku sempurnakan) aku selesaikan فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ (maka tidak ada tuntutan atas diriku) artinya tuntutan tambahan waktu lain.

وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ (Dan Allah atas apa yang kita ucapkan) tentang apa yang diucapkan oleh aku dan kamu وَكِيلٌ (adalah sebagai saksi.”) pemelihara atau saksi. Maka perjanjian itu dinyatakan oleh keduanya, dan Nabi Syuaib memerintahkan anak perempuannya supaya memberikan tongkatnya kepada Nabi Musa untuk mengusir binatang-binatang buas dari ternak yang digembalakannya nanti.

Tongkat itu adalah milik para nabi secara turun-temurun sejak Nabi Adam dan kini berada di tangan Nabi Syuaib. Tongkat itu berasal dari kayu surga, tongkat itu beralih ke tangan nabi Musa dengan sepengetahuan Nabi Syuaib.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah mengabarkan tentang Musa: قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ (“Dia [Musa] berkata: ‘Inilah [perjanjian] antara aku dan dirimu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku [lagi].

Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.’”) ia berkata, Sesungguhnya Musa berkata kepada mertuanya: “Perkaranya sesuai dengan yang engkau katakan, dimana engkau menjadikan aku sebagai pegawai selama delapan tahun. Jika aku sempurnakan menjadi sepuluh tahun, maka itu berarti dariku. Mana saja yang paling minimal aku lakukan, maka aku telah bebas dari tanggungan dan telah keluar dari syarat yang ada.

Untuk itu ia berkata: أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ (“Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku [lagi].”) maka tidak mengapa bagiku, sekalipun sempurna itu lebih baik sekalipun mubah, karena ia merupakan kelebihan dari satu sisi dengan dalil yang lain,

sebagaimana Allah berfirman: فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ (“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat [dari Mina] sesudah dua hari, maka tak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang menangguhkan [keberangkatannya dari dua hari itu], maka tidak ada dosa pula baginya.”)(al-Baqarah: 203)

Sesungguhnya dalil menunjukkan bahwa Musa as. melakukan dua waktu yang paling sempurna dan lengkap.

Al-Bukhari berkata, bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Seorang Yahudi dari penduduk Hirah bertanya kepadaku, waktu yang mana yang ditunaikan Musa dari waktu yang ditetapkan. Aku berkata, “Aku tidak tahu hingga aku bertanya kepada ahli bahasa Arab, aku bertanya kepadanya, lalu aku ajukan kepada Ibnu ‘Abbas. Maka aku menanyakannya dan beliau berkata: ‘Katakanlah, bahwa dia menunaikan waktu yang paling lama dan paling baik. Karena seorang Rasul Allah jika berkata, ia pasti lakukan.’

Diriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas secara marfu’, ia berkata, Ibnu Jarir berkata dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril, waktu yang mana yang ditunaikan Musa as ? Jibril menjawab: ‘Yang paling lengkap dan paling sempurna [di antara keduanya].’” HR Ibnu Abi Hatim dan al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw.

Kemudian Ibnu Abi Hatim berkata dari Yusuf bin Tirah, bahwa Rasulullah saw. ditanya, “Dua masa mana yang dilakukan Musa?” beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Lalu Rasulullah saw. bertanya kepada Jibril dan Jibril menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Lalu Jibril bertanya kepada Malaikat yang berada di atasnya dan mereka menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Maka malaikat itu bertanya kepada Rabb tentang apa yang dipertanyakan Jibril dari pertanyaan Muhammad saw.

Maka Allah menjawab, “Dia menunaikan yang paling bagus dan paling baik.” Hadits ini mursal serta ada dalam jalan lain secara mursal. Ini merupakan jalan-jalan yang saling mendukung. Kemudiah hal ini diriwayatkan dari Abu Dzarr ra, al-Hafizh Abu Bakar al-Bazzar berkata dari Abu Dzarr ra. bahwa Nabi saw. ditanya, manakah dua waktu yang ditunaikan Musa? Beliau menjawab: “Yang paling lengkap dan paling baik. Ia berkata: dan jika engkau ditanya tentang dua wanita mana yang dinikahinya? Maka katakanlah: yang paling muda.”

Kemudian al-Bazzar berkata: “Kami tidak mengetahui yang diriwayatkan dari Abu Dzarr kecuali dengan isnad ini.”

Tafsir Kemenag: Musa menerima tawaran itu dan berjanji kepada orang tua kedua gadis itu bahwa dia akan memenuhi syarat-syarat yang disepakati dan akan memenuhi salah satu dari dua masa yang ditawarkan, yaitu delapan atau sepuluh tahun. Sesudah itu tidak ada kewajiban lagi yang harus dibebankan kepadanya. Musa juga menyatakan bahwa Allah yang menjadi saksi atas kebenaran apa yang telah diikrarkan bersama.

Tafsir Quraish Shihab: Mûsâ berkata, “Apa yang telah kau katakan itu adalah janji antara kita berdua. Jika aku telah melewatkan salah satu dari batas waktu yang telah engkau tentukan itu, berarti aku telah menepati janjimu dan aku tidak menginginkan masa kerja itu diperpanjang. Allah Maha Menyaksikan apa yang kita ucapkan.”

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Qashash Ayat 25-28 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S