Surah Al-Waqiah Ayat 63-74; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Waqiah Ayat 63-74

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Waqiah Ayat 63-74 ini, menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia itu mengetahui bahwa Allah-lah yang menciptakan mereka dari semula dari sejak tidak ada, dan tidak pernah menjadi sebutan sebelumnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah Mahakuasa menghidupkan mereka dari tulang-belulang, yang sekian lamanya berada di alam kubur, Allah Mahakuasa untuk menghidupkan kembali seperti keadaan sebelum mati.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Waqiah Ayat 63-74

Surah Al-waqiah ayat 63
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونََ

Terjemahan: Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.

Tafsir Jalalain: أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (Maka terangkanlah kepada-Ku tentang yang kalian tanam?) yaitu tentang tanah yang kalian bajak lalu kalian semaikan benih-benih di atasnya.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman: أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (“Maka terangkanlah kepada-Ku tentang apa yang kamu tanam.”) yakni mencangkul tanah, membajak, dan menaburkan benih padanya.

Tafsir Kemenag: Dengan cara mengemukakan pertanyaan, Allah mengungkapkan kepada manusia bahwa sebagian besar dari mereka lupa akan keagungan nikmat yang diungkapkan tersebut, walaupun mereka merasakan kelezatan nikmat-nikmat tersebut sepanjang masa.

Allah menyampaikan pertanyaan kepada manusia, untuk dipikirkan dan direnungkan mengenai berbagai tanaman yang ditanam oleh manusia, baik tanaman yang di sawah, ladang, maupun bibit pohon-pohonan yang ditanam di perkebunan.

Diungkapkan bahwa bagi semua tanaman tersebut di atas, kedudukan manusia hanya sekadar sebagai penanamnya, memupuk dan memeliharanya dari berbagai gangguan yang membawa kerugian. Tetapi kebanyakan manusia lupa terhadap siapakah yang menumbuhkan tanaman tersebut.

Siapakah yang menambah panjang akarnya menembus ke dalam tanah, sehingga pohon tersebut dapat berdiri tegak? Siapakah yang menumbuhkan daun dan dahannya? Siapa pula yang menumbuhkan bunga dan buahnya? Pertanyaan-pertanyaan yang dikumpulkan dalam ayat ini adalah soal-soal yang penting yang sering diabaikan oleh manusia.

Bukankah manusia sekedar mencangkul dan menggemburkan tanahnya? Bukankah manusia sekedar menanamkan bibit yang telah dipilihnya sebagai bibit yang terbaik? Dan bukankah manusia sekedar menyiram, mengairinya, dan membersihkannya dari berbagai rumput dan hama yang mengganggu pertumbuhannya dan bukankah manusia sekedar memupuknya? Tetapi yang terang dan jelas serta tidak ragu-ragu lagi adalah bahwa Allah menumbuhkan tanaman tersebut, menumbuhkan tunas membesarkan pohon-pohonnya, menambah dahan dan ranting serta memekarkan bunga sampai menjadi buah yang bisa dinikmati manusia.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kalian melihat apa yang kalian tanam? Kaliankah yang menumbuhkannya, atau hanya Kami?

Surah Al-waqiah ayat 64
ءَأَنتُمۡ تَزۡرَعُونَهُۥٓ أَمۡ نَحۡنُ ٱلزَّٰرِعُونَ

Terjemahan: Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?

Tafsir Jalalain: ءَأَنتُمۡ تَزۡرَعُونَهُۥٓ (Kaliankah yang menumbuhkannya) suatu pertanyaan, apakah kalian yang telah menumbuhkannya أَمۡ نَحۡنُ ٱلزَّٰرِعُونَ (ataukah Kami yang menumbuhkannya?).

Tafsir Ibnu Katsir: ءَأَنتُمۡ تَزۡرَعُونَهُۥٓ (“Kamu kah yang menumbuhkannya?”) maksudnya apakah kalian yang telah menumbuhkannya [dari] dalam bumi? أَمۡ نَحۡنُ ٱلزَّٰرِعُونَ (“Atau Kami-kah yang menumbuhkannya?”) ataukah Kami yang telah menetapkan dan menumbuhkannya [dari] dalam bumi?”)

Tafsir Kemenag: Dengan cara mengemukakan pertanyaan, Allah mengungkapkan kepada manusia bahwa sebagian besar dari mereka lupa akan keagungan nikmat yang diungkapkan tersebut, walaupun mereka merasakan kelezatan nikmat-nikmat tersebut sepanjang masa.

Allah menyampaikan pertanyaan kepada manusia, untuk dipikirkan dan direnungkan mengenai berbagai tanaman yang ditanam oleh manusia, baik tanaman yang di sawah, ladang, maupun bibit pohon-pohonan yang ditanam di perkebunan.

Diungkapkan bahwa bagi semua tanaman tersebut di atas, kedudukan manusia hanya sekadar sebagai penanamnya, memupuk dan memeliharanya dari berbagai gangguan yang membawa kerugian. Tetapi kebanyakan manusia lupa terhadap siapakah yang menumbuhkan tanaman tersebut. Siapakah yang menambah panjang akarnya menembus ke dalam tanah, sehingga pohon tersebut dapat berdiri tegak? Siapakah yang menumbuhkan daun dan dahannya? Siapa pula yang menumbuhkan bunga dan buahnya?

Pertanyaan-pertanyaan yang dikumpulkan dalam ayat ini adalah soal-soal yang penting yang sering diabaikan oleh manusia. Bukankah manusia sekedar mencangkul dan menggemburkan tanahnya? Bukankah manusia sekedar menanamkan bibit yang telah dipilihnya sebagai bibit yang terbaik? Dan bukankah manusia sekedar menyiram, mengairinya, dan membersihkannya dari berbagai rumput dan hama yang mengganggu pertumbuhannya dan bukankah manusia sekedar memupuknya? Tetapi yang terang dan jelas serta tidak ragu-ragu lagi adalah bahwa Allah menumbuhkan tanaman tersebut, menumbuhkan tunas membesarkan pohon-pohonnya, menambah dahan dan ranting serta memekarkan bunga sampai menjadi buah yang bisa dinikmati manusia.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kalian melihat apa yang kalian tanam? Kaliankah yang menumbuhkannya, atau hanya Kami?

Surah Al-waqiah ayat 65
لَوۡ نَشَآءُ لَجَعَلۡنَٰهُ حُطَٰمًا فَظَلۡتُمۡ تَفَكَّهُونَ

Terjemahan: Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kamu heran dan tercengang.

Tafsir Jalalain: لَوۡ نَشَآءُ لَجَعَلۡنَٰهُ حُطَٰمًا (Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering lagi keropos) maksudnya, tumbuhan yang kalian tanam itu menjadi kering tak ada biji dan isinya فَظَلۡتُمۡ (maka jadilah kalian) pada asalnya lafal Zhaltum adalah Zhaliltum, lalu huruf Lam yang berharakat dibuang demi untuk meringankan bunyi sehingga jadilah Zhaltum, yakni jadilah kalian pada keesokan harinya تَفَكَّهُونَ (heran tercengang) keheranan karena melihat hal tersebut. Lafal Tafakkahuuna asalnya Tatafakkahuuna, lalu salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga menjadi Tafakkahuuna.

Tafsir Ibnu Katsir: لَوۡ نَشَآءُ لَجَعَلۡنَٰهُ حُطَٰمًا (“Kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan ia kering dan hancur.”) maksudnya Kami telah menciptakannya dengan kelembutan dan rahmat Kami dan Kami kekalkan ia bagi kalian. Seandainya Kami menghendaki niscaya Kami akan menjadikannya kering sebelum ia sempurna dipanen. فَظَلۡتُمۡ تَفَكَّهُونَ (“Maka jadilah kamu heran tercengang.”)

Tafsir Kemenag: Kemudian dijelaskan oleh Allah bahwa walaupun tanaman tersebut sangat baik pertumbuhan dan buahnya yang menimbulkan harapan untuk mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah, namun apabila Allah menghendaki lain daripada itu, maka tanaman yang diharapkan itu dapat berubah menjadi tanaman yang tidak berbuah, hampa atau terserang berbagai macam penyakit dan hama, seperti hama wereng, hama tikus, dan sebagainya, sehingga pemiliknya tertegun dan merasa sedih, karena keuntungannya dalam sekejap mata menjadi kerugian yang luar biasa. Sedang untuk membayar berbagai macam pengeluaran seperti ongkos-ongkos mencangkul, menanam, menyiram, memupuk, dan membersihkan rumput merupakan beban berat dan merugikan baginya.

Tafsir Quraish Shihab: Jika Kami berkehendak, Kami akan menjadikan tanaman itu kering dan rusak sebelum matang. Maka kalian akan terus terheran-heran sambil mengatakan, “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian setelah berusaha keras. Bahkan nasib kami buruk, tidak mendapatkan rezeki.”

Surah Al-waqiah ayat 66
إِنَّا لَمُغۡرَمُونَ

Terjemahan: (Sambil berkata): “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian”,

Tafsir Jalalain: إِنَّا لَمُغۡرَمُونَ (-Seraya mengatakan-, “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian,) biaya yang telah kami tanamkan buat tanaman kami.

Tafsir Ibnu Katsir: kemudian Allah menafsirkan hal itu dengan firman-Nya: إِنَّا لَمُغۡرَمُونَ (“Sesungguhnya Kami benar-benar menderita kerugian,) maksudnya seandainya Kami menjadikannya kering kerontang, maka kalian akan menjadi heran tercengang dan akan sembarangan berucap. Terkadang kalian akan mengatakan: “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian”) Qatadah berkata: “Yakni senantiasa diadzab.”

Tafsir Kemenag: Kemudian dijelaskan oleh Allah bahwa walaupun tanaman tersebut sangat baik pertumbuhan dan buahnya yang menimbulkan harapan untuk mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah, namun apabila Allah menghendaki lain daripada itu, maka tanaman yang diharapkan itu dapat berubah menjadi tanaman yang tidak berbuah, hampa atau terserang berbagai macam penyakit dan hama, seperti hama wereng, hama tikus, dan sebagainya, sehingga pemiliknya tertegun dan merasa sedih, karena keuntungannya dalam sekejap mata menjadi kerugian yang luar biasa.

Sedang untuk membayar berbagai macam pengeluaran seperti ongkos-ongkos mencangkul, menanam, menyiram, memupuk, dan membersihkan rumput merupakan beban berat dan merugikan baginya.

Tafsir Quraish Shihab: Jika Kami berkehendak, Kami akan menjadikan tanaman itu kering dan rusak sebelum matang. Maka kalian akan terus terheran-heran sambil mengatakan, “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian setelah berusaha keras. Bahkan nasib kami buruk, tidak mendapatkan rezeki.”

Surah Al-waqiah ayat 67
بَلۡ نَحۡنُ مَحۡرُومُونَ

Terjemahan: bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa.

Tafsir Jalalain: (Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa”) kami tidak mendapatkan rezeki apa-apa.

Tafsir Ibnu Katsir: بَلۡ نَحۡنُ مَحۡرُومُونَ (bahkan kami menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa.”) maksudnya seandainya Kami menjadikannya kering kerontang, maka kalian akan menjadi heran tercengang dan akan sembarangan berucap. Terkadang kalian akan mengatakan: “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian”) Qatadah berkata: “Yakni senantiasa diadzab.”

Tafsir Kemenag: Kemudian dijelaskan oleh Allah bahwa walaupun tanaman tersebut sangat baik pertumbuhan dan buahnya yang menimbulkan harapan untuk mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah, namun apabila Allah menghendaki lain daripada itu, maka tanaman yang diharapkan itu dapat berubah menjadi tanaman yang tidak berbuah, hampa atau terserang berbagai macam penyakit dan hama, seperti hama wereng, hama tikus, dan sebagainya, sehingga pemiliknya tertegun dan merasa sedih, karena keuntungannya dalam sekejap mata menjadi kerugian yang luar biasa. Sedang untuk membayar berbagai macam pengeluaran seperti ongkos-ongkos mencangkul, menanam, menyiram, memupuk, dan membersihkan rumput merupakan beban berat dan merugikan baginya.

Tafsir Quraish Shihab: Jika Kami berkehendak, Kami akan menjadikan tanaman itu kering dan rusak sebelum matang. Maka kalian akan terus terheran-heran sambil mengatakan, “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian setelah berusaha keras. Bahkan nasib kami buruk, tidak mendapatkan rezeki.”

Surah Al-waqiah ayat 68
أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلۡمَآءَ ٱلَّذِى تَشۡرَبُونَ

Terjemahan: Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.

Tafsir Jalalain: أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلۡمَآءَ ٱلَّذِى تَشۡرَبُونَ (Maka terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kalian minum.).

Tafsir Ibnu Katsir: أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلۡمَآءَ ٱلَّذِى تَشۡرَبُونَ (“Maka terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum ) yakni awan. Demikianlah yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan beberapa ulama lainnya. Am nahnul munziluuna (“Ataukah Kami yang menurunkan?”) Allah berfirman: “Tetapi Kamilah yang menurunkannya.”

Baca Juga:  Surah As-Sajdah Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Kemenag: Dalam ayat-ayat ini Allah mengungkapkan salah satu dari nikmat-Nya yang agung, untuk direnungkan dan dipikirkan oleh manusia apakah mereka mengetahui tentang fungsi air yang mereka minum. Apakah mereka yang menurunkan air itu dari langit yaitu air hujan ataukah Allah yang menurunkannya.

Air hujan itu manakala direnungkan oleh manusia, bahwa ia berasal dari uap air yang terkena panas matahari. Setelah menjadi awan dan kemudian menjadi mendung yang sangat hitam bergumpal-gumpal, maka turunlah uap air itu sebagai air hujan yang sejuk dan tawar, tidak asin seperti air laut.

Air tawar tersebut menyegarkan badan serta menghilangkan haus. Bila tidak ada hujan, pasti tidak ada sungai yang mengalir, tidak akan ada mata air walau berapa meter pun dalamnya orang menggali sumur, niscaya tidak akan keluar airnya. Bila tidak ada air, rumput pun tidak akan tumbuh, apalagi tanaman yang ditanam orang.

Apabila tidak ada hujan, pasti tidak ada air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Kalau tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak tumbuh, maka binatang ternak pun tidak ada. Tidak akan ada ayam, tidak akan ada kerbau dan sapi, tidak akan ada kambing dan domba. Sebab hidup memerlukan makan dan minum.

Kalau tidak ada yang dimakan, dan tidak ada yang diminum, bagaimana bisa hidup? Dan kalau tidak ada tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan tidak ada air tawar untuk diminum, bagaimana manusia bisa hidup? Apakah mesti makan tanah? Dan apakah yang akan diminum? Jika air dijadikan Tuhan asin rasanya, pasti tidak bisa menghilangkan haus dan tidak dapat dipergunakan untuk menyiram atau mengairi tanaman.

Dan siapakah yang menurunkan hujan tersebut? Bukankah hanya Allah saja yang dapat menurunkan hujan sehingga mengalir dan sumur dapat mengeluarkan air? Mengapakah manusia tidak bersyukur kepada Allah? Padahal Dialah yang menurunkan hujan yang demikian banyak manfaatnya sebagaimana firman-Nya:

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (an-Nahl/16: 10-11)

Dalam hubungan ini terdapat hadis yang berbunyi: Sesungguhnya Nabi saw apabila selesai minum, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan minuman kepada kita air tawar yang menyegarkan dengan rahmatNya dan tidak menjadikannya asin karena dosa kita.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dari Abu Ja’far)

Menurut kajian ilmiah, air yang dapat diminum dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia adalah air yang mempunyai kandungan garam dan unsur-unsur terlarut cukup dan seimbang, serta tidak mengandung zat yang beracun. Air yang mengandung jumlah garam dan unsur-unsur terlarut yang melebihi keperluan, misalnya air laut, bila diminum berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak organ-organ tubuh.

Pemerintah setiap negara biasanya memiliki peraturan yang memberikan batasan tentang air yang bisa diminum berdasarkan hasil analisis kandungan unsur-unsur yang terlarut. Air yang bisa diminum biasa dicirikan dengan warna yang jernih, aroma yang segar dan rasanya yang enak (lihat pula: alFurqan/25: 48).

Air yang bisa diminum adalah air yang berada di daratan yang berasal dari air hujan. Air laut tidak layak untuk diminum kecuali yang telah diolah melalui destilasi atau ultrafiltrasi. Ayat inipun menegaskan kembali bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan.

Meskipun sekarang telah berkembang teknologi untuk melakukan hujan buatan, tetapi teknologi ini hanya dapat diterapkan pada kondisi atmosfir tertentu yang terjadi di luar kendali manusia, syarat terpenting di antaranya adalah tersedianya uap air dalam jumlah yang memadai di udara.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kalian melihat air tawar yang kalian minum? Kaliankah yang menurunkannya dari awan atau Kamikah yang menurunkannya, sebagai perwujudan kasih sayang Kami kepada kalian?(1) (1) Kata al-muzn dalam bahasa Arab berarti ‘awan yang menurunkan hujan’.

Untuk terjadinya hujan diperlukan keadaan cuaca tertentu yang berada di luar kemampuan manusia, seperti adanya angin dingin yang berhembus di atas angin panas, atau keadaan cuaca yang tidak stabil.

Adapun hujan buatan yang kita kenal itu sampai saat ini masih merupakan percobaan yang persentase keberhasilannya masih sangat kecil, di samping masih memerlukan beberapa kondisi alam tertentu juga.

Surah Al-waqiah ayat 69
ءَأَنتُمۡ أَنزَلۡتُمُوهُ مِنَ ٱلۡمُزۡنِ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنزِلُونَ

Terjemahan: Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?

Tafsir Jalalain: ءَأَنتُمۡ أَنزَلۡتُمُوهُ مِنَ ٱلۡمُزۡنِ (Kaliankah yang menurunkannya dari awan) lafal Muzni adalah bentuk jamak dari lafal Muznatun, artinya awan yang membawa air hujan َأَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنزِلُونَ (ataukah Kami yang menurunkannya).

Tafsir Ibnu Katsir: ءَأَنتُمۡ أَنزَلۡتُمُوهُ مِنَ ٱلۡمُزۡنِ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنزِلُونَ (“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya?”) maksudnya, tetapi Kami lah yang telah menjadikannya tersedia di tempatnya. Bangsa Arab mempunyai dua jenis pohon, salah satunya adalah al-marakh, dan yang satunya lagi adalah al-‘afar. Jika diambil dua dahan yang masih hijau dari kedua pohon tersebut, kemudian masing-masing digosok-gosokkan, maka akan memunculkan api pada keudanya.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat-ayat ini Allah mengungkapkan salah satu dari nikmat-Nya yang agung, untuk direnungkan dan dipikirkan oleh manusia apakah mereka mengetahui tentang fungsi air yang mereka minum. Apakah mereka yang menurunkan air itu dari langit yaitu air hujan ataukah Allah yang menurunkannya.

Air hujan itu manakala direnungkan oleh manusia, bahwa ia berasal dari uap air yang terkena panas matahari. Setelah menjadi awan dan kemudian menjadi mendung yang sangat hitam bergumpal-gumpal, maka turunlah uap air itu sebagai air hujan yang sejuk dan tawar, tidak asin seperti air laut.

Air tawar tersebut menyegarkan badan serta menghilangkan haus. Bila tidak ada hujan, pasti tidak ada sungai yang mengalir, tidak akan ada mata air walau berapa meter pun dalamnya orang menggali sumur, niscaya tidak akan keluar airnya. Bila tidak ada air, rumput pun tidak akan tumbuh, apalagi tanaman yang ditanam orang.

Apabila tidak ada hujan, pasti tidak ada air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Kalau tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak tumbuh, maka binatang ternak pun tidak ada. Tidak akan ada ayam, tidak akan ada kerbau dan sapi, tidak akan ada kambing dan domba. Sebab hidup memerlukan makan dan minum. Kalau tidak ada yang dimakan, dan tidak ada yang diminum, bagaimana bisa hidup?

Dan kalau tidak ada tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan tidak ada air tawar untuk diminum, bagaimana manusia bisa hidup? Apakah mesti makan tanah? Dan apakah yang akan diminum? Jika air dijadikan Tuhan asin rasanya, pasti tidak bisa menghilangkan haus dan tidak dapat dipergunakan untuk menyiram atau mengairi tanaman. Dan siapakah yang menurunkan hujan tersebut?

Bukankah hanya Allah saja yang dapat menurunkan hujan sehingga mengalir dan sumur dapat mengeluarkan air? Mengapakah manusia tidak bersyukur kepada Allah? Padahal Dialah yang menurunkan hujan yang demikian banyak manfaatnya sebagaimana firman-Nya:

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (an-Nahl/16: 10-11)

Dalam hubungan ini terdapat hadis yang berbunyi: Sesungguhnya Nabi saw apabila selesai minum, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan minuman kepada kita air tawar yang menyegarkan dengan rahmatNya dan tidak menjadikannya asin karena dosa kita.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dari Abu Ja’far)

Menurut kajian ilmiah, air yang dapat diminum dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia adalah air yang mempunyai kandungan garam dan unsur-unsur terlarut cukup dan seimbang, serta tidak mengandung zat yang beracun. Air yang mengandung jumlah garam dan unsur-unsur terlarut yang melebihi keperluan, misalnya air laut, bila diminum berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak organ-organ tubuh.

Pemerintah setiap negara biasanya memiliki peraturan yang memberikan batasan tentang air yang bisa diminum berdasarkan hasil analisis kandungan unsur-unsur yang terlarut. Air yang bisa diminum biasa dicirikan dengan warna yang jernih, aroma yang segar dan rasanya yang enak (lihat pula: alFurqan/25: 48).

Air yang bisa diminum adalah air yang berada di daratan yang berasal dari air hujan. Air laut tidak layak untuk diminum kecuali yang telah diolah melalui destilasi atau ultrafiltrasi. Ayat inipun menegaskan kembali bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan.

Meskipun sekarang telah berkembang teknologi untuk melakukan hujan buatan, tetapi teknologi ini hanya dapat diterapkan pada kondisi atmosfir tertentu yang terjadi di luar kendali manusia, syarat terpenting di antaranya adalah tersedianya uap air dalam jumlah yang memadai di udara.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kalian melihat air tawar yang kalian minum? Kaliankah yang menurunkannya dari awan atau Kamikah yang menurunkannya, sebagai perwujudan kasih sayang Kami kepada kalian?(1) (1) Kata al-muzn dalam bahasa Arab berarti ‘awan yang menurunkan hujan’.

Baca Juga:  Surah Al-Waqiah Ayat 57-62; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Untuk terjadinya hujan diperlukan keadaan cuaca tertentu yang berada di luar kemampuan manusia, seperti adanya angin dingin yang berhembus di atas angin panas, atau keadaan cuaca yang tidak stabil. Adapun hujan buatan yang kita kenal itu sampai saat ini masih merupakan percobaan yang persentase keberhasilannya masih sangat kecil, di samping masih memerlukan beberapa kondisi alam tertentu juga.

Surah Al-waqiah ayat 70
لَوۡ نَشَآءُ جَعَلۡنَٰهُ أُجَاجًا فَلَوۡلَا تَشۡكُرُونَ

Terjemahan: Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?

Tafsir Jalalain: لَوۡ نَشَآءُ جَعَلۡنَٰهُ أُجَاجًا (Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin) berasa asin hingga tidak dapat diminum فَلَوۡلَا (maka mengapa tidak) kenapa tidak تَشۡكُرُونَ (kalian bersyukur?.

Tafsir Ibnu Katsir: لَوۡ نَشَآءُ جَعَلۡنَٰهُ أُجَاجًا (“Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin”) maksudnya sangat pahit sehingga tidak [dapat] diminum dan tidak juga dipergunakan menyiram tanaman. فَلَوۡلَا تَشۡكُرُونَ (“Maka mengapakah kamu tidak bersyukur?”) maksudnya, lalu mengapa kalian tidak mensyukuri nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepada kalian berupa penurunan hujan kepada kalian dengan rasa tawar dan segar?

Tafsir Kemenag: Dalam ayat-ayat ini Allah mengungkapkan salah satu dari nikmat-Nya yang agung, untuk direnungkan dan dipikirkan oleh manusia apakah mereka mengetahui tentang fungsi air yang mereka minum. Apakah mereka yang menurunkan air itu dari langit yaitu air hujan ataukah Allah yang menurunkannya.

Air hujan itu manakala direnungkan oleh manusia, bahwa ia berasal dari uap air yang terkena panas matahari. Setelah menjadi awan dan kemudian menjadi mendung yang sangat hitam bergumpal-gumpal, maka turunlah uap air itu sebagai air hujan yang sejuk dan tawar, tidak asin seperti air laut. Air tawar tersebut menyegarkan badan serta menghilangkan haus.

Bila tidak ada hujan, pasti tidak ada sungai yang mengalir, tidak akan ada mata air walau berapa meter pun dalamnya orang menggali sumur, niscaya tidak akan keluar airnya. Bila tidak ada air, rumput pun tidak akan tumbuh, apalagi tanaman yang ditanam orang. Apabila tidak ada hujan, pasti tidak ada air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Kalau tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak tumbuh, maka binatang ternak pun tidak ada.

Tidak akan ada ayam, tidak akan ada kerbau dan sapi, tidak akan ada kambing dan domba. Sebab hidup memerlukan makan dan minum. Kalau tidak ada yang dimakan, dan tidak ada yang diminum, bagaimana bisa hidup? Dan kalau tidak ada tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan tidak ada air tawar untuk diminum, bagaimana manusia bisa hidup? Apakah mesti makan tanah? Dan apakah yang akan diminum? Jika air dijadikan Tuhan asin rasanya, pasti tidak bisa menghilangkan haus dan tidak dapat dipergunakan untuk menyiram atau mengairi tanaman. Dan siapakah yang menurunkan hujan tersebut?

Bukankah hanya Allah saja yang dapat menurunkan hujan sehingga mengalir dan sumur dapat mengeluarkan air? Mengapakah manusia tidak bersyukur kepada Allah? Padahal Dialah yang menurunkan hujan yang demikian banyak manfaatnya sebagaimana firman-Nya:

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (an-Nahl/16: 10-11)

Dalam hubungan ini terdapat hadis yang berbunyi: Sesungguhnya Nabi saw apabila selesai minum, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan minuman kepada kita air tawar yang menyegarkan dengan rahmatNya dan tidak menjadikannya asin karena dosa kita.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dari Abu Ja’far)

Menurut kajian ilmiah, air yang dapat diminum dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia adalah air yang mempunyai kandungan garam dan unsur-unsur terlarut cukup dan seimbang, serta tidak mengandung zat yang beracun. Air yang mengandung jumlah garam dan unsur-unsur terlarut yang melebihi keperluan, misalnya air laut, bila diminum berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak organ-organ tubuh.

Pemerintah setiap negara biasanya memiliki peraturan yang memberikan batasan tentang air yang bisa diminum berdasarkan hasil analisis kandungan unsur-unsur yang terlarut. Air yang bisa diminum biasa dicirikan dengan warna yang jernih, aroma yang segar dan rasanya yang enak (lihat pula: alFurqan/25: 48).

Air yang bisa diminum adalah air yang berada di daratan yang berasal dari air hujan. Air laut tidak layak untuk diminum kecuali yang telah diolah melalui destilasi atau ultrafiltrasi. Ayat inipun menegaskan kembali bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan. Meskipun sekarang telah berkembang teknologi untuk melakukan hujan buatan, tetapi teknologi ini hanya dapat diterapkan pada kondisi atmosfir tertentu yang terjadi di luar kendali manusia, syarat terpenting di antaranya adalah tersedianya uap air dalam jumlah yang memadai di udara.

Tafsir Quraish Shihab: Bila Kami menghendaki, niscaya air itu Kami jadikan asin, tidak enak diminum. Tidakkah kalian bersyukur kepada Allah karena telah menjadikan air itu tawar dan enak diminum?

Surah Al-waqiah ayat 71
أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى تُورُونَ

Terjemahan: Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu).

Tafsir Jalalain: أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى تُورُونَ (Maka terangkanlah kepada-Ku tentang api yang kalian nyalakan) yang kalian keluarkan dari gosokan-gosokan kayu yang hijau.

Tafsir Ibnu Katsir: أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى تُورُونَ (“Maka terangkanlah kepada-Ku tentang api yang kamu nyalakan [dari gosokan-gosokan kayu].”) maksudnya, yang berusaha untuk menyalakan api dari batang kayu dan pangkalnya dengan menggosok-gosoknya.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini Allah mengungkapkan tentang nikmat yang hampir dilupakan manusia. Ungkapan tersebut berbentuk pertanyaan untuk dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, apakah manusia mengetahui pentingnya fungsi api?

Cara membuat api yang dilakukan pada zaman purba adalah dengan cara menggosokgosokkan dua batang kayu, hingga menyala, atau dengan cara menggoreskan baja di atas batu, sehingga memercikkan api dan ditampung percikan tersebut pada kawul (semacam kapuk berwarna kehitam-hitaman yang melekat pada pelepah aren) tersebut, yang kemudian dapat dipergunakan untuk menyalakan api di dapur guna memasak berbagai masakan yang akan dihidangkan untuk dinikmati oleh manusia, atau api yang dinyalakan menurut cara sekarang dengan menggoreskan batang geretan pada korek api, maka nyalalah ia. Atau dengan korek yang mempergunakan roda baja kecil sebagai alat pemutar untuk diputarkan pada batu api kemudian percikannya ditampung pada sumbu yang dibasahi dengan bensin, sehingga sumbu nyala. Atau seperti cara yang sekarang ini melalui kompor minyak tanah atau dengan gas.

Membuat api dengan cara zaman dahulu maupun menurut cara zaman sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah siapakah yang menyediakan kayunya atau batu apinya, bajanya, dan kawulnya atau minyak tanah dan gas? Juga siapakah yang menyediakan bahan bensin dan sebagainya? Bukankah bahan-bahan yang menjadi sebab api menyala baik berupa kayu bakar maupun minyak tanah, hanyalah Allah saja yang menjadikan-Nya? Meskipun tersedia beras, sayur-mayur dan lauk-pauknya, bila tidak ada api, tidak dapat kita memakannya karena masih mentah.

Alangkah tidak enaknya, kalau makanan tersebut mentah seperti, daging mentah, dan nasinya masih berupa beras. Bagaimanakah selera bisa timbul, kalau segala-galanya serba mentah? Dengan gambaran tersebut, jelaslah bagaimana pentingnya api bagi keperluan manusia. Karena api itu didapat dengan mudah setiap hari, maka hampir-hampir tidak terpikirkan oleh manusia betapa api itu memberi kenikmatan.

Hampir-hampir jarang orang bersyukur dan berterima kasih atas adanya api. Karena pentingnya api itu, Allah menegaskan bahwa api dijadikan untuk peringatan bagi manusia dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir, maka wajarlah manusia bertasbih dengan menyebut nama Tuhan Yang Mahabesar.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kalian melihat api yang kalian nyalakan? Kaliankah yang menciptakan kayunya kemudian membubuhinya api, atau Kamikah yang menciptakannya seperti itu?

Surah Al-waqiah ayat 72
ءَأَنتُمۡ أَنشَأۡتُمۡ شَجَرَتَهَآ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنشِـُٔونَ

Terjemahan: Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?

Tafsir Jalalain: ءَأَنتُمۡ أَنشَأۡتُمۡ شَجَرَتَهَآ (Kaliankah yang menjadikan kayu itu) yang dimaksud adalah pohon Marakh dan pohon ‘Affar yang kayunya dapat dijadikan sebagai pemantik api أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنشِـُٔونَ (atau Kamikah yang menjadikannya?).

Tafsir Ibnu Katsir: ءَأَنتُمۡ أَنشَأۡتُمۡ شَجَرَتَهَآ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنشِـُٔونَ (“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya?”) maksudnya, tetapi Kami lah yang telah menjadikannya tersedia di tempatnya. Bangsa Arab mempunyai dua jenis pohon, salah satunya adalah al-marakh, dan yang satunya lagi adalah al-‘afar. Jika diambil dua dahan yang masih hijau dari kedua pohon tersebut, kemudian masing-masing digosok-gosokkan, maka akan memunculkan api pada keudanya.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini Allah mengungkapkan tentang nikmat yang hampir dilupakan manusia. Ungkapan tersebut berbentuk pertanyaan untuk dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, apakah manusia mengetahui pentingnya fungsi api?

Cara membuat api yang dilakukan pada zaman purba adalah dengan cara menggosokgosokkan dua batang kayu, hingga menyala, atau dengan cara menggoreskan baja di atas batu, sehingga memercikkan api dan ditampung percikan tersebut pada kawul (semacam kapuk berwarna kehitam-hitaman yang melekat pada pelepah aren) tersebut, yang kemudian dapat dipergunakan untuk menyalakan api di dapur guna memasak berbagai masakan yang akan dihidangkan untuk dinikmati oleh manusia, atau api yang dinyalakan menurut cara sekarang dengan menggoreskan batang geretan pada korek api, maka nyalalah ia. Atau dengan korek yang mempergunakan roda baja kecil sebagai alat pemutar untuk diputarkan pada batu api kemudian percikannya ditampung pada sumbu yang dibasahi dengan bensin, sehingga sumbu nyala. Atau seperti cara yang sekarang ini melalui kompor minyak tanah atau dengan gas.

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 96-99; Seri Tadabbur Al-Qur'an

Membuat api dengan cara zaman dahulu maupun menurut cara zaman sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah siapakah yang menyediakan kayunya atau batu apinya, bajanya, dan kawulnya atau minyak tanah dan gas? Juga siapakah yang menyediakan bahan bensin dan sebagainya? Bukankah bahan-bahan yang menjadi sebab api menyala baik berupa kayu bakar maupun minyak tanah, hanyalah Allah saja yang menjadikan-Nya? Meskipun tersedia beras, sayur-mayur dan lauk-pauknya, bila tidak ada api, tidak dapat kita memakannya karena masih mentah.

Alangkah tidak enaknya, kalau makanan tersebut mentah seperti, daging mentah, dan nasinya masih berupa beras. Bagaimanakah selera bisa timbul, kalau segala-galanya serba mentah? Dengan gambaran tersebut, jelaslah bagaimana pentingnya api bagi keperluan manusia. Karena api itu didapat dengan mudah setiap hari, maka hampir-hampir tidak terpikirkan oleh manusia betapa api itu memberi kenikmatan.

Hampir-hampir jarang orang bersyukur dan berterima kasih atas adanya api. Karena pentingnya api itu, Allah menegaskan bahwa api dijadikan untuk peringatan bagi manusia dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir, maka wajarlah manusia bertasbih dengan menyebut nama Tuhan Yang Mahabesar.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kalian melihat api yang kalian nyalakan? Kaliankah yang menciptakan kayunya kemudian membubuhinya api, atau Kamikah yang menciptakannya seperti itu?

Surah Al-waqiah ayat 73
نَحۡنُ جَعَلۡنَٰهَا تَذۡكِرَةً وَمَتَٰعًا لِّلۡمُقۡوِينَ

Terjemahan: Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.

Tafsir Jalalain: نَحۡنُ جَعَلۡنَٰهَا تَذۡكِرَةً (Kami menjadikan api itu untuk peringatan) yakni mengingatkan tentang neraka Jahanam وَمَتَٰعًا (dan sebagai bekal) dalam perjalanan لِّلۡمُقۡوِينَ (bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan) diambil dari lafal Aqwal Qaumu, yakni kaum itu kini berada di padang pasir yang tandus, tiada tumbuh-tumbuhan dan air padanya.

Tafsir Ibnu Katsir: نَحۡنُ جَعَلۡنَٰهَا تَذۡكِرَةً (“Kami menjadikan api itu untuk peringatan.”) Mujahid dan Qatadah mengatakan: “Yakni sebagai peringatan akan adanya api yang sangat besar.” Imam Malik meriwayatkan dari Abuz Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Api anak Adam yang mereka nyalakan itu hanyalah salah satu bagian dari 70 bagian api jahanam.”

Kemudian para shahabat bertanya: “Ya Rasulallah, jika demikian adanya, maka cukup sudah.” Maka beliau pun bersabda: “Sesungguhnya api neraka itu lebih panas darinya dengan 69 bagian.” (diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari hadits Malik dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abuz Zinad)

Firman Allah: وَمَتَٰعًا لِّلۡمُقۡوِينَ (“Dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan an-Nadhr bin ‘Arabi berkata: “Yang dimaksud dengan “almuqwiin” adalah musafir.” Pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Jarir, ia berkata:

“Termasuk di dalamnya ucapan mereka, “aqwatuddaara” (apabila penghuninya pergi) dan yang lainnya mengatakan: “Kata almuqwiin berarti padang pasir yang jauh dari keramaian dan kemakmuran.”

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini Allah mengungkapkan tentang nikmat yang hampir dilupakan manusia. Ungkapan tersebut berbentuk pertanyaan untuk dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, apakah manusia mengetahui pentingnya fungsi api?

Cara membuat api yang dilakukan pada zaman purba adalah dengan cara menggosokgosokkan dua batang kayu, hingga menyala, atau dengan cara menggoreskan baja di atas batu, sehingga memercikkan api dan ditampung percikan tersebut pada kawul (semacam kapuk berwarna kehitam-hitaman yang melekat pada pelepah aren) tersebut, yang kemudian dapat dipergunakan untuk menyalakan api di dapur guna memasak berbagai masakan yang akan dihidangkan untuk dinikmati oleh manusia, atau api yang dinyalakan menurut cara sekarang dengan menggoreskan batang geretan pada korek api, maka nyalalah ia. Atau dengan korek yang mempergunakan roda baja kecil sebagai alat pemutar untuk diputarkan pada batu api kemudian percikannya ditampung pada sumbu yang dibasahi dengan bensin, sehingga sumbu nyala. Atau seperti cara yang sekarang ini melalui kompor minyak tanah atau dengan gas.

Membuat api dengan cara zaman dahulu maupun menurut cara zaman sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah siapakah yang menyediakan kayunya atau batu apinya, bajanya, dan kawulnya atau minyak tanah dan gas? Juga siapakah yang menyediakan bahan bensin dan sebagainya? Bukankah bahan-bahan yang menjadi sebab api menyala baik berupa kayu bakar maupun minyak tanah, hanyalah Allah saja yang menjadikan-Nya? Meskipun tersedia beras, sayur-mayur dan lauk-pauknya, bila tidak ada api, tidak dapat kita memakannya karena masih mentah.

Alangkah tidak enaknya, kalau makanan tersebut mentah seperti, daging mentah, dan nasinya masih berupa beras. Bagaimanakah selera bisa timbul, kalau segala-galanya serba mentah? Dengan gambaran tersebut, jelaslah bagaimana pentingnya api bagi keperluan manusia. Karena api itu didapat dengan mudah setiap hari, maka hampir-hampir tidak terpikirkan oleh manusia betapa api itu memberi kenikmatan.

Hampir-hampir jarang orang bersyukur dan berterima kasih atas adanya api. Karena pentingnya api itu, Allah menegaskan bahwa api dijadikan untuk peringatan bagi manusia dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir, maka wajarlah manusia bertasbih dengan menyebut nama Tuhan Yang Mahabesar.

Tafsir Quraish Shihab: Api itu Kami ciptakan supaya mengingatkan orang yang melihatnya kepada neraka jahanam, di samping agar dimanfaatkan oleh orang yang singgah di padang pasir untuk memasak dan berdiang.

Surah Al-waqiah ayat 74
فَسَبِّحۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلۡعَظِيمِ

Terjemahan: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.

Tafsir Jalalain: فَسَبِّحۡ (Maka bertasbihlah) artinya, Maha Sucikanlah بِٱسۡمِ (dengan menyebut nama) huruf Ba di sini adalah Zaidah رَبِّكَ ٱلۡعَظِيمِ (Rabbmu Yang Maha Besar) yakni Allah Yang Maha Besar.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: فَسَبِّحۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلۡعَظِيمِ (“Maka bertasbihlah dengan [menyebut] nama Rabbmu Yang Mahabesar.”) maksudnya dengan kekuasaan-Nya, Dia telah menciptakan segala sesuatu yang beraneka ragam dan berlawanan ini. Air segar lagi tawar dan dingin jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan menjadikannya asin seperti halnya air laut.

Dan Dia juga telah menciptakan api yang dapat membakar, dan padanya Dia menjadikan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Dia jadikan semua itu sebagai manfaat bagi mereka dalam kehidupan dunia mereka sekaligus sebagai peringatan bagi mereka di kehidupan akhirat.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini Allah mengungkapkan tentang nikmat yang hampir dilupakan manusia. Ungkapan tersebut berbentuk pertanyaan untuk dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, apakah manusia mengetahui pentingnya fungsi api?

Cara membuat api yang dilakukan pada zaman purba adalah dengan cara menggosokgosokkan dua batang kayu, hingga menyala, atau dengan cara menggoreskan baja di atas batu, sehingga memercikkan api dan ditampung percikan tersebut pada kawul (semacam kapuk berwarna kehitam-hitaman yang melekat pada pelepah aren) tersebut, yang kemudian dapat dipergunakan untuk menyalakan api di dapur guna memasak berbagai masakan yang akan dihidangkan untuk dinikmati oleh manusia, atau api yang dinyalakan menurut cara sekarang dengan menggoreskan batang geretan pada korek api, maka nyalalah ia. Atau dengan korek yang mempergunakan roda baja kecil sebagai alat pemutar untuk diputarkan pada batu api kemudian percikannya ditampung pada sumbu yang dibasahi dengan bensin, sehingga sumbu nyala. Atau seperti cara yang sekarang ini melalui kompor minyak tanah atau dengan gas.

Membuat api dengan cara zaman dahulu maupun menurut cara zaman sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah siapakah yang menyediakan kayunya atau batu apinya, bajanya, dan kawulnya atau minyak tanah dan gas? Juga siapakah yang menyediakan bahan bensin dan sebagainya? Bukankah bahan-bahan yang menjadi sebab api menyala baik berupa kayu bakar maupun minyak tanah, hanyalah Allah saja yang menjadikan-Nya? Meskipun tersedia beras, sayur-mayur dan lauk-pauknya, bila tidak ada api, tidak dapat kita memakannya karena masih mentah.

Alangkah tidak enaknya, kalau makanan tersebut mentah seperti, daging mentah, dan nasinya masih berupa beras. Bagaimanakah selera bisa timbul, kalau segala-galanya serba mentah? Dengan gambaran tersebut, jelaslah bagaimana pentingnya api bagi keperluan manusia. Karena api itu didapat dengan mudah setiap hari, maka hampir-hampir tidak terpikirkan oleh manusia betapa api itu memberi kenikmatan.

Hampir-hampir jarang orang bersyukur dan berterima kasih atas adanya api. Karena pentingnya api itu, Allah menegaskan bahwa api dijadikan untuk peringatan bagi manusia dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir, maka wajarlah manusia bertasbih dengan menyebut nama Tuhan Yang Mahabesar.

Tafsir Quraish Shihab: Selalu bertasbihlah kamu dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Mahaagung untuk menyucikan-Nya dan rasa syukur atas karunia yang besar itu!

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Waqiah Ayat 63-74 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S