Surah An-Najm Ayat 33-41; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah An-Najm Ayat 33-41

Pecihitam.org – Kandungan Surah An-Najm Ayat 33-41 ini, menejelaskan bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Setiap orang yang mengerjakan dosa karena kekafirannya atau karena kemaksiatannya maka dia sendiri yang memikul dosanya, dan tidak akan dipikul oleh orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah An-Najm Ayat 33-41

Surah An-Najm Ayat 33
أَفَرَءَيۡتَ ٱلَّذِى تَوَلَّىٰ

Terjemahan: Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al-Quran)?

Tafsir Jalalain: أَفَرَءَيۡتَ ٱلَّذِى تَوَلَّىٰ (Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling) dari keimanan, orang tersebut murtad dari Islam, yaitu ketika ia dicela karena masuk Islam. Lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku takut akan azab atau siksaan Allah”. Lalu orang yang mencelanya itu mau menanggung siksaan Allah yang akan diterimanya, bila ia kembali kepada kemusyrikan, dan orang yang menanggung itu bersedia untuk memberikan hartanya kepada dia, sejumlah sekian. Akhirnya dia mau kembali kepada kemusyrikannya.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah swt. berfirman, mencela orang-orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam surat al-Qiyamah: (“Dan ia tidak mau membenarkan [Rasul dan al-Qur’an] dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan [Rasul] dan berpaling [dari kebenaran].”)

Tafsir Kemenag: Menurut Mujahid dan Ibnu Zaid ayat ini turun pada peristiwa al-Walid bin al-Mugirah, dia telah mendengar bacaan Nabi saw dan selalu mendampingi beliau dan menerima nasihat-nasihat daripadanya sehingga hatinya tertarik kepada Islam dan Nabi juga mengharapkan keimanannya.

Kebetulan seorang musyrik yang mengetahui keadaan al-Walid mencelanya, dan mengatakan, “apakah akan engkau tinggalkan agama nenek moyangmu? Kembalilah kepada agamamu dan terus berpegang padanya! Saya akan menanggung semua yang mengkhawatirkanmu di akhirat nanti, dengan imbalan engkau berikan kepadaku sesuatu.”

Al-Walid menyetujui ajakan ini, lalu ia menarik kembali keinginannya memeluk agama Islam. Dengan demikian jadilah dia seorang sesat yang nyata dan dia telah menyerahkan sebagian imbalan yang disetujuinya kepada orang yang dijanjikannya dan ditahan bagian yang lain.

Al-Walid hampir saja menjadi seorang Mukmin dan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, lalu salah seorang dari setan-setan manusia menggodanya agar ia tidak menerima bujukan, dan mengajak kembali kepada agama nenek moyangnya.

Seseorang akan memikul dosa-dosanya bila al-Walid bin al-Mugirah sudi menyumbangkan sedikit dari hartanya. Ia menerima gagasan tersebut, tetapi ia hanya memberikannya sekali saja, dan tidak diberikannya apa-apa sesudah itu. Apakah ia mengetahui sesuatu yang gaib, bahwa temannya itu dapat memikul dosa-dosanya yang ditakutinya pada hari Kiamat nanti? Ditegaskan bahwa syariat-syariat terdahulu tidak membenarkan tentang pemikulan dosa oleh orang lain.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kamu merenung lalu melihat orang yang berpaling dari kebenaran dan memberi sedikit hartanya kemudian tidak mau memberi lagi? Apakah orang itu mempunyai pengetahuan tentang alam gaib, sehingga ia mengetahui apa yang mendorongnya untuk berpaling dari kebenaran dan kikir dalam membelanjakan harta?

Surah An-Najm Ayat 34
وَأَعۡطَىٰ قَلِيلًا وَأَكۡدَىٰٓ

Terjemahan: serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi?

Tafsir Jalalain: وَأَعۡطَىٰ قَلِيلًا (Serta memberi sedikit) dari harta yang telah disebutkan tadi وَأَكۡدَىٰٓ (dan tidak mau memberi lagi?) yaitu dia tidak mau memberikan sisanya. Lafal Akdaa diambil dari asal kata Al Kidyah, arti asalnya adalah tanah yang keras seperti tanah yang berbatu, sehingga penggali sumur bila sampai kepada lapisan yang berbatu itu tidak dapat melanjutkan penggaliannya.

Tafsir Ibnu Katsir: وَأَعۡطَىٰ قَلِيلًا وَأَكۡدَىٰٓ (“Serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi?”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Taat sebentar dan kemudian berhenti lagi.”) demikian pula yang dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Qatadah dan lain-lain. ‘Ikrimah dan Sa’id mengemukakan:

“Seperti suatu kaum, jika mereka menggali sumur dan ketika melakukan penggalian itu mereka menemukan batu besar yang menghalangi untuk menyelesaikan penggalian tersebut, lalu mereka berkata: ‘Sampai di sini saja.’ Kemudian mereka tidak melanjutkan penggalian.”

Tafsir Kemenag: Menurut Mujahid dan Ibnu Zaid ayat ini turun pada peristiwa al-Walid bin al-Mugirah, dia telah mendengar bacaan Nabi saw dan selalu mendampingi beliau dan menerima nasihat-nasihat daripadanya sehingga hatinya tertarik kepada Islam dan Nabi juga mengharapkan keimanannya.

Kebetulan seorang musyrik yang mengetahui keadaan al-Walid mencelanya, dan mengatakan, “apakah akan engkau tinggalkan agama nenek moyangmu? Kembalilah kepada agamamu dan terus berpegang padanya! Saya akan menanggung semua yang mengkhawatirkanmu di akhirat nanti, dengan imbalan engkau berikan kepadaku sesuatu.”

Al-Walid menyetujui ajakan ini, lalu ia menarik kembali keinginannya memeluk agama Islam. Dengan demikian jadilah dia seorang sesat yang nyata dan dia telah menyerahkan sebagian imbalan yang disetujuinya kepada orang yang dijanjikannya dan ditahan bagian yang lain.

Al-Walid hampir saja menjadi seorang Mukmin dan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, lalu salah seorang dari setan-setan manusia menggodanya agar ia tidak menerima bujukan, dan mengajak kembali kepada agama nenek moyangnya.

Seseorang akan memikul dosa-dosanya bila al-Walid bin al-Mugirah sudi menyumbangkan sedikit dari hartanya. Ia menerima gagasan tersebut, tetapi ia hanya memberikannya sekali saja, dan tidak diberikannya apa-apa sesudah itu. Apakah ia mengetahui sesuatu yang gaib, bahwa temannya itu dapat memikul dosa-dosanya yang ditakutinya pada hari Kiamat nanti? Ditegaskan bahwa syariat-syariat terdahulu tidak membenarkan tentang pemikulan dosa oleh orang lain.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kamu merenung lalu melihat orang yang berpaling dari kebenaran dan memberi sedikit hartanya kemudian tidak mau memberi lagi? Apakah orang itu mempunyai pengetahuan tentang alam gaib, sehingga ia mengetahui apa yang mendorongnya untuk berpaling dari kebenaran dan kikir dalam membelanjakan harta?

Surah An-Najm Ayat 35
أَعِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلۡغَيۡبِ فَهُوَ يَرَىٰٓ

Terjemahan: Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib, sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)?

Tafsir Jalalain: أَعِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلۡغَيۡبِ فَهُوَ يَرَىٰٓ (Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang gaib sehingga dia mengetahui) sebagiannya, yaitu bahwa seseorang dapat menanggung azab akhirat yang diterima oleh orang lain? Jawabannya tentu saja tidak. Orang yang dimaksud dalam ayat ini adalah Walid ibnu Mughirah atau lainnya. Jumlah kalimat A’indahuu merupakan Maf’ul kedua dari lafal Ra-ayta, yang maknanya Akhbirnii, yakni ceritakanlah kepada-Ku.

Tafsir Ibnu Katsir: Dan firman Allah Ta’ala: أَعِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلۡغَيۡبِ فَهُوَ يَرَىٰٓ (“Apakah dia mempunyai pengetahuan yang ghaib sehingga dia mengetahui [apa yang dikatakan]?” Maksudnya, apakah orang yang tidak mau mengulurkan tangannya untuk berinfak dan berbuat baik itu mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib bahwa yang dimilikinya itu akan habis, sehingga ia menahan diri untuk berbuat kebajikan padahal ia mengetahui hal itu dengan nyata?

Baca Juga:  Surah An-Najm Ayat 1-4; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Dengan kata lain, persoalannya tidaklah seperti itu. Tetapi keengganan membayar shadaqah, berbuat kebaikan dan kebajikan, serta menyambung silaturahim semata-mata karena kekikiran, kebakhilan, dan kekhawatiran. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَىۡءٍ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ (“Dan barang apa saja yang engkau nafkahkan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dia sebaik-baik Pemberi rizki.”)(Saba’: 39)

Tafsir Kemenag: Menurut Mujahid dan Ibnu Zaid ayat ini turun pada peristiwa al-Walid bin al-Mugirah, dia telah mendengar bacaan Nabi saw dan selalu mendampingi beliau dan menerima nasihat-nasihat daripadanya sehingga hatinya tertarik kepada Islam dan Nabi juga mengharapkan keimanannya.

Kebetulan seorang musyrik yang mengetahui keadaan al-Walid mencelanya, dan mengatakan, “apakah akan engkau tinggalkan agama nenek moyangmu? Kembalilah kepada agamamu dan terus berpegang padanya! Saya akan menanggung semua yang mengkhawatirkanmu di akhirat nanti, dengan imbalan engkau berikan kepadaku sesuatu.”

Al-Walid menyetujui ajakan ini, lalu ia menarik kembali keinginannya memeluk agama Islam. Dengan demikian jadilah dia seorang sesat yang nyata dan dia telah menyerahkan sebagian imbalan yang disetujuinya kepada orang yang dijanjikannya dan ditahan bagian yang lain.

Al-Walid hampir saja menjadi seorang Mukmin dan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, lalu salah seorang dari setan-setan manusia menggodanya agar ia tidak menerima bujukan, dan mengajak kembali kepada agama nenek moyangnya.

Seseorang akan memikul dosa-dosanya bila al-Walid bin al-Mugirah sudi menyumbangkan sedikit dari hartanya. Ia menerima gagasan tersebut, tetapi ia hanya memberikannya sekali saja, dan tidak diberikannya apa-apa sesudah itu. Apakah ia mengetahui sesuatu yang gaib, bahwa temannya itu dapat memikul dosa-dosanya yang ditakutinya pada hari Kiamat nanti? Ditegaskan bahwa syariat-syariat terdahulu tidak membenarkan tentang pemikulan dosa oleh orang lain.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kamu merenung lalu melihat orang yang berpaling dari kebenaran dan memberi sedikit hartanya kemudian tidak mau memberi lagi? Apakah orang itu mempunyai pengetahuan tentang alam gaib, sehingga ia mengetahui apa yang mendorongnya untuk berpaling dari kebenaran dan kikir dalam membelanjakan harta?

Surah An-Najm Ayat 36
أَمۡ لَمۡ يُنَبَّأۡ بِمَا فِى صُحُفِ مُوسَىٰ

Terjemahan: Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?

Tafsir Jalalain: أَمۡ (Ataukah) yakni sebenarnya لَمۡ يُنَبَّأۡ بِمَا فِى صُحُفِ مُوسَىٰ (belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa) yaitu lembaran-lembaran kitab Taurat atau lembaran-lembaran kitab suci sebelumnya.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya lebih lanjut: أَمۡ لَمۡ يُنَبَّأۡ بِمَا فِى صُحُفِ مُوسَىٰ (“Ataukah belum diberitahukan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?”) Sa’id bin Jubair dan ats-Tsauri berkata: “Yakni, menyampaikan semua yang diperintahkan kepadanya.”

Tafsir Kemenag: Pada ayat ini dijelaskan tentang ketentuan-ketentuan syariat Ibrahim yang telah melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, telah menyampaikan risalahnya menurut semestinya, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” (al-Baqarah/2: 124)

Ibnu ‘Abbas menyatakan, Ibrahim telah menjalankan semua gagasan Islam yang tigapuluh macam banyaknya yang tidak pernah dijalankan oleh nabi yang lain, yaitu sepuluh gagasan tersebut dalam Surah at-Taubah/9 ayat 111 dan 112.

Dalam ayat pertama tersebut hanya satu macam gagasan, yaitu berperang pada jalan Allah lalu ia membunuh atau terbunuh, sedang pada ayat kedua disebutkan sembilan macam, yaitu orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang mengembara (demi agama Islam), yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.

Sepuluh di Surah al-Ahzab/33, pada ayat 35, yaitu laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah.

Enam macam dalam Surah al-Mu’minun/23 dari ayat 2 sampai dengan ayat 9, yaitu: orang yang khusyu’ dalam salat, orang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang yang menunaikan zakat, orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.

Barang siapa mencari yang di balik itu, mereka adalah orang yang melampaui batas, dan orang yang memelihara amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, orang yang memelihara salatnya. Empat macam dalam Surah al-Ma’arij/70, yaitu mulai dari ayat 26 sampai dengan ayat 33; orang yang mempercayai hari Pembalasan, orang yang takut terhadap azab Tuhannya, karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya), orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dikhususkan Ibrahim dengan sifat-sifat tersebut, karena beratnya cobaan yang telah dialaminya ketika terjadi perintah menyembelih putranya Ismail yang sudah jelas ceritanya.

Adapun sebab menyebutkan syariat dua Nabi ini saja, karena orang musyrik mengaku bahwa mereka adalah pengikut Ibrahim, sedangkan Ahli Kitab mengaku bahwa mereka pengikut Taurat dan lembaran-lembarannya yang masih dekat masanya dengan mereka. Kemudian Allah menyatakan isi dari kedua syariat tersebut dalam ayat 38 dan 39 berikut.

Tafsir Quraish Shihab: Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada di dalam lembaran-lembaran Mûsâ dan Ibrâhîm yang telah mencapai puncak kesetiaan dalam menepati janji Allah, bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain?

Surah An-Najm Ayat 37
وَإِبۡرَٰهِيمَ ٱلَّذِى وَفَّىٰٓ

Terjemahan: dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?

Tafsir Jalalain: (Dan) lembaran-lembaran وَإِبۡرَٰهِيمَ ٱلَّذِى وَفَّىٰٓ (Ibrahim yang selalu memenuhi janji) maksudnya Nabi Ibrahim itu selalu menepati apa yang diperintahkan kepadanya,, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya,

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya dengan lengkap.” (Q.S. Al Baqarah, 124) Kemudian pengertian yang terkandung di dalam lafal Maa pada ayat sebelumnya, dijelaskan oleh firman berikutnya,.

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 54; Seri Tadabbur Al-Qur'an

Tafsir Ibnu Katsir: Mengenai firman-Nya: “وَفَّىٰٓ” Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yakni, menyempurnakan janji kepada Allah dengan melaksanakan tugas penyampaian.” Dan mengenai hal yang sama, Qatadah mengatakan:

“Yakni, mentaati Allah dan menyampaikan risalah-Nya kepada semua makhluk-Nya.” Inilah pendapat yang menjadi pilihan Ibnu Jarir, yang ia mencakup pengertian sebelumnya. Dan pendapat tersebut diperkuat oleh firman Allah Ta’ala:

وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۦمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِى قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِى ٱلظَّٰلِمِينَ (“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat [perintah dan larangan], lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh umat manusia.’”)(al-Baqarah: 124).

Lalu ia menunaikan seluruh perintah dan menjauhi semua larangan serta menyampaikan risalah secara lengkap dan sempurna. Dengan demikian, ia berhak menjadi pemimpin umat manusia yang akan menjadi panutan dalam seluruh keadaan, ucapan dan perbuatannya.

Allah swt. telah berfirman: ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ (“Kemudian Kami wahyukan kepadamu [Muhammad]: ‘Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.’ Dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.”)(an-Nahl: 123)

Di dalam kitab-nya, at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abud Darda’ dan Abu Dzarr, dari Rasulullah saw, dari Allah swt, bahwasannya Dia telah berfirman: “Wahai anak Adam, ruku’lah kepada-Ku empat kali dalam permulaan siang, niscaya engkau akan diberi kecukupan pada akhir siang.”

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini ditegaskan hubungan yang erat antara agama Nabi Ibrahim dan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Firman Allah swt:

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (al-An’am/6: 161)

Di antara syariat Nabi Ibrahim yang masih berlaku pada masa Nabi Muhammad saw ialah pelaksanaan khitan. Beberapa ulama menetapkan hukum wajib khitan karena syariat khitan ini tidak dihapus oleh syariat Nabi Muhammad saw.

Firman Allah swt: Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim.

Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat; tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. (al-hajj/22: 78)

Berulang kali pula dalam Al-Qur’an, Allah swt menegaskan bahwa Ibrahim itu bukanlah orang musyrik sebagaimana halnya orang musyrikin Quraisy yang mengakui diri mereka pengikut dan keturunan Nabi Ibrahim.

Tafsir Quraish Shihab: Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada di dalam lembaran-lembaran Mûsâ dan Ibrâhîm yang telah mencapai puncak kesetiaan dalam menepati janji Allah, bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain?

Surah An-Najm Ayat 38
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ

Terjemahan: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,

Tafsir Jalalain: أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ (“Yaitu bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) dan seterusnya. Lafal An adalah bentuk Mukhaffafah dari Anna; artinya bahwa setiap diri itu tidak dapat menanggung dosa orang lain.

Tafsir Ibnu Katsir: Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan apa yang Dia wahyukan dalam lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa, dimana Dia berfirman: أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ (“Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”) maksudnya, setiap jiwa yang mendzalimi dirinya sendiri dengan suatu kekufuran atau suatu perbuatan dosa, maka dosa itu untuk dirinya sendiri, tidak akan ditanggung oleh orang lain, sebagaimana yang Dia firmankan:

وَإِن تَدۡعُ مُثۡقَلَةٌ إِلَىٰ حِمۡلِهَا لَا يُحۡمَلۡ مِنۡهُ شَىۡءٌ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰٓ (“Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil [orang lain] untuk memikul dosa itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun [orang yang dipanggilnya itu] kaum kerabatnya.” (Fathir: 18)

Tafsir Kemenag: Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Setiap orang yang mengerjakan dosa karena kekafirannya atau karena kemaksiatannya maka dia sendiri yang memikul dosanya, dan tidak akan dipikul oleh orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fathir/35: 18).

Tafsir Quraish Shihab: Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada di dalam lembaran-lembaran Mûsâ dan Ibrâhîm yang telah mencapai puncak kesetiaan dalam menepati janji Allah, bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain?

Surah An-Najm Ayat 39
وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Terjemahan: dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,

Tafsir Jalalain: وَأَن (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang sesungguhnya itu ialah لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang lain.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya lebih lanjut: وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ (“Dan bahwasannya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”) maksudnya, sebagaimana dosa orang lain tidak akan dibebankan kepadanya, maka demikian pula dia tidak akan mendapatkan pahala melainkan dari apa yang telah diusahakannya sendiri.

Dari ayat ini pula Imam Syafi-i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa pengiriman pahala bacaan al-Qur’an itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, karena bacaan itu bukan amal dan usaha mereka. Oleh karena itu, Rasulullah saw. tidak pernah mensunahkan atau memerintahkan umatnya untuk melakukan hal tersebut.

Selain itu beliau juga tidak pernah membimbing umatnya berbuat demikian, baik dalam bentuk nash maupun melalui isyarat. Dan perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para shahabat. Sekiranya hal itu merupakan suatu hal yang baik, niscaya mereka akan mendahului kita semua dalam mengamalkannya.

Dan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah harus didasarkan pada nash-nash, tidak boleh didasarkan pada berbagai qiyas dan pendapat semata. Sedangkan doa dan amal jariyah sudah menjadi kesepakatan para ulama dan ketetapan nash syari’at bahwa hal itu akan sampai kepada si mayit.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seorang wafat, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: anak shalih yang mendo’akannya, shadaqah jariyah setelahnya, dan ilmu yang bermanfaat.” (HR Muslim).

Baca Juga:  Surah An-Najm Ayat 56-62; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Ketiga perkara tersebut pada hakekatnya merupakan usaha dan kerja kerasnya semasa hidup, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah [makanan yang berasal] dari hasil usahanya, dan sesungguhnya anaknya itu termasuk dari hasil usahanya.”

Shadaqah jariyah itu hasilnya bisa berupa wakaf dan lain sebagainya. Yang semua itu merupakan bekas dan peninggalan amal dan wakaf mereka. Dan Allah swt. telah berfirman: إِنَّا نَحۡنُ نُحۡىِ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُواْ وَءَاثَٰرَهُمۡ (“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”) dan ayat seterusnya (Yaasiin: 12).

Ilmu yang disebarluaskan dan kemudian diikuti oleh banyak orang setelahnya juga termasuk amal dan usahanya. Dan dalam hadits shahih telah ditegaskan, Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mengajak pada petunjuk, maka baginya pahala seperti orang-orang yang mengikutinya tanpa harus mengurangi sedikitpun pahala mereka.”

Tafsir Kemenag: Atas perbuatan yang baik, manusia hanya memperoleh ganjaran dari usahanya sendiri maka dia tidak berhak atas pahala suatu perbuatan yang tidak dilakukannya. Dari ayat tersebut, Imam Malik dan Imam Syafi’i memahami bahwa tidak sah menghadiahkan pahala amalan orang hidup berupa bacaan Al-Qur’an kepada orang mati, karena bukan perbuatan mereka dan usaha mereka.

Begitu pula seluruh ibadah badaniah, seperti salat, haji dan tilawah, karena Nabi saw tidak pernah mengutarakan yang demikian kepada umat, tidak pernah menyuruhnya secara sindiran dan tidak pula dengan perantaraan nas dan tidak pula para sahabat menyampaikan kepada kita. Sekiranya tindakan itu baik, tentu mereka telah terlebih dahulu mengerjakannya.

Ada pun mengenai sedekah, maka pahalanya sampai kepada orang mati, sebagaimana oleh Muslim dan al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: Apabila seorang anak Adam meninggal dunia putuslah semua amal perbuatan (yang menyampaikan pahala kepadanya) kecuali tiga perkara, anak yang saleh yang berdoa kepadanya, sedekah jariah (wakaf) sesudahnya dan ilmu yang dapat diambil manfaatnya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Sebenarnya ini semua termasuk usaha seseorang, jerih payahnya, sebagaimana tersebut dalam hadist :

Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah hasil usahanya sendiri dan anaknya termasuk usahanya juga.(Riwayat anNasa’i dan Ibnu hibban) Sedekah jariah seperti wakaf adalah bekas usahanya, Allah berfirman:

Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekasbekas yang mereka (tinggalkan). (Yasin/36: 12)

Ilmu yang disebarkan lalu orang-orang mengikutinya dan mengamalkannya termasuk juga usahanya. Dan telah diriwayatkan di antaranya hadis sahih: ?Orang yang mengajak kepada suatu petunjuk maka baginya pahala yang serupa dengan pahala orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikit pun. (Riwayat Muslim)

Imam Ahmad bin hanbal dan sebagian besar pengikut Syafi’i berpendapat bahwa pahala bacaan sampai kepada orang mati, bila bacaan itu tidak dibayar dengan upah. Tetapi bila bacaan itu dengan upah, sebagaimana biasa terjadi sekarang, maka pahalanya tidak sampai kepada orang mati, karena haram mengambil upah untuk membaca Al-Qur’an, meskipun boleh mengambil upah mengajarinya.Termasuk ibadah yang pahalanya sampai kepada orang lain adalah doa dan sedekah. (.

Tafsir Quraish Shihab: Juga bahwa seorang manusia tidak memperoleh balasan selain dari apa yang telah diusahakannya.

Surah An-Najm Ayat 40
وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ

Terjemahan: dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).

Tafsir Jalalain: وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di akhirat.

Tafsir Ibnu Katsir: Dan firman-Nya: وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ (“Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan [kepadanya]”), yakni pada hari kiamat kelak. Maksudnya Allah akan memberitahukan [amal] kepada kalian sekaligus memberikan balasan atasnya dengan sepenuhnya. Jika berupa kebaikan, maka akan dibalas dengan kebaikan, dan jika berupa keburukan maka akan dibalas pula dengan keburukan.

Tafsir Kemenag: Amal perbuatan seseorang akan diperlihatkan di hari mahsyar sehingga semua orang akan dapat melihatnya. Ini berarti penghormatan bagi orang-orang baik dan penghinaan bagi orangorang jahat. Dan katakanlah,

“Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (at-Taubah/9: 105).

Tafsir Quraish Shihab: Dan bahwa perbuatannya itu kelak akan diperlihatkan, sehingga ia melihat, pada hari kiamat itu, penghormatan untuk orang yang berbuat baik dan penghinaan untuk orang yang berbuat jahat.

Surah An-Najm Ayat 41
ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ

Terjemahan: Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,

Tafsir Jalalain: ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”) pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata, Jazaituhu Sa’yahu atau Bisa’yihi, artinya, “Aku memberikan balasan terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya.” Dengan kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi’il Muta’addi atau Fi’il Lazim.

Tafsir Ibnu Katsir: Demikianlah Allah berfirman disini: ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ (“Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”)

Tafsir Kemenag: Ayat ini menyatakan bahwa Allah akan membalas amal perbuatan seseorang dengan balasan yang lebih sempurna dengan melipatgandakan baginya perbuatan baik, dan membalas suatu kejahatan dengan yang serupa atau dimaafkan.

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (al-hijr/15: 49-50).

Tafsir Quraish Shihab: Lalu ia akan diberi balasan yang banyak atas perbuatannya.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah An-Najm Ayat 33-41 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S