Surah Ar-Rum Ayat 30-32; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Ar-Rum Ayat 30-32

Pecihitam.org – Kandungan Surah Ar-Rum Ayat 30-32 ini, menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ayat ini menyuruh kaum Muslimin agar jangan menjadi orang musyrik yang selalu berselisih dan memecah agama mereka, sehingga mereka terbelah menjadi beberapa golongan.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Ar-Rum Ayat 30-32

Surah Ar-Rum Ayat 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Terjemahan: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

Tafsir Jalalain: فَأَقِمْ (Maka hadapkanlah) hai Muhammad وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا (wajahmu dengan lurus kepada agama Allah) maksudnya cenderungkanlah dirimu kepada agama Allah, yaitu dengan cara mengikhlaskan dirimu dan orang-orang yang mengikutimu di dalam menjalankan agama-Nya فِطْرَتَ ٱللَّهِ (fitrah Allah) ciptaan-Nya ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا (yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) yakni agama-Nya. Makna yang dimaksud ialah, tetaplah atas fitrah atau agama Allah.

لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ (Tidak ada perubahan pada fitrah Allah) pada agama-Nya. Maksudnya janganlah kalian menggantinya, misalnya menyekutukan-Nya. ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ (Itulah agama yang lurus) agama tauhid itulah agama yang lurus وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ (tetapi kebanyakan manusia) yakni orang-orang kafir Mekah لَا يَعْلَمُونَ (tidak mengetahui) ketauhidan atau keesaan Allah.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman, maka perkokohlah pandanganmu dan istiqamahlah di atas agama yang disyariatkan Allah kepadamu, berupa kesucian millah Ibrahim yang Allah bimbing kamu kepadanya dan disempurnakan Allah agama itu untukmu dengan sangat sempurna.

Disamping itu hendaknya kamu konsekuen terhadap fitrah lurusmu yang difitrahkan Allah atsa makhluk-Nya. karena Allah telah memfitrahkan makhluk-Nya untuk mengenal dan mengesakan-Nya yang tidak ada Ilah [yang haq] selain-Nya, sebagaimana penjelasan yang lalu dalam firman-Nya:

وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا۟ بَلَىٰ شَهِدْنَآ (“Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka [seraya berfirman]: ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul [Engkau Rabb kami], kami menjadi saksi.’”)(al-A’raaf: 172)

Firman-Nya: لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ (“Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”) sebagian mereka berkata: “Maknanya adalah, janganlah kalian merubah ciptaan Allah, lalu kalian rubah pula manusia dari fitrah yang diciptakan oleh Allah bagi mereka.” Kaliamat ini menjadi kabar dengan makna thalab [tuntutan],

seperti firman Allah: وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا (“Barangsiapa memasukinya [Baitullah itu] menjadi amanlah dia.”) (Ali ‘Imraan: 97). Dan itulah makna yang baik dan tepat. Sedangkan ulama lain berkata: “Kalimat ini menjadi kabar pada kalimat sebenarnya. Maknanya bahwa Allah menyamakan seluruh makhluk-Nya dengan fitrah dengan tabiat yang lurus, dimana tidak ada satu anakpun yang lahir kecuali dalam kondisi demikian serta tidak ada tingkat perbedaan manusia dalam masalah tersebut.

Untuk itu Ibnu ‘Abbas, Ibrahim, an-Nakha’i, Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahhak dan Ibnuz Zaid berkata tentang firman-Nya: laa tabdiila likhalqillaaH (“Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”) yaitu pada agama Allah. Khalqul awwaliin adalah agama orang-orang terdahulu. Dien dan fitrah adalah Islam.

Imam Ahmad meriwAyatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang anak-anak orang-orang musyrik, lalu beliau bersabda: “Allah Mahamengetahui tentang apa yang dahulu mereka kerjakan, ketika Dia menciptakan mereka.” Ditakhrij dari ash-Shahihain.

Imam Ahmad meriwAyatkan dari ‘Iyadh bin Himar, bahwa suatu hari Rasulullah saw. berkhutbah. Di dalam khutbahnya itu beliau bersabda: “Sesungguhnya Rabb-ku memerintahkanku untuk mengajarkan kalian sesuatu yang kalian tidak ketahui. Di antaranya adalah apa yang diberitahukan kepadaku hari ini: ‘Seluruh apa yang aku berikan kepada hamba-hamba-Ku adalah halal.

Dan sesungguhnya Aku menciptakan seluruh hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung pada kebenaran). Kemudian syaitan datang menyesatkan mereka dari agama yang mengharamkan sesuatu yang telah Aku halalkan kepada mereka serta memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku tanpa dalil yang Aku turunkan.’

Kemudian Allah swt. memandang penghuni bumi, lalu memurkai mereka, baik yang berbangsa Arab maupun non Arab kecuali beberapa gelintir ahlul kitab. Dia berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu hanya untuk mengujimu dan aku uji manusia dengan sebabmu serta Aku turunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak terhapus oleh air lagi engkau membacakannya kepada orang yang tidur dan orang yang sadar.’

Baca Juga:  Alasan Mengapa pada Zaman Nabi Mushaf Al-Quran Tidak Ditulis di Kertas

Sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membakar orang Quraisy, lalu aku berkata: ‘Ya Rabb-ku, kalau itu aku lakukan, mereka pasti akan membelahku dan menjadikannya seperti sebuah roti.’

Dia berfirman: ‘Keluarkanlah mereka, sebagaimana mereka mengeluarkanmu, perangilah mereka niscaya Kami akan perang bersamamu, berinfaklah niscaya Kami akan memberi nafkah kepadamu dan kirimlah satu pasukan niscaya Kami akan mengutus lima pasukan yang seperti itu serta perangilah orang-orang yang menentangmu bersama orang yang mentaatimu.

Beliau bersabda: “Penghuni surga itu ada tiga; Penguasa yang adil, suka bersedekah dan disetujui, seorang laki-laki yang penyayang, lembut hati kepada setiap kerabat dan menjaga kehormatan orang lain. Sedangkan penghuni neraka itu ada lima: orang lemah yang tidak memiliki kecerdikan, dimana mereka mengikuti kalian tanpa mengharapkan keluarga dan harta,

pengkhianat yang terang-terngan tamak sekalipun kecil dia akan mengkhianatinya, serta laki-laki yang tidak berpagi-pagi dan bersore-sore kecuali dia akan memperdayakanmu terhadap keluarga dan hartamu.” Beliau menyebutkan orang yang berakhlak buruk, pendusta dan golongan-golongan busukk. (Ditakhrij sendiri oleh Muslim dari beberapa jalan dari Qatadah)

Firman Allah: ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ (“[itulah] agama yang lurus.”) yaitu berpegang teguh dengan syariat dan fitrah yang selamat adalah agama yang tegak lurus. وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (“tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”) yaitu sekalipun demikian, dengan sikap menyimpang darinya.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah”, terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah.

Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini “fitrah” diartikan “agama” karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-dzariyat/51: 56)

Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. “Wajah” atau “muka” dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.

Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam Ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:

Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya.

Kemudian Abu Hurairah berkata, “Bacalah Ayat ini yang artinya: ? fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” Dalam riwAyat lain, “Sehingga kamu merusaknya (binatang itu).”

Para sahabat bertanya, “Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?” Rasul menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat.” (RiwAyat al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fithrah itu artinya “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah Ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:

Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram . “(RiwAyat Ahmad dari hammad)

Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui,” yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw. Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:

Baca Juga:  Surah Al-Isra' ayat 90-93; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, “Maka Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? Rasulullah menjawab, ‘Dan anak-anak musyrik.” (RiwAyat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub)

Sebagian ulama lain mengartikan “fithrah” dengan “kejadian” yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, “Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya.” Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan.

Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa “fithrah” itu berarti “kejadian” dan “fathir” berarti “yang menjadikan” dengan firman Allah: Katakanlah, “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi.” (az-Zumar/39: 46)

Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yasin/36: 22)

Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya.” (al-Anbiya’/21: 56)

Kemudian kalimat dalam Ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara.

Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha’i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan.

‘Ikrimah meriwAyatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan.” Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.

Ungkapan “itulah agama yang lurus”, menurut Ibnu ‘Abbas, bermakna “itulah keputusan yang lurus”. Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.

Tafsir Quraish Shihab: Dari itu, luruskanlah wajahmu dan menghadaplah kepada agama, jauh dari kesesatan mereka. Tetaplah pada fitrah yang Allah telah ciptakan manusia atas fitrah itu. Yaitu fitrah bahwa mereka dapat menerima tauhid dan tidak mengingkarinya. Fitrah itu tidak akan berubah. Fitrah untuk menerima ajaran tauhid itu adalah agama yang lurus. Tetapi orang-orang musyrik tidak mengetahui hakikat hal itu.

Surah Ar-Rum Ayat 31
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَٱتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Terjemahan: dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,

Tafsir Jalalain: مُنِيبِينَ (Dengan kembali) bertobat إِلَيْهِ (kepada-Nya) kepada Allah swt., yaitu melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan menjauhi hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Lafal Ayat ini merupakan hal atau kata keterangan keadaan bagi fa’il atau subjek yang terkandung di dalam lafal aqim beserta makna yang dimaksud daripadanya, yaitu hadapkanlah wajah kalian وَٱتَّقُوهُ (dan bertakwalah kalian kepada-Nya) takutlah kalian kepada-Nya وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ (serta dirikanlah salat dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah).

Tafsir Ibnu Katsir: Dan firman-Nya: مُنِيبِينَ إِلَيْهِ (“Dengan kembali bertobat kepada-Nya.”) Ibnu Zaid dan Ibnu Juraij berkata: “Yaitu mereka kembali kepada-Nya.” وَٱتَّقُوهُ (“dan bertakwalah kepada-Nya”) yaitu mereka takut dan merasa diawasi, وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ (“Serta dirikanlah shalat.”) yaitu, ia sebagai ketaatan yang besar.

وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ (“dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.”) yaitu jadilah kalian orang-orang yang bertauhid dan mengikhaskan hanya kepada-Nya serta tidak menghendaki selain-Nya.

Tafsir Kemenag: Ayat ini merupakan jawaban dari Ayat 30 Surah ar-Rum di atas yang menyatakan, “Tidak ada perubahan bagi agama Allah.” Maksudnya ialah agar manusia jangan sekali-kali mencoba mengubah agama Allah.

Bagaimana tindakan manusia agar dia tidak mengubah agama Islam ialah dengan jalan bertobat kepada-Nya. Akan tetapi, ada yang menafsirkan kalimat “dengan kembali bertobat kepada-Nya” sebagai keterangan dari kata “hadapkanlah wajahmu” tersebut di atas. Maksudnya agar Nabi Muhammad dan umatnya meluruskan muka (menghadapkan wajah) dengan cara kembali bertobat kepada Allah. Kaum Muslimin juga termasuk dalam perintah ini karena suruhan kepada Nabi saw berarti juga suruhan kepada umatnya.

Baca Juga:  Surah Ar-Rum Ayat 33-37; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Ayat ini juga menyuruh manusia bertobat kepada Allah. Perintah ini lalu dihubungkan dengan suruhan agar manusia bertakwa kepada-Nya, mendirikan salat, serta larangan menjadi orang musyrik.

Kembali kepada Allah ialah cara yang baik untuk memperbaiki fitrah tadi dan menjauhi segala rintangan yang mungkin menghalanginya.

Perintah bertakwa didahulukan dari perintah mendirikan salat karena salat termasuk salah satu tanda-tanda yang pokok dari orang yang bertakwa. Salat dan ibadah lainnya tidak akan ada hasilnya, kecuali atas dasar iman dengan Allah, merasakan kekuasaan dan ketinggian-Nya. Dalam hal ini Allah berfirman:

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya. (al-Mu’minun/23: 1-2)

Ibadah juga tidak ada artinya kalau tidak disertai dengan ikhlas. Oleh karena itu, Ayat ini diakhiri dengan keharusan ikhlas dalam beribadah agar kaum Muslimin tidak menjadi musyrik.

Tafsir Quraish Shihab: Jadilah kalian orang-orang yang kembali kepada-Nya. Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian. Tinggalkanlah apa yang dilarang, dan peliharalah salat, serta janganlah menjadi golongan orang-orang yang menyekutukan Allah.

Surah Ar-Rum Ayat 32
مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Terjemahan: yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

Tafsir Jalalain: مِنَ ٱلَّذِينَ (Yaitu orang-orang) lafal Ayat ini merupakan badal dari lafal minal musyrikiin berikut pengulangan huruf jarnya فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ (yang memecah belah agamanya) disebabkan perselisihan mereka dalam apa yang mereka sembah وَكَانُوا۟ شِيَعًا (dan mereka menjadi beberapa golongan) menjadi bersekte-sekte dalam beragama.

كُلُّ حِزْبٍۭ (Tiap-tiap golongan) dari kalangan mereka بِمَا لَدَيْهِمْ (dengan apa yang ada pada golongan mereka) maksudnya apa yang ada pada diri mereka فَرِحُونَ (merasa bangga) yakni membanggakannya. Menurut qiraat yang lain lafal farraquu itu dibaca faraquu artinya mereka meninggalkan agama yang mereka diperintahkan untuk menjalankannya.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi orang-orang musyrik yang memecah belah agama mereka, yaitu dengan mengganti dan merubahnya serta mengimani sebagiannya dan mengingkari sebagian lainnya.

Sebagian ahli qiraat membacanya dengan فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ yaitu mereka tinggalkan agamanya di belakang mereka. Mereka seperti orang Yahudi, orang Nasrani, orang majusi, penyembah berhala dan seluruh penganut agama-agama yang bathil selain penganut Islam.

Tafsir Kemenag: Ayat ini merupakan keterangan dari ungkapan “orang-orang yang mempersekutukan Allah” yang terdapat dalam Ayat sebelumnya (31). Ayat ini menyuruh kaum Muslimin agar jangan menjadi orang musyrik yang selalu berselisih dan memecah agama mereka, sehingga mereka terbelah menjadi beberapa golongan. Mereka selalu berselisih pendapat karena menganut agama yang batil, agama ciptaan manusia.

Agama yang batil itu banyak macamnya, dan tata cara peribadatannya juga berbeda-beda. Ada yang menyembah berhala, api, malaikat, bintang-bintang, matahari dan bulan, pohon, kuburan, dan lain sebagainya. Semuanya itu adalah macam-macam tuhan yang disembah segolongan kaum musyrik.

Setiap golongan mempunyai tata cara peribadatan sendiri. Mereka berpendapat bahwa mereka adalah orang yang mendapat petunjuk. Mereka sangat gembira dan bangga dengan golongan mereka, padahal mereka adalah golongan yang merugi dan sesat.

Tafsir Quraish Shihab: Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga berselisih tentangnya dan menjadi berkelompok-kelompok. Setiap kelompok didukung oleh pengikut-pengikutnya. Setiap golongan dari mereka merasa bangga dengan apa yang mereka miliki dan mengira bahwa mereka berada dalam kebenaran.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Ar-Rum Ayat 30-32 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S