Surah Yasin Ayat 68-70; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Yasin Ayat 68-70

Pecihitam.org – Kandungan Surah Yasin Ayat 68-70 ini, Allah menegaskan bahwa barang siapa yang dipanjangkan umurnya, niscaya akan dikembali kepada awal kejadiannya. Selanjutnya, Allah membantah tuduhan kaum kafir yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah syair yang diciptakan oleh Nabi Muhammad saw sendiri. Dengan demikian, menurut tuduhan mereka, Muhammad adalah seorang penyair.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Yasin Ayat 68-70

Surah Yasin Ayat 68
وَمَن نُّعَمِّرۡهُ نُنَكِّسۡهُ فِى ٱلۡخَلۡقِ أَفَلَا يَعۡقِلُونَ

Terjemahan: Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?

Tafsir Jalalain: وَمَن نُّعَمِّرۡهُ (Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya) yaitu diperpanjang ajalnya نُنَكِّسۡهُ (niscaya dia Kami kembalikan) menurut qiraat yang lain tidak dibaca Nunakkis-hu melainkan Nunkis-hu yang berasal dari Mashdar At-Tankiis, yakni mengembalikannya فِى ٱلۡخَلۡقِ (kepada kejadiannya) sehingga setelah ia kuat dan muda lalu menjadi tua dan lemah kembali.

أَفَلَا يَعۡقِلُونَ (Maka apakah mereka tidak memikirkan?) bahwasanya Dzat Yang Maha Kuasa memperbuat demikian, berkuasa pula untuk membangkitkan hidup kembali, oleh karenanya mereka lalu mau beriman kepada-Nya. Menurut qiraat yang lain lafal Ya’qiluuna dibaca Ta’qiluuna dengan memakai huruf Ta.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah mengabarkan tentang Bani Adam, setiap kali umurnya panjang, dia akan kembali kepada kelemahan setelah berada dalam kekuatan dan kembali kepada kelelahan setelah berada dalam semangat. Yang dimaksud Ayat ini –wallaaHu a’lam- adalah sebuah kabar tentang dunia ini, bahwa dia adalah tempat yang akan lenyap dan akan berpindah, bukan tempat kekal dan tempat tinggal.

Untuk itu Allah berfirman: أَفَلَا يَعۡقِلُونَ (“Maka apakah mereka tidak memikirkan?”) yaitu memikirkan dengan akal fikiran mereka tentang permulaan penciptaan mereka. Kemudian, Dia menjadikan mereka sampai pada beruban, kemudian masa tua agar mereka mengetahui bahwa mereka diciptakan untuk satu tempat lain yang tidak akan lenyap dan tidak akan berpindah serta tidak akan lolos darinya, itulah negeri akhirat.

Tafsir Kemenag: Selanjutnya Allah menegaskan bahwa barang siapa yang dipanjangkan umurnya, niscaya akan dikembali kepada awal kejadiannya. Artinya, mereka kembali lemah dan kurang akal seperti anak kecil. Tidak kuat lagi melakukan ibadah-ibadah yang berat dan mulai banyak lupa, sehingga tidak banyak dapat melakukan ibadah dengan baik. Pada akhir Ayat ini, Allah mempertanyakan mengapa mereka tidak mengerti dan menggunakan kesempatan selagi masih muda dan kuat.

Nabi saw menerangkan hal ini dalam hadisnya yang berbunyi: Pergunakan kesempatan yang lima sebelum datang yang lima: waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, waktu kayamu sebelum waktu miskinmu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu mudamu sebelum waktu tuamu, dan waktu hidupmu sebelum waktu matimu.(RiwAyat al-hakim dari Ibnu ‘Abbas)

Apakah orang-orang kafir tidak mempergunakan akalnya bahwa semakin panjang dan tua umur seseorang semakin lemah jasmani dan rohaninya dan semakin tidak mampu ia berbuat. Allah telah memberinya umur yang cukup kepada mereka untuk dapat berbuat banyak, beramal saleh, menuntut ilmu yang cukup, beribadah dengan baik, dan sebagainya.

Akan tetapi, mereka tidak mempergunakan umur itu dengan sebaik-baiknya. Allah mengutus para rasul kepada mereka dengan membawa petunjuk ke jalan yang lurus, tetapi mereka tidak mengikuti rasul dan petunjuk itu bahkan mereka mendustakan dan mengingkarinya.

Tafsir Quraish Shihab: Barangsiapa yang Kami panjangkan usianya, Kami akan mengembalikannya dari kuat menjadi lemah. Tidakkah mereka berpikir akan kekuasaan Kami melakukan hal itu sehingga mereka menyadari bahwa dunia ini hanyalah ediaman yang fana dan akhirat merupakan tempat yang abadi?(1).

(1) Hal itu terjadi karena kehidupan manusia mengalami tiga fase, yaitu fase pertumbuhan, fase kematangan dan fase atrofi atau penyusutan. Seseorang akan memasuki masa tua ketika pada dirinya mulai terjadi penyusutan parenkim di ginjal, jantung, kelenjar gondok dan pankreas. Itu semua mempunyai peranan dalam membuat seluruh tubuh menjadi lemah.

Pembuluh nadi pun, saat itu, mulai mengalami pengerasan dan penyusutan. Dengan demikian, darah yang mengalir ke seluruh bagian tubuh pun berkurang. Akibatnya tubuh menjadi semakin lemah. Di antara penyebab ketuaan lainnya adalah bahwa daya perusak lebih kuat daripada daya pembangun (metabolisme) tubuh.

Hal itu dimungkinkan karena semua sel pada tubuh mengalami perubahan terus menerus, kecuali sel otak dan urat saraf tulang belakang yang tidak pernah mengalami perubahan sepanjang hidup. Jika jumlah sel baru sama dengan jumlah sel yang mati, maka tidak akan terjadi apa-apa pada tubuh. Tetapi jika jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel baru pada bagian tubuh mana saja, maka bagian tubuh itu akan mengalami penyusutan. Atas dasar itu, semakin bertambah usia seseorang, jumlah selnya yang mati pun bertambah banyak.

Baca Juga:  Surah Yasin Ayat 1-7; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Pada gilirannya akan terjadi penambahan degradasi sel yang mengakibatkan penyusutan secara umum. Jumlah pertambahan sel-sel baru itu sendiri berbeda dari satu jaringan ke jaringan lain. Jaringan yang tampak, seperti kulit yang menyelimuti tubuh dan selaput dalam saluran pencernaan serta saluran-saluran kelenjar mengalami penyusutan lebih banyak seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Dan itu merupakan penyebab langsung terjadinya ketuaan.

Surah Yasin Ayat 69
وَمَا عَلَّمۡنَٰهُ ٱلشِّعۡرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرٌ وَقُرۡءَانٌ مُّبِينٌ

Terjemahan: Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.

Tafsir Jalalain: وَمَا عَلَّمۡنَٰهُ (Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw. ٱلشِّعۡرَ (tentang syair) Ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan orang-orang kafir, karena mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya Alquran yang didatangkan olehnya adalah syair وَمَا يَنۢبَغِى (dan bersyair itu tidak layak) tidak mudah لَهُۥٓ (baginya.)

إِنۡ هُوَ (Alquran itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada lain ذِكۡرٌ (hanyalah pelajaran) nasihat وَقُرۡءَانٌ مُّبِينٌ (dan Kitab yang memberi penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya.

Tafsir Ibnu Katsir: Dan firman Allah: وَمَا عَلَّمۡنَٰهُ ٱلشِّعۡرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ (“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya [Muhammad], dan bersyair itu tidaklah layak baginya.”) Allah berfirman mengabarkan tentang Nabi-Nya, Muhammad saw. bahwa Dia tidak mengajarkannya syi’ir, وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ (“Dan bersyair itu tidak layak baginya”) yaitu bukan merupakan tabiatnya, tidak menguasainya dan tidakk menyenanginya serta tidak menjadi tuntutan tabiatnya.

Datang satu berita bahwa Rasulullah saw. tidak pernah menghafal satu bait yang bersusun. Bahkan, jika beliau menyenandungkannya, beliau akan lari dan tidak menyempurnakannya.

Abu Zur’ah ar-Razi berkata, Isma’il bin Mujalid bercerita kepada kami, dari ayahnya bahwa asy-Sya’bi berkata: “Abdul Muththalib tidak pernah mendapatkan anak laki-laki dan perempuan melainkan pasti mengucapkan sya’ir, kecuali Rasulullah saw.” hal itu disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam biografi ‘Uthbah bin Abi Lahab.

Imam Ahmad meriwAyatkan bahwa ‘Aisyah berkata: “Jika terdapat satu berita yang meragukan, Rasulullah menyenandungkan satu bait syair: wa ya’tiika bil akhbaari mal lam tuzawwid (“Dan akan datang membawa berita kepadamu orang yang belum kamu siapkan.”) demikian yang diriwAyatkan oleh at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i, dari hadits al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, dari ayahnya, dari ‘Aisyah. Kemudian at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.

Tercantum dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw pada hari penggalian parit beliau meniru bait-bait ‘Abdullah bin Rawahah, akan tetapi mengikuti perkataan para sahabatnya. Mereka membuat bahar rajaz saat menggali dengan bersenandung: “Ya Allah. Seandainya tidak ada Engkau, niscaya kami tidak akan mendapatkan hidayah, tidak bershadaqah dan tidak shalat.

Turunkanlah ketentraman kepada kami, dan kokohkanlah kaki-kaki kami jika kami menghadapi musuh. Sesungguhnya orang-orang lama berbuat dzalim kepada kami. Jika mereka menghendaki fitnah, kami menolakknya.” Rasulullah meninggikan dan memanjangkan suaranya, “Kami menolaknya.”

Begitu pula tercantum bahwa Rasulullah saw berkata pada hari perang Hunain saat mengendarai unta menghadapi musuh berkata: “Aku adalah Nabi dan bukan kedustaan. Aku adalah anak ‘Abdul Muththalib.” Akan tetapi mereka mengatakan ini hanya kebetulan, tanpa sengaja membuat bait syi’ir. Bahkan lisan beliau bergerak sendiri tanpa memiliki maksud membuatnya.

Itu pulalah yang tercantum dalam ash-Shahihain, bahwa Jundub bin ‘Abdullah berkata: “Dahulu kami berada bersama Rasulullah saw. di sebuah gua. Lalu terlukalah jarinya, maka Rasulullah bersabda: ‘Engkau tidak lain melainkan satu jari yang terluka dan apa yang engkau temui di jalan Allah.’

Semua itu tidak berarti meniadakan bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahui syi’ir dan tidak layak baginya. Karena Allah swt. hanya mengajarkan al-Qur’an al-‘Adzim. لَّا يَأۡتِيهِ ٱلۡبَٰطِلُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَلَا مِنۡ خَلۡفِهِۦ تَنزِيلٌ مِّنۡ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (“Yang tidak datang kepadanya [al-Qur’an] kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari [Rabb] Yang Mahabijaksana Lagi Mahaterpuji.” (Fushilat: 42)

Al-Qur’an bukanlah syi’ir, sebagaimana yang diduga oleh sekelompok orang kafir Quraisy yang bodoh, bukan tenung, bukan buatan dan bukan sihir, seperti dijenis-jeniskan oleh pendapat-pendapat pakar sesat dan bodoh.

Sesungguhnya Rasulullah saw. enggan membuat syair, baik secara tabiat maupun secara syar’i. Sebagaimana yang diriwAyatkan oleh Abu Dawud, bahwa ‘Abdurrahman bin Rafi’ at-Tanukhi berkata, aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak peduli apakah aku meminum obat penawar racun, menggantungkan tamimah atau mengucapkan sya’ir dari diriku sendiri.” (Abu Dawud meriwAyatkannya sendiri)

Baca Juga:  Surah Al-Anbiya Ayat 104; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Imam Ahmad meriwAyatkan bahwa Abu Naufal berkata, aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apalah Rasulullah saw. menguasai sya’ir?” maka beliau menjawab: “Sya’ir adalah kalimat yang paling dibencinya.”

Abu Dawud meriwAyatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya, penuhnya mulut salah seorang kalian dengan nanah lebih baik baginya daripada dipenuhi dengan sya’ir.” (Beliau meriwAyatkannya sendiri dari jalur ini. Dan isnadnya menurut syarat ash-Shahihain, akan tetapi keduanya tidak mentakhrij hadits ini).

Akan tetapi, ada sya’ir yang diisyaratkan, yakni sindiran-sindiran terhadap orang-orang musyrik yang dilantunkan oleh para ahli sya’ir Islam, seperti Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, ‘Abdullah bin Rawahah dan orang-orang semisal mereka –semoga Allah meridlai mereka-.

Di antara syair mereka terdapat pula sya’ir yang mengandung pelbagai hikmah, nasehat dan adab sebagaimana yang terdapat di dalam sebagian kelompok ahli sya’ir Jahiliyyah. Di antara mereka adalah Umayyah bin Abi ash-Shalt yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Syairnya beriman, hatinya kufur.”

Sebagian sahabat menyenandungkan seratus bait kepada nabi saw. dimana Rasulullah menyambut akhir setiap bait dengan kalimat Hayyah. Yaitu merasakannya dan menambahkannya.

Abu Dawud meriwAyatkan dari hadits Ubay bin Ka’ab, Buraidah bin al-Kashib dan ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya, di antara bayan adalah sihir dan di antara sya’ir ada yang mengandung hukum.”

Untuk itu Allah berfirman: وَمَا عَلَّمۡنَٰهُ ٱلشِّعۡرَ (“Dan Kami tidak mengajarkan sya’ir kepadanya,”) yaitu, Muhammad saw. tidak diajarkan syair oleh Allah. وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ (“Dan bersyair itu tidaklah layak baginya.”) yaitu tidak patut baginya. إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرٌ وَقُرۡءَانٌ مُّبِينٌ (“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”) tidak ada yang Kami ajarkan kepadanya.

إِلَّا ذِكۡرٌ وَقُرۡءَانٌ مُّبِينٌ (“Tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”) yaitu yang jelas dan tegas serta indah bagi yang merenungkan dan mentadabburkannya.

Tafsir Kemenag: Pada Ayat ini, Allah membantah tuduhan kaum kafir yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah syair yang diciptakan oleh Nabi Muhammad saw sendiri. Dengan demikian, menurut tuduhan mereka, Muhammad adalah seorang penyair.

Hal ini dibantah keras pada Ayat ini, karena Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang membawa kebenaran. Sedang Nabi Muhammad saw bertugas menyampaikannya kepada umat manusia semua kebenaran yang diterima dari Allah. Nabi Muhammad bukan penyair yang hanya mengkhayal, tetapi rasul Allah yang membawa kebenaran untuk memperbaiki orang-orang jahiliah.

Al-Qur’an jauh berbeda dengan syair yang berkembang di tanah Arab ketika itu. perbedaan itu dapat dilihat dalam hal:

  1. Syair Arab waktu itu merupakan rangkaian kalimat-kalimat yang terikat pada wazan (timbangan kalimat) atau pola tertentu, bahr-bahr (irama dan notasi dalam syair Arab) tertentu, seperti bahr kamil, bahr rajaz, dan lain-lain.

Sedangkan Ayat-Ayat Al-Qur’an susunan kalimatnya begitu indah, pilihan diksi kata-katanya begitu tepat, tetapi tidak terikat pada wazan dan bahr syair Arab.

  1. Syair Arab juga terikat pada qafiyah, yaitu huruf akhir tertentu. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka rusaklah syair tersebut, sehingga ada unsur pemaksaan atau takalluf.

Pada Ayat-Ayat Al-Qur’an memang ada beberapa huruf akhir yang sama sehingga bersajak (masju’), tetapi menjadi lebih indah karena tidak kaku dan tidak ada unsur pemaksaan (takalluf).

  1. Isi syair Arab biasanya berupa khayalan penyair dengan imajinasi yang tinggi sehingga melupakan banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Sedangkan Ayat-Ayat Al-Qur’an semuanya sesuai dengan kenyataan, baik alam gaib maupun alam nyata, sehingga memberi informasi yang benar.

  1. Syair-syair Arab biasanya berupa puji-pujian yang berlebih-lebihan terhadap raja atau kepala suku sehingga menjadikan para raja bertambah sombong. Syair bisa juga berisi celaan atau ejekan terhadap musuh sehingga meningkatkan permusuhan yang ada.

Sedangkan Al-Qur’an selalu berbicara masalah kebenaran tanpa membuat orang menjadi sombong, bahkan Ayat Al-Qur’an melarang kesombongan dan rasa kebencian maupun permusuhan.

  1. Syair-syair Arab seringkali disusun dan dirangkai oleh penyair dan digunakan untuk mendapat hadiah sebagai mata pencaharian penyair.

Sedangkan Ayat-Ayat Al-Qur’an semata-mata memberi informasi, petunjuk, dan pelajaran yang baik. Bahkan Ayat Al-Qur’an tidak boleh diperjualbelikan dengan harga murah untuk memperoleh penghasilan tertentu.

Baca Juga:  Surah Yasin ayat 26-29; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Dari hal-hal di atas terbukti bahwa bahasa Al-Qur’an lebih indah dari syair dan kandungan isinya lebih baik dan memberi manfaat yang lebih besar bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.

Allah menegaskan bahwa Dia tidak mengajarkan syair kepada Muhammad saw. Ia hanyalah mewahyukan Al-Qur’an kepadanya, untuk disampaikan kepada umat manusia. Tuduhan kaum musyrik dan kaum kafir bahwa Muhammad saw adalah penyair adalah tuduhan yang tidak patut dan tidak dapat diterima akal yang sehat.

Kemudian Allah menegaskan lagi bahwa Al-Qur’an yang disampaikan oleh Muhammad saw adalah pelajaran dan kitab suci yang memberikan penerangan kepada umat manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Kaum musyrik mengatakan Al-Qur’an itu syair, karena kata-kata dan kalimat-kalimat yang terdapat di dalamnya demikian indah dan tepat. Bahkan kadang-kadang mereka mengatakan Al-Qur’an adalah sihir, karena kata-kata dan susunan kalimatnya memang memesona siapa saja yang mendengarnya. Akan tetapi, tuduhan mereka ini sama sekali tidak benar.

Al-Qur’an bukanlah sihir ataupun syair, karena syair merupakan susunan yang terikat kepada pola-pola tertentu, sedang Al-Qur’an tidaklah demikian.

Tafsir Quraish Shihab: Kami tidak pernah mengajarkan kepada rasul Kami suatu syair. Seorang rasul, karena kedudukan dan kehormatannya, tidak pantas menjadi seorang penyair. Al-Qur’ân yang diturunkan kepadanya itu pun tidak lain dari nasihat dan kitab samawi yang jelas. Maka tidak ada korelasi antara al-Qur’ân dan syair.

Surah Yasin Ayat 70
لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ ٱلۡقَوۡلُ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ

Terjemahan: supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.

Tafsir Jalalain: لِّيُنذِرَ (Supaya dia memberi peringatan) dengan Alquran itu; lafal Liyundzira dapat pula dibaca Litundzira artinya supaya kamu memberi peringatan dengan Alquran itu مَن كَانَ حَيًّا (kepada orang-orang yang hidup) hatinya, maksudnya tanggap terhadap apa-apa yang dinasihatkan kepada mereka; mereka adalah orang-orang mukmin وَيَحِقَّ ٱلۡقَوۡلُ (dan supaya pastilah ketetapan) azab عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ (terhadap orang-orang kafir) mereka diserupakan orang mati, karena mereka tidak tanggap terhadap apa-apa yang dinasihatkan kepada mereka.

Tafsir Ibnu Katsir: Untuk itu Allah berfirman: لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا (“Supaya dia [Muhammad] memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.”) yaitu agar al-Qur’an yang jelas ini memberi peringatan kepada setiap makhluk hidup di muka bumi. Sedangkan yang dapat mengambil manfaat dari peringatannya itu hanyalah orang hidup dan mata hatinya bersinar. Sebagaimana Qatadah berkata: “Yang hidup qalbunya dan hidup mata hatinya.” Adl-Dlahhak berkata: “Yaitu orang yang berakal.”

وَيَحِقَّ ٱلۡقَوۡلُ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ (“Dan supaya pastilah [ketetapan adzab] terhadap orang-orang kafir.”) yaitu, al-Qur’an adalah rahmat bagi orang-orang yang beriman dan hujjah bagi orang-orang yang kafir.

Tafsir Kemenag: Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa fungsi Al-Qur’an antara lain untuk memberikan peringatan kepada umat manusia. Di samping itu, ia juga menerangkan kepastian adanya ketetapan azab bagi orang-orang kafir.

Orang-orang yang hati, pikiran, dan semangatnya tetap hidup pasti mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman yang utama, karena Al-Qur’an membawa ajaran yang melenyapkan kebodohan dan kebekuan, menyembuhkan penyakit-penyakit mental yang merusak hidup manusia, baik lahir maupun batin serta menjadi rahmat bagi orang-orang yang bertakwa.

Sebaliknya orang-orang yang hati, pikiran, dan semangatnya sudah mati dan membeku, tidak mau mengambil pelajaran dan bimbingan dari Al-Qur’an karena godaan setan sudah membelenggu sedemikian rupa.

Sebetulnya, di dalam hati para pemuka kaum kafir dan musyrik itu telah mengakui kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur’an. Akan tetapi, mereka tidak berani mengemukakan pengakuan itu, karena takut akan kehilangan pengaruh di lingkungan kaumnya yang menyebabkan turunnya kewibawaan, dan kehilangan sumber penghasilan.

Tafsir Quraish Shihab: Untuk memberi peringatan kepada orang yang hatinya dan akalnya terbuka. Dan keputusan bahwa siksaan akan menimpa orang-orang yang mengingkari dan memungkiri petunjuknya teah ditetapkan.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Yasin Ayat 68-70 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S