Syaikh Abdullah al-Bawardi; Pandai Besi yang Menjadi Seorang Sufi

Syaikh Abdullah al-Bawardi; Pandai Besi yang Menjadi Seorang Sufi

PeciHitam.org – Dalam dunia sufi, nama yang masyhur di telinga masyarakat awam, biasanya ialah Jalaluddin Rumi. Padahal masih banyak tokoh-tokoh tasawuf lain yang perjalanan kesufiannya menarik dan perlu dijadikan sebagai pembelajaran. Salah satunya ialah Syaikh Abdullah bin Mahdi al-Bawardi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nama al-Bawardi mungkin masih sangat asing di telinga kita, atau bahwa banyak dari kita juga belum pernah sama sekali mendengarnya. Syaikh Abdullah bin Mahdi al-Bawardi juga tercatat sebagai salah satu guru dari Syaikh Abu Hafsh al-Haddad, seorang wali agung dalam golongan kaum sufi.

Ia dulunya merupakan seorang pandai besi yang terkenal sangat ulung dan cekatan dalam pekerjaannya. Dengan reputasinya yang begitu baik sebagai seorang pandai besi, ia justru memutuskan untuk berhenti dari profesi tersebut.

Dengan alasan, pada suatu ketika ia melihat sekaligus mendengar ada seorang buta lewat di depannya. Pada saat itu, ia sedang bekerja memanaskan sebuah besi. Seorang buta tersebut membacakan sebuah ayat dalam al-Quran surat al-Furqan ayat 26 yang berbunyi:

ٱلْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ ٱلْحَقُّ لِلرَّحْمَٰنِ ۚ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ عَسِيرًا

Baca Juga:  Biografi Ibnu Athaillah As-Sikandari Pengarang Kitab Al-Hikam

“Kerajaan yang haq di hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah.”

Bagi orang awam seperti kita, mungkin mendengarnya tidak memiliki efek apapun. Namun bagi seseorang yang sudah terketuk hatinya, ia akan sangat merasa relatable (berhubungan) dengan pengalamannya.

Respon Syaikh Abdullah al-Bawardi ketika mendengar ayat tersebut seolah hatinya terketuk, ia merasakan getaran yang amat kencang. Besi yang sedang ia panaskan dengan bara menyala-nyala itu pun sampai jatuh dari tangannya.

Beberapa saat kemudian, menyadari besi panas tersebut jatuh, ia kemudian mengambilnya. Besi yang masih panas membara itu pun diambilnya dengan tangan kosong tanpa menggunakan alat apapun. Ia bahkan tak merasakan panas kala ia menyentuhnya.

Namun melihat hal tersebut, seorang muridnya yang lewat melihat kejadian tersebut justru histeris. Ia menjerit sekuat-kuatnya seketika. Saking kagetnya, ia malah pingsan tak sadarkan diri. Beberapa saat kemudian, sang murid ini pun sadar dan ditanya oleh al-Bawardi, “Apa yang terjadi padamu?”

Pertanyaan dari gurunya itu belum terjawab, sang murid masih kaget atau syok melihat kejadian tadi. Ia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin orang biasa dapat menyentuh besi panas yang begitu membara dengan tangan kosong? Tentu hal tersebut tidak lazim dikalangan orang awam.

Baca Juga:  Selain Halimah As-Sa'diyah, Inilah Perempuan-perempuan yang Pernah Menyusui Nabi Muhammad

Dari kisah tersebut, seolah apa yang dibacakan oleh orang buta tadi amat berpengaruh pada Syaikh al-Bawardi. Hal ini tidak sembarang orang dapat menerimanya. Pengaruhnya yang begitu hebatnya ini terjadi tak lain karena kesucian hati dan kuatnya konsentrasi setiap saat kepada kehadirat-Nya.

Kisah sang sufi tersebut memberikan pelajaran kepada kita agar selalu mengutuhkan hati kepada Allah SWT kapan pun dan di mana pun. Tidak terlena dengan apa yang kita kerjakan sehingga tidak melupakan kehadiran Allah ta’ala.

Kejadian yang luar biasa seperti yang dialami oleh al-Bawardi di atas, seolah mencerminkan bahwa bahaya adalah ketiadaan. Besi panas yang amat membara tersebut bukanlah menjadi sesuatu yang membahayakan. Ia seolah telah terhipnotis dan hatinya hanya terpaku pada sang Kuasa. Jika Allah berkehendak, baik manfaat ataupun bahaya pun bukanlah masalah.

Al-Bawardi seolah-oleh telah menyerahkan dirinya secara utuh hanya kepada Allah dengan jalan kepatuhan atau ketakwaan yang paling ikhlas dan penuh kesungguhan. Inilah mengapa ia bisa sampai pada tingkatan sufi yang demikian.

Baca Juga:  Biografi Abuya Muda Waly Al-Khalidy, Waliyullah Asal Aceh

Memang banyak cara maupun jalan yang dapat ditempuh oleh seseorang untuk mengantarkan sang sufi. Dengan menjalankan segala perintah yang datang dari Allah merupakan hal yang mendasar yang harus dilalui. Barulah kemudian dapat benar-benar merasakan kehadiran-Nya dalam tiap langkah kita. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq