Menurut KH Marzuqi Mustamar, 3 Hal Ini Menjadi Syarat Wajib Ulama

Menurut KH Marzuqi Mustamar, 3 Hal Ini Menjadi Syarat Wajib Ulama

PeciHitam.org Peran Ulama dalam berdakwah di masyarakat seyogyanya memiliki kompetensi keilmuan mantap. Karena Ulama adalah kepanjangan dari misi dakwah Rasulullah SAW, maka tidak dibenarkan jika mengklaim sebagai Ulama namun tidak memiliki kemampuan intelektual dalam dalil-dalil Islam secara  holistik.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Fenomena Ustdaz-ustadz Newbie memberikan gambaran bagaimana kehausan masyarakat atas ilmu agama namun tidak dibarengi dengan pendidikan agama yang mantap oleh para pendakwah.

Hasilnya banyak sekali orang yang sangat sedikit memahami khazanah keislaman bahkan gagap dalam berbicara Islam menjadi penghulu atau ditokohkan dalam sebuah komunitas.

Hal ini tentunya meresahkan kalangan pesantren yang konsen utamanya mengkaji khazanah keilmuan namun meilhat fenomena ‘mendadak Ulama/ Ustadz’ sedangkan produk ceramahnya tidak lebih dari omong kosong belaka.

Setidaknya Ketua Tanfidziyyah NU Jawa Timur, KH Marzuqi Mustamar memberikan rangkaian pemahaman terkait ketentuan penggunaan kata Ulama.

Takut kepada Allah, Identik dengan Ibadah?

Jika merujuk pada ayat yang sangat terkenal yakni surat al-Fathir ayat 28 bahwa seoran Ulama harus memiliki rasa Takut kepada Allah. Selama orang Islam tidak takut kepada Allah SWT maka tidak akan masuk ketegori seorang Ulama. Ayatnya adalah,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨

Artinya; “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Qs. Al-Fathir: 28)

Maka apakah orang Islam yang dzikir munajat sambil menangis histeris ketika aksi demo lapangan masuk kategori Khasyatullah, takut kepada Allah? Atau mereka yang shalat wajib dengan rajin dan tahajud, witir, dhuha, atau amalan ibadah lainnya sampai jidat gosong menghitam yang dinamakan khasyatullah? Jawabannya tentunya tidak mewakili secara keseluruhan.

Baca Juga:  Salafus Shalih adalah Generasi Utama Islam, Siapakah Mereka?

Tidak ada jaminan orang yang  berdzikir munajat kepada Allah SWT sampai menangis histeris seperti Neno Warisman otomatis pantas dijuluki Ulama. Pun demikian, tidak ada jaminan orang yang ahli sujud sampai jidat gosong menghitam sebagai orang yang Khasyatullah atau takut Allah SWT.

Bahkan jika ukuran fisik menjadi jaminan seseorang berpredikat khasyatullah, takut kepada Allah SWT maka Dzi Khuwaisirah adalah tokoh ideal.

Namun Dzi Khuwaisirah adalah orang yang dicap Rasulullah SAW sebagai anak panah yang lepas dari busurnya, melesat dari agama Islam. Ketekunan Ibadah fisik tidak menjadi ciri utama sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

قال دعه فإنّ له أصحابا يحقِر أحدكم صلاته مع صلاته وصيامه مع صيامه يمرقون من الدّين كما يمرق السّهم متفق عليه

Artinya; “Nabi menjawab: “Biarkan dia. Kelak dia akan punya banyak pengikut yang salat kalian tidak ada apa-apanya dibanding salat mereka, puasa kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya” (HR Bukhari-Muslim)

Baca Juga:  Bolehkah Menjadikan Ceramah Sebagai Profesi? Begini Cara Memahami Posisi Para Dai

Syarat Ulama Menurut KH Marzuqi Mustamar

Hadits di atas memberikan informasi bahwa rajin tidaknya Ibadah tidak menjadi jaminan seseorang Khasyatullah. Contohnya adalah Abdullah bin Dzi Khuwaisirah at-Tamimi yang mana ia menyalahkan Rasulullah SAW karena menurutnya tidak adil dalam membagi ghanimah perang Hunain.

Maka KH Marzuqi Mustamar menyebutkan sedikitnya 3 syarat yang harus dipenuhi untuk pantas disebut dengan predikat Khasyatullah, takut kepada Allah sebagai dasar Ulama. Syarat tersebut yaitu,

  1. Mantap dalam Aqidah/ Teologi

Kemantapan dalam Aqidah bermaksud harus menempatkan Allah sebagai Tuhan yang disembah dan memahami bagaimana cara menyembah Allah SWT. Memahami kaidah syirik dan tidak menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah atau syirik.

Jangan sampai terjebak dalam pandangan salah sebagaimana kaum Mujassimah yang berkeyakinan Allah SWT memiliki anggota badan seperti mata untuk melihat, tangan untuk bertindak, kursi untuk duduk selayaknya makhluk.

Jika Aqidah mujassimah masih menjadi acuan pemikiran tentang Allah SWT, maka dipastikan ia bukan menyembah Allah, namun menyembah bayangan makhluk.

  1. Mantap dalam Syariat/ Hukum Fikih

Kemantapan dalam syariat ditujukan dalam pengetahuan holistik terhadap hukum-hukum Islam. Sebagai contoh, jika anggota sujud saja tidak mengetahuinya bagaimana mungkin akan mantap dalam bersyariat. Bagian-bagian kecil dalam hukum fikih harus paham secara sempurna, barulah pantas untuk menyebut diri sebagai Ulama.

  1. Paham dan Menjalani Akhlak Tassawuf
Baca Juga:  Keajaiban Doa Iftitah, Ternyata Dapat Membuka Pintu Langit

Pemahaman terhadap keilmuan tassawuf sebagai salah satu gerakan perbaikan akhlak, bukan sebagai bid’ah yang dituduhkan oleh kaum salafi wahabi.

Kajian tassawuf adalah kajian tentang akhlak mulia dengan merujuk kepada pemikiran Imam Ghazali dan Abu Yazid al-Bustami. Menolak kajian tassawuf hampir serupa dengan menolak adanya akhlak dalam Islam.

Bahwa syarat Ulama menurut KH Marzuqi Mustamar tidak melulu tentang ciri fisik atau ketekunan ibadah sahaja. Pun Dzi Khuwaisirah yang dicap jelek oleh Rasulullah SAW adalah orang yang sangat taat beribadah.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan