Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 43: Menguak Perbedaan Fuqaha Tentang Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita

Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 43 Tentang Batalnya Wudhu Menyentuh Wanita

PECIHITAM.ORG – Salah satu diskusi serius antar mufassir dan ulama madzhab adalah maksud ‘menyentuh perempuan di dalam ayat ke -43 Surat An-Nisa’. Seperti apakah perbedaan tentang itu. Berikut kami sajikan berdasarkan tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 43.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah SWT berfirman

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).

Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ ayat 43)

Dari ayat ini tepatnya dari lafadz لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ (kamu menyentuh perempuan), para ulama Ahli Tafsir dan para ulama mazhab berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan lafadz tersebut.

Maksud ayat tersebut menjadi dipersoalkan karena berkait dengan batal wudhu’. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa yang dimaksud menyentuh disini adalah seorang laki-laki menyentuh kulit seorang perempuan secara langsung tanpa ada penghalang, dan di antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan mahram.

Maka jika terjadi hal yang demikian, batallah wudhu’nya baik orang yang menyentuh maupun yang disentuh.

Berbeda dengan Mazhab Hanafi. Dalam Madzhab Hanafi yang dimaksud dengan لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ (menyentuh perempuan) bukanlah menyentuh saja, tetapi yang dimaksud adalah jima’ atau hubungan suami-istri.

Baca Juga:  Surah Al-Kahfi Ayat 107-108; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Maka dengan pandangan ini, menurut Mazhab Hanafi jika hanya menyentuh saja, tidak berhubungan intim, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat Imam Hanafi ini disandarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

عن عائشةَ قالتْ: كنتُ أنامُ بين يدَيْ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ ورجلاي في قبلتِه فإذا سجد غمزني فقبضتُ رجْلي وإذا قام بسطتُهما

Dari Aisyah radhiyallahu anha, istri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Sesungguhnya ia berkata: Saya tidur di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sedangkan kedua kakiku ada di depan Rasul Sallallahu Alaihi Wasallam. Apabila akan sujud, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam meraba kakiku (dengan tangannya) dan aku menarik kakiku. Dan setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berdiri, aku bentangkan lagi kedua kakiku. (HR. Bukhari)

Juga berdasarkan hadis lain, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah Juz XVI halaman 238 berikut

وَقَال الْحَنَفِيَّةُ : لاَ يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِمَسِّ الْمَرْأَةِ وَلَوْ بِغَيْرِ حَائِلٍ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّل بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. وَقَالُوا: إِنَّ الْمُرَادَ مِنَ اللَّمْسِ فِي الآْيَةِ الْجِمَاعُ ، كَمَا فَسَّرَهَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Ulama Hanafiyyah berkata: Wudhu tidak batal dengan menyentuh wanita walaupun tanpa penghalang, karena sesuai hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencium para istrinya kemudian keluar untuk melakukan shalat dan beliau tidak berwudhu.

Para ulama Hanafiyyah berkata: Yang dimaksud ‘menyentuh’ pada ayat tersebut adalah jima’ (bersenggama), sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas radliyallahu anhuma.

Adapun menurut mazhab mayoritas ulama mazhab, yaitu Mazhab Maliki Syafi’i dan Hanbali yang dimaksud dengan لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ pada ayat tersebut adalah menyentuhnya seorang laki-laki terhadap seorang perempuan tanpa adanya penghalang. Jadi bukan melakukan jima’, sebagaimana pendapat Mazhab Imam Hanafi.

Baca Juga:  Surah Al-An'am Ayat 126-127; Seri Tadabbur Al Qur'an

Maka menurut mayoritas ulama mazhab ini, jika ada seorang laki-laki, misalnya suami menyentuh istrinya walaupun tidak melakukan jima’, maka wudhunya menjadi batal.

Sebagaimana dijelaskan – masih dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah Juz XVI halaman 238 – berikut

مِنْ نَوَاقِضِ الْوُضُوءِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ (الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ) لَمْسُ الرَّجُل الْمَرْأَةَ وَعَكْسُهُ دُونَ حَائِلٍ . لِقَوْلِهِ تَعَالَى: أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ

Sebagian dari yang membatalkan wudhu menurut mayoritas fuqaha (Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) adalah menyentuhnya laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya tanpa adanya penghalang, karena sesuai firman Allah taala أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (atau kamu menyentuh perempuan).

Yang dijadikan landasan oleh tiga imam mazhab ini adalah riwayat Imam Malik

عن عبد الله بن عمر أنه كان يقول: قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء‏

Dari Abdullah Ibnu Umar ia berkata, kecupan seorang suami kepada istrinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk mulamasah. Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib melakukan wudhu. (HR. Malik)

Kemudian para ulama yang tidak sependapat dengan mazhab Imam Hanafi ini mengomentari hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu anha yang dijadikan hujjah oleh Imam Hanafi.

Pertama, sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Syarh Muhaddzab, karya Imam Nawawi tepatnya pada pada Juz II halaman 22. Di sana dijelaskan bahwa hadis yang bersumber dari Aisyah tersebut harus diartikan bahwa Nabi ketika menyentuh menggunakan penghalang, sehingga kulit beliau tidak bersentuhan langsung dengan kulit istrinya.

الجواب عن عائشة رضي الله عنها في وقوع يدها على بطن قدم النبي صلى الله عليه وسلم أنه يحتمل فوق حائل

Jawaban dari hadits Aisyah tentang menyentuhnya tangan beliau ke tumit Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan masalah yang boleh jadi menggunakan tabir / sekat penghalang.

Kedua, dijelaskan di dalam Kitab Ghayatul Wushul bahwa hadits tersebut masih mengandung beberapa kemungkinan, yaitu ada penghalang atau tidak, padahal dalam hadits tersebut tidak ditemukan adanya penjelasan tentang apakah nabi menyentuh secara langsung atau tidak, sehingga hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam permasalahan ini.

Baca Juga:  Tadabbur Surah Ali Imran Ayat 122-132; Tafsir dan Terjemahan

Hal ini sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh berikut:

وقائق الأحوال إذا تطرق إليها الإحتمال كساها ثوب الإجمال وسقط بها الإستدلال

Beberapa kejadian yang masih menimbulkan berbagai kemungkinan ( ihtimal), maka ia tercakup dalam dalil mujmal dan tidak bisa dibuat dalil. (Syaikh Zakaria Al-Anshari, Ghayatul Wushul Syarh Lubbul Ushul halaman 74).

Ketiga, di dalam Fiqh Al Manhaj dijelaskan

لمس الرجل زوجته أو المرأة من غير حائل فإنه ينتقض وضوءه ووضوءها. والأجنبية هي كل امراة يحل له الزواج بها

Seorang laki-laki yang menyentuh istrinya atau perempuan lain ( lajnabiyyah) tanpa penghalang, maka wudhu keduanya batal, sebab yang dimaksud dengan istilah ajnabiyah adalah setiap wanita yang halal dinikahi.

Para pembaca yang budiman, demikianlah penjelasan tentang Tafsir Surat An-Nisa- ayat 43 yang didalamnya terdapat diskusi para ahli tafsir dan para ulama mazhab tentang yang dimaksud dengan لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ (menyentuh wanita).

D atas, telah kami sampaikan dua pendapat yang sepertinya bertolak belakang. Kemudian kami kembalikan kepada pembaca masing-masing untuk mengambil salah satu pendapat di atas. Demikian. Wallahu A’lam Bishawab!

Faisol Abdurrahman