Pecihitam.org – Membahas firqah wahabi memang tidak akan lepas dengan negara Arab Saudi. Ya bagaimana tidak, karena memang paham yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini berasal dari Arab Saudi dan juga didukung oleh pemerintah sana.
Sampai-sampai tidak sedikit masyarakat Muslim Indonesia, terutama warga NU yang salah persepsi dengan mengangap bahwa kalau Arab Saudi pasti Wahabi. Ya, wajar saja. Ini tidak lain karena seringnya aliran Wahabi membidahkan amaliah warga NU.
Namun menurut Prof. Dr. Sumanto Al Qurtuby, M.A., MSi, dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals (Arab Saudi), anggapan bahwa seluruh penduduk Arab Saudi penganut Wahabi itu keliru.
Karena mayoritas penduduk Arab Saudi adalah penganut islam Suni. Sekitar 15% penduduk Arab Saudi adalah Syiah dari berbagai mazhab teologi dan lebih dari 1/3 populasinya adalah kaum migran dari berbagai negara.
Wahabi sebetulnya hanyalah “minoritas agama penguasa” di Arab Saudi, karena memang sejak awal menjalin kerjasama dengan rezim politik. Mayoritasnya tentu saja Sunni dari berbagai mazhab (Syafii, Maliki, Hanafi, Hanbali) yang tersebar di berbagai daerah.
Dalam tulisannya, Sumanto al Qurtubi mengatakan bahwa pengikut “Wahabi” kebanyakan terpusat di kawasan Najd (Arab Saudi bagian tengah), khususnya Al-Qassim, Ha’il, dan juga Riyadh, tempat lahirnya M Abdul Wahab (pendiri Wahabi) dan leluhur Dinasti Saud. Selain itu, tidak semua keturunan Raja Sa’ud itu juga otomatis pengikut Wahabi.
Sumanto juga mengatakan bahwa tidak semua penganut Wahabi itu ekstrim. Menurutnya, Wahabi itu berwarna-warni ada Wahabi Ekstrim, Wahabi Aksesoris, Wahabi Pragmatis-Oportunis, Wahabi Moderat, dan Wahabi Liberal.
Secara sederhananya Wahabi Ekstrim yaitu wahabi yang dengan kelompok tertentu suka mengamuk-amuk dan membidahkan orang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Sementara Wahabi Aksesoris itu kelompok yang secara pakaian dan jenggotnya mirip dengan “Wahabi” saja.
Kemudian, Wahabi Pragmatis-Oportunis adalah kelompok yang pura-pura jadi Wahabi supaya dapat akses politik dan ekonomi dari pemerintah.
Sedangkan, Wahabi Moderat itu mereka yang ke dalam konservatif, keluar toleran. Artinya, mereka mengamalkan paham wahabi hanya untuk diamalkan dirinya sendiri dan simpatisannya, bukan untuk menyalahkan amaliah kelompok lain.
Terakhir adalah Wahabi Liberal, Wahabi versi ini kalau di ruang publik dan di Arab Saudi memperlihatkan kewahabiannya. Namun, kalau di ruang privat apalagi di luar Arab Saudi lain lagi ceritanya.
Bagi Sumato al Qurtubi yang sehari-hari hidup di Arab Saudi merasakan perbedaan yang sangat drastis terkait hubungan para penganut kelompok-kelompok keagamaan antara Arab Saudi dan Indonesia.
Menurutnya, banyak di Indonesia yang menganggap bahwa kaum Sunni dan Syiah di Arab Saudi itu saling bermusuhan. Padahal ya tidak sama sekali. “Bagaimana bisa bermusuhan, wong mereka biasa ngopi, ngeteh, ngerokok dan kongko-kongko bareng.
“Hanya orang yang tidak waras yang mengingkan kekacauan. Semua orang waras ya lebih memilih rukun kan daripada musuhan?” tegas Sumanto.
Bahkan menurut Sumanto, hubungan Suni-Syiah bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional, baik sebagai penjual maupun pembeli. Di berbagai daerah di Ahsa malah sudah biasa kawin-mawin, imbuh Sumanto meyakinkan.
Menurutnya, pelaku kekerasan terhadap Syiah di Saudi itu bukan dilakukan oleh “massa” layaknya di Indonesia. Namun kebanyakan oleh kelompok snipers dan teroris yang di Arab Saudi sendiri mereka juga dimusuhi.
Terkahir, Sumanto memberi nasehat, “Karena itu kelompok Islam di Indonesia jangan suka berbuat kekerasan terhadap kelompok agama lain. Anda tahu kan kalau dalam Islam, babi itu haram. Nah, babi yang tidak buta saja haram, apalagi membabi buta, kan lebih haram lagi?” pungkasnya sambil bercanda.