Perbedaan Pendapat Terkait Ta’lil Ahkam dalam Empat Kelompok Besar Ulama

Perbedaan Pendapat Terkait Ta’lil Ahkam dalam Empat Kelompok Besar Ulama

Pecihitam.org- Penentuan illat hukum adalah objek kajian dalam ushul fiqh yang hingga kini menjadi lahan perbedaan para ulama. Pada dasarnya, penyebab awal perselisihan dalam Ta’lil Ahkam adalah perbedaan pendapat dalam bidang Ushul al-Din.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

‘Alau al-Din, penganut madzhab Hanafi dalam bukunya, Mizan al-Ushul, berkata bahwa ushul fiqh merupakan cabang dari Uṣul al-Dīn. Oleh karena itu, karangan tentang ushul fiqh berjalan searah dengan keyakinan penulisnya.

Kebanyakan karangan tentang ushul fiqh adalah buah karya Mu’tazilah yang berbeda dengan kita dalam Uṣul al-Dīn, atau hasil tulisan ahli hadits yang berbeda dengan kita dalam bidang furu’ / fiqh.

Dengan demikian, perbedaan dalam permasalahan ini mengakar pada perbedaan pendapat dalam bidang Uṣul al-Dīn. Oleh karena itu, akan dibahas sedikit tentang perbedaan dalam ilmu kalam itu.

Ulama kalam mendebatkan tentang jawaban dari pertanyaan: bolehkah kita menentukan illat dalam perbuatan Allah dengan hikmah atau maslahah? Dalam artian, apakah Allah melakukan suatu perbuatan karena ada tujuan yang dicapai? atau Dia berbuat hanya karena berdasarkan kehendak dan kemauannya-Nya, tanpa ada illat, hikmah, dan tujuan yang hendak dicapai?

Dalam menjawab pertanyaan di atas, terdapat empat kelompok besar ulama dengan pendapat yang berbeda :

Kelompok pertama, diwakili ole kelompok Asya’irah. Mereka meyakini bahwa tidak adanya ta’lil ahkam dalam perbuatan Allah Ta’ala. Allah berbuat dan memerintahkan sesuatu adalah semata-mata hanya karena kehendakNya, tanpa ada tujuan dan pendorong yang membuat-Nya melakukan demikian.

Baca Juga:  Shalat Kafarat Dapat Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan? Berikut Pendapat Para Ulama

Selain itu, kelompok Asya’irah memandang bahwa apa saja yang Allah perbuat tidak bisa diikat oleh alasan tertentu. Kalau perbuatannya terikat oleh suatu alasan, sama saja dengan mengikat kekuasaan Allah. Padahal Allah telah menegaskan:

Bahwa segala perbuatan Allah tidak bisa dipertanyakan (mengapa harus begini dan begitu), yang bisa dipertanyakan adalah perbuatan manusia.” (QS. Al-Anbiya’: 23).

Kelompok kedua, diisi oleh mayoritas filosof yang sejalan dengan Asya’irah. Mereka menyatakan tidak adanya ta’lil ahkam dalam perbuatan Allah. Namun mereka berpendapat bahwa Allah berbuat sesuatu karena Dia memang wajib berbuat demikian.

Allah tidak memiliki pilihan lain selain melakukan hal yang demikian. Mereka meniadakan sifat ikhtiyâr pada-Nya. Perbuatan-perbuatan itu muncul sebagai bentuk keharusan, tanpa adanya tujuan dan tidak adanya ikhtiyâr.

Dibanding kelompok pertama, mereka lebih keras dalam memungkiri bahwa Allah berbuat sesuatu karena adanya hikmah yang hendak dicapai, sebab substansi hikmah hanya bisa muncul dari orang yang berbuat dalam keadaan ikhityâr.

Kelompok ketiga, kelompok ini adalah sebagai antitesa dari pendapat golongan pertama. Kelompok yang dianut oleh Mu’tazilah. Mereka menyatakan bahwa wajib adanya ta’lil dalam perbuatan Allah Ta’ala.

Baca Juga:  Hukum Jasa Design Dengan Software Bajakan, Boleh Atau Tidak?

Allah menciptakan makhluk, berbuat sesuatu, memerintahkan sesuatu karena ada tujuan yang hendak dicapai. Lebih dari itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah terikat untuk hanya berbuat baik terhadap hamba-hamba-Nya.

Maha suci Allah, kalau muncul dari-Nya perbuatan jelek. Allah Maha Adil, maka perbuatan Allah dipersyaratkan oleh sifat keadilan-Nya untuk hanya berbuat yang terbaik pada manusia. Dengan demikian, dalam pandangan Mu’tazilah perbuatan Allah mesti didasarkan pada alasan untuk berbuat baik bagi manusia.

Tidak lupa, disamping pertimbangan akal, Mu’tazilah juga menampilkan ayat-ayat yang menegaskan bahwa Allah sendiri tidak akan melakukan sesuatu yang akan menyengsarakan manusia. Misalnya yang terdapat dalam al-Qur’an surat Ath-Thala ayat 1:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu. Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

Baca Juga:  Benarkah Suara Perempuan Termasuk Aurat? Ini Penjelasan Para Ulama

Kelompok keempat, diwakili oleh kelompok al-Maturidiyah, yang disebut pula dengan ahli fiqh. Menurut mereka seluruh perbuatan Allah tetap mu’allal, muncul karena suatu alasan dan berdasarkan suatu tujuan.

Perbuatan Allah memang selalu berisi kemashlahatan yang sebagiannya ada yang tampak, dan sebagian yang lain samar, tetapi tidak secara wajib seperti pendapat Mu’tazilah.

Sehingga menurut Maturidiyah, alasan itu tetaplah berposisi sebagai tanda semata, tidak lebih dari itu. Alasan itu tidak lantas memunculkan dan mengikat perbuatan Allah untuk memerintah, melarang, dan seterusnya.

Karena kalau ini yang terjadi, seperti pikiran Asya’irah, sama saja dengan membatasi kekuasaan Allah dan itu bertentangan dengan firman Allah dalam surat al-Anbiya’ ayat 23 “la yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun.

Mochamad Ari Irawan