PECIHITAM.ORG – Menghadiri suatu pesta (hajatan) adalah wajib selagi tidak ada udzur syar’i saat itu. Yang jadi masalah adalah ketika kita menjadi tamu tak diundang. Karena kaprahnya tradisi pesta di daerah kita lengkap dengan hidangan makanan dan sederet fasilitas lainnya.
Segala kelengkapan tersebut merupakan persembahan untuk para tamu undangan yang menghadirinya. Bolehkah kita hadir di pesta tersebut dan menyantap hidangannya?
Syekh Bujairimi al-Mishri asy-Syafi’i dalam kitab Hasyiyah Bujairimi juz 3 halaman 434 menjelaskannya sebagai berikut:
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺘﻄﻔﻞ، ﻭﻫﻮ ﺣﻀﻮﺭ اﻟﺪﻋﻮﺓ ﺑﻐﻴﺮ ﺇﺫﻥ ﻓﺤﺮاﻡ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺭﺿﺎ ﺭﺏ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﻟﺼﺪاﻗﺔ ﺃﻭ ﻣﻮﺩﺓ ﻭﺻﺮﺡ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻨﻬﻢ اﻟﻤﺎﻭﺭﺩﻱ ﺑﺘﺤﺮﻳﻢ اﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ اﻟﺸﺒﻊ ﻭﻻ ﺗﻀﻤﻦ ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼﻡ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺣﺮﻣﺖ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﻣﺆﺫﻳﺔ ﻟﻠﻤﺰاﺝ
Artinya: Adapun tamu tak diundang, yaitu tamu yang menghadiri pesta tanpa diundang oleh penyelenggaranya/sohibul hajat (dan menyantap hidangan di tempat pesta tersebut) maka hukumnya haram. Kecuali hal tersebut diketahui oleh sang sohibul hajat dan ia ridha terhadap hidangan yang telah disantap olehnya (tamu tak diundang) dengan menganggapnya sebagai sedekah dan bentuk kasih sayangnya.
Para ulama, di antaranya Imam Mawardi berkata haram menambah porsi ketika telah kenyang, maka tidak wajib menggantinya. Adapun yang menjadi faktor keharamannya karena hal demikian menyakiti perasaan sohibul hajat.
Sederhananya, tamu tak diundang tidak boleh menyantap hidangan yang tersedia di tempat pesta. Adapun jika sohibul hajatnya telah mengetahui dan ridha karena disantapnya hidangan tersebut maka tak apa tamu tersebut menyantapnya. Disyaratkan tidak melebihi batas kenyang. Jika melebihi, maka ia harus menggantinya.
Selanjutnya, Syekh Jamal menambahkan penjelasan dan tamsil dengan detail dalam kitab Hasyiyah Jamal juz 4 halaman 277, yaitu sebagai berikut:
ﻭﻟﻮ ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻰ ﺁﻛﻠﻴﻦ ﻭﺃﺫﻧﻮا ﻟﻪ ﻓﻲ اﻷﻛﻞ ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻟﻪ اﻷﻛﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻋﻠﻢ ﺃﻭ ﻇﻦ ﺃﻥ ﺇﺫﻥﻫﻢ ﻋﻦ ﻃﻴﺐ ﻧﻔﺲ ﻻ ﻟﻨﺤﻮ ﺣﻴﺎء
Artinya: Semisal ada seseorang yang menghampiri kumpulan orang-orang yang sedang makan, lantas mereka mengizinkan orang tersebut untuk makan pula. Dalam hal ini, orang tersebut tidak boleh ikut makan bersama mereka melainkan ia tahu atau mengira bahwa ungkapan izin mereka tersebut atas dasar kebaikan hati mereka bukan karena perasaan malu (karena mereka tidak mengizinkannya).
Berdasarkan dua ketentuan di atas, tentulah sangat familiar terjadi dalam kehidupan kita. Di desa-desa, sohibul hajat biasanya welcome terhadap tetangga sekampungnya untuk hadir dalam pesta tersebut (dan menyantap hidangan yang disediakan) meski tanpa mengundangnya terlebih dahulu. Ini seperti sudah biasa dan maklum. Maka hukum menyantap hidangan dan menyaksikan tontonan hiburan yang dipersembahkan oleh sohibul hajat tentu diperbolehkan.
Namun tentunya, kita harus memiliki kesadaran tinggi (tahu diri), beretika yang baik, tidak membuat gaduh atau kacau. Mempersilakan yang berhak terlebih dahulu dan mengakhirkan giliran. Inilah budaya yang harus selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian uraian mengenai hukum menyantap hidangan bagi tamu tak diundang, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.