Ta’rif Iman Menurut Syeikh Nawawi Al Bantani

tarif iman syekh nawawi al bantani

Pecihitam.org – Seorang muslim harus mukmin. Seorang mukmin harus muslim. Muslim dan mukmin ibarat dua sisi dari satu koin logam, keduanya mesti maujud dalam diri seorang hamba (‘abdullāh). Dalam Islam kita mengenal terma iman, islam (dengan “i” kecil), dan ihsan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Boleh dikata ketiga terma itu merupakan kesatuan niscaya dalam diri seorang hamba paripurna. Iman sebagai terma ia adalah simbol dari akidah atau tauhid; islam merupakan terma yang merujuk kehambaan ditilik dari pengamalannya atas ritus Islam; dan ihsan adalah terma bagi dimensi akhlak atau kejiwaan (tasawuf).

Sepanggang-seperapian dengan judul risalah singkat ini; apa itu iman? Menurut Imam Nawawi Banten, iman secara bahasa berarti pembenaran-yakin (al-tashdīq) atas apa pun, baik yang datang dari Kanjeng Nabi SAW atau bukan. Sawā’un kāna bimā jā’a bihi al-nabiyyu aw ghairuhu.

Ditelisik dari istilah syari’at, iman mengandung arti pembenaran-yakin (al-tashdīq) atas segala yang disari’atkan Kanjeng Nabi SAW—Islam. Mimmā ‘ulima min al-dīn.

Tentu makna al-tashdīq tak sesederhana sekadar pembenaran hati atau “yakin”. Lema kata Arab memiliki akar historis dan budaya yang panjang, yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Alih bahasa al-tashdīq menjadi “pembenaran hati” atau “yakin” sekadar memudahkan pemahaman. Maka agar lebih memperjelas pemahaman, Imam Nawawi memberikan catatan mengenai lema kata al-tashdīq. Beliau menulis;

Baca Juga:  Inilah Peringatan Ulama Salaf Tentang Bahayanya Wahabi

wa tashdīq huwa hadītsun nafsi attābi’i liljazmi sawāun kāna al-jazmu ‘an dalīlin wa yusammā ma’rifah, aw ‘an taklīdin.

Yakni; makna tashdīq adalah untai perkataan hati yang diikuti rasa mantap, ajek tiada goyah, baik itu kemantapan hati atas dalil, ini dinamai “ma’rifat”, atau kemantapan hati yang muncul dari taklid. Makna hadītsun nafsi sendiri berarti bahwa seorang yang beriman hatinya akan berkata: radlītu bimā jā’a bihī al-Nabiyyu shallalLāhu ‘alaihi wa sallam; saya rida atas segala apa yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW.

Dus, beriman bukan sekadar percaya atau meyakini segala apa yang disyari’atkan Kanjeng Nabi SAW. Lebih dari itu, iman merupakan kemantapan hati dengan diiringi keridaan. Iman bermakna “aku rida atas Islam” atau “aku rida menjadi seorang muslim”.

Masih menyoal iman, Imam Nawawi menyatakan bahwa iman memiliki martabat, derajat, atau tingkat. Disebutnya bahwa tingkatan iman itu ada lima; (1) iman taklid, (2) iman berdasar ilmu (‘ilmul yaqīn), (3) ‘ainul yaqīn, (4) haqqul yaqin, dan (5) iman haqīqah.

Pertama, iman berdasar taklid. Merupakan keimanan yang muncul bukan sebab pemahaman akan dalil-dalil akidah, melaikan dari ucapan orang lain, dari Kiai misalnya. Keimanan level ini, menurut Imam Nawawi, sah secara hukum syari’at tapi merupakan iman yang disertai maksiat. Sebab tidak berusaha belajar untuk memahami dalil-dalil akidah, kecuali memang tidak mampu untuk belajar.

Baca Juga:  Umat Islam Harus Paham, Bagaimana Batas Antara Sunnah dan Bid'ah

Kedua, iman berdasar ilmu. Untuk iman level ini Imam Nawawi memberi istilah dengan īmānu ‘ilmin atau ‘ilmul yaqīn, yakni keimanan yang muncul dari pemahaman atas dalil-dalil akidah. Mukmin pada level ini tidak dihukumi bermaksiat, sebab ia berusaha untuk belajar memahami dalil akidah. Jika tingkatan pertama iman muncul dari taklid, yang kedua ini iman berasaskan ilmu.

Ketiga, ‘ainul yaqīn atau īmānu ‘iyānin. Ialah ma’rifatullah yang timbul dari keintiman hati dengan Allah SWT. Metafor untuk tingkatan ini, tulis Imam Nawawi, “falā yaghību rabbuhu ‘an khāthirihi tharafa ‘ainin”; orang pada maqam ini hatinya tak pernah luput dari keintiman dengan Allah, bahkan sekedip mata pun. Disebut pula tingkatan ini sebagai maqam murāqabah.

Keempat, īmānu haqq atau haqqul yaqīn. Yakni keimanan yang telah mencapai derajat ru’yatullāh, melihat Allah dengan mata hati (al-bashīrah). Ulama sufi atau mutakallimīn merujuk tingkatan ini dengan kalimat “al-‘ārif yarā rabbahu fī kulli sya’in”; seorang yang ma’rifat mampu melihat Allah pada segala sesuatu. Tentu, ini metafor sebagaimana Allah adalah berbeda dengan makhluk. Artinya melihat Allah bukan sama arti dengan melihat segala yang materi-fisis. Disebut pula tingkatan ini dengan maqam musyāhadah.

Kelima, īmān haqīqah. Yakni keimanan yang telah mencapai maqam al-fanā’ billāh. Kesirnaan ego diri. Digambarkan oleh Imam Nawawi sebagai “orang yang mabuk cinta kepada Allah”– ekstase. Mukmin dalam level ini tiada menyaksikan kecuali menyaksikan Allah SWT. Diibaratkan seperti orang yang tenggelam dalam samudera dalam, tak dapat melihat bulir pasir di pesisir pantai.

Baca Juga:  Seperti Apa Sosok Perempuan Ideal Menurut Al-Qur’an? Ini Penjelasannya

Namun, pungkas Imam Nawawi, yang patut untuk dipenuhi sebagai kewajiban syari’at ialah dua tingkatan pertama, yakni iman taklid dan iman berdasar ilmu. Sedang ketiga tingkatan terakhir merupakan rahasia Allah di mana itu masuk wilayah “al-‘ulūm al-rabbāniyyah”; diperuntukkan bagi hamba-Nya sekehendak semau karsa Allah Ta’ala.

Wallahul muwaffiq.

*Rujukan; Anggitan Imam Nawawi Banten, kitab Kāyifatussajā Syarh Safīnatunnajā.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *