Tasawuf dalam Arus Kehidupan Modern dan Era Teknologi

tasawuf dalam kehidupan modern

Pecihitam.org – Mengutip catatan KH. Sahal Mahfudh mengatakan Syeikh Ahmad bin Ruslan asy-syafi’i mengemukakan bahwa “sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma’rifatullah dengan keyakinan“.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kemudian memurut KH. Sahal Mahfudz dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial bahwa tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah dihari pembalasan nanti seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulimuddin.

Memasuki abad ke-20 manusia tengah mengalami kemajuan teknologi yang pesat, bahkan perkembangan teknologi dan sains bisa dirasakan hingga ke pelosok desa. Ketika sains dan teknologi mulai merebak dimana-mana saat itulah sains dan teknologi dianggap sebagai sebuah pembebasan bagi keterbelakangan manusia.

Manusia dikaruniai sebuah keberkahan yang melimpah atas pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keran kebebasan atasnya terbuka sangat lebar sehingga menjadikan manusia berlomba-lomba untuk bisa menciptakan dan menikmati kemudahan-kemudahan serta manfaat-manfaat dari pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun tanpa disadari manusia akhirnya terlalu menggantungkan hidupnya terhadap sains dan teknologi, sedikit demi sedikit kemudian manusia mulai lalai terhadap kekuatan Allah sang maha pencipta yang telah memberikan karunia itu semua kepada manusia.

Seperti yang dikatakan J Donald Walters seorang teolog kontemporer bahwa pada era kemajuan dan perkembangan teknologi manusia sedikit demi sedikit mengalami krisis moral dan spiritual, manusia menjadi buta terhadap kehormatan dan etika. Padahal kehormatan dan etika selalu menjadi benteng yang kokoh bagi setiap peradaban umat manusia.

Baca Juga:  Penyelarasan Tasawuf dengan Syariat dalam Pemikiran Imam Al-Ghazali

Kita tentu saja bisa sepakat dengan apa yang disampaikan oleh walters, sebab faktanya dengan adanya kemajuan teknologi yang pesat ini banyak yang hilang dalam diri bangsa Indonesia. Banyak dari generasi kita yang sudah tidak mengenal lagi etika sosial antar sesama bahkan sampai dalam etika beragama.

Sehingga menurut Dr. KH. Ali. M. Abdillah Wakil Sekretaris komisi pengkajian dan penelitian MUI, bahwa untuk bisa mengendalikan atau paling tidak meredam ironi tersebut maka dibutuhkan tasawuf untuk bisa menempatkan kepada tempatnya yang semula.

Tasawuf menjadi sebuah penyejuk yang luar biasa dalam derasnya arus kehidupan modern, ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Menurut Kiai Ali dengan bertasawuf ditengah-tengah pusaran Ilmu pengetahuan dan teknologi ini bukan berarti manusia harus meninggalkan keduanya apalagi menolaknya. Akan tetapi tetap menerima dan tetap berada pada rel yang tepat yakni tetap berusaha untuk selalu merefleksikan hati kita kepada tuhan penguasa segalanya.

Baca Juga:  Kebatinan Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Sebuah Karya Sastra Agung “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

Sebab banyak orang yang salah sangka dan salah kaprah dalam mengartikan tasawuf. Contohnya ada sebagian orang yang bertasawuf dengan cara meninggalkan dunianya yaitu pekerjaan bahkan sampai keluarganya.

Akibatnya ia juga meninggalkan kewajiban terhadap keluarhanya anak istrinya. Menurut kiai ali hal ini tidak dibenarkan dalam bertasawuf dan termasuk kedalam kategori praktek yang salah kaprah.

Sebab seperti yang disampaikan oleh Abu Zakariya al-Anshari bahwa tasawuf adalah “Suatu sikap memurnikan hati dihadapan Allah SWT dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah“.

Maksud dari memandang rendah atau remeh ini tidak dalam arti yang sebenarnya. Maksudnya adalah agar manusia itu sadar bahwa sehebat apapun sesuatu itu tidak bisa melebihi Allah. Atau dalam konteks ini maka Sehebat apapun teknologi dan ilmu pengetahuan tetap tidak akan bisa melebihi keagungan dan kebesaran Allah SWT.

Dengan demikian seperti yang dikatan oleh KH. Sahal Mahfudh ada dua hal yang menjadi agenda manusia dihadapan tuhannya. Yang pertama adalah ketika seseorang ingin memasuki “daerah” Allah, maka ia diwajibkan untuk ma’rifatullah terlebih dahulu.

Baca Juga:  Ilmu Kasyaf, Penyingkapan Tabir Menemukan Isyarat Ilahiyah

Adapun yang kedua ketika seseorang ingin mencapai titik final perjalanannya maka satu-satunya hal yang patut dicita-citakan dan diharapkan adalah liqo’ullah (bertemu dengan Allah).

Rentang antara liqo’ullah dan ma’rifatullah inilah yang kemudian banyak melahirkan banyak tuntutan dan konsekuensi, sekaligus keterkaitan erat dari dan oleh manusia itu sendiri.

Bisa dikatakan jika teknologi sebagi sumber utama kelalaian manusia kepada Allah SWT, maka tasawuf menjadi sebuah pengikat dan pengingat manusia untuk kembali kepada Tuhannya.

Maka sebagai manusia yang mencoba untuk tetap beriman kepada Allah dalam pusaran ilmu pengetahuan dan teknologi ini, ada baiknya kita mencoba tasawuf untuk mengimbangi era kehidupan modern dan serba berkemajuan ini. Demikian semoga bermanfaat. Tabik.!

Fathur IM