Tasawuf Psikoterapi, Metode yang Dipercaya Mampu Menyelesaikan Masalah Psikologis Manusia

Tasawuf Psikoterapi, Metode yang Dipercaya Mampu Menyelesaikan Masalah Psikologis Manusia

Pecihitam.org- Islam merupakan agama yang mengajarkan nilai-nilai spiritual sehingga diyakini mampu menyelesaikan masalah-masalah psikologis manusia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dimensi Islam seperti iman, ibadah, mu‟amalah, akhlak, dan tasawuf memiliki metodologi tertentu yang secara sistematik dapat membantu manusia mewujudkan kesehatan mental.

Secara keilmuan, tasawuf psikoterapi ini berbasis ilmu tasawuf dan secara normatif implementasinya didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam alQur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Kualitas iman, ibadah, muamalah, akhlak dan terutama manhaj tasawuf psikoterapi yang sudah teruji akan dijadikan metode pembentukan manusia yang sehat secara mental. Kesehatan mental ini tercermin dalam ketenangan, ketenteraman dan keselarasan kehidupan baik antara diri, orang lain dan alam.

Islam adalah agama yang diturunkan kepada Muhammad SAW yang berupaya membangun umat manusia dalam mencapai kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup (Nasution, 1997: 23).

Islam memotivasi penganutnya untuk selalu dekat dengan Tuhan/Allah SWT dan senantiasa menciptakan hubungan yang baik di antara sesama manusia (hablun min al-nâs) serta tidak mengganggu dan menganiaya hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta (Madjid, 1992: 102).

Baca Juga:  Memahami Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Tinjauan Fikih dan Wewenangnya di Era Modern

Kualitas manusia semacam ini disebut dengan muttaqin yakni orang yang selalu berupaya menciptakan kemaslahatan umat manusia, memberi solusi atas persoalan-persoalan hidup dan berambisi membentuk komunitas yang damai dan penuh persaudaraan ( Najati, 2001: 235).

Ritual-spiritual melalui tasawuf secara metodologis berdimensi preventive (pencegahan), curative (pengobatan), constructive, dan rehabilitative (pembinaan) (Jaya, 1992: 15).

Ketika dimensi metodologis tersebut dikombinasikan dengan perilaku keberagamaan lain seperti jihad maka dapat melahirkan suatu motivasiinovatif yang dapat membentuk terapi keislaman (klinikal Islam) (Rahmat, 1999: 37).

Jihad dalam konteks bertasawuf menjadi serangkaian langkah-langkah tazkiyyah an-nafs (pembersihan dan penyucian jiwa) hati dan jiwa manusia yang telah dikotori dengan kekotoran duniawi.

Dalam konteks tasawuf, iman pun secara aplikatif dapat melahirkan arketif kesadaran, bahwa manusia selalu diawasi Allah SWT sehingga ia selalu berlaku jujur (Nurbakh, 1991: 13).

Secara psikologis orang yang mukmin/beriman mampu menekan hawa nafsunya untuk tidak berlaku negatif dan merusak. Ibadah dalam konteks sufistik juga berpengaruh positif terhadap kejiwaan seorang. Ia sebagai ‟âbid (hamba Allah) senantiasa beramal dengan penuh keikhlasan, kesungguhan, berkhidmat, bertawadhu‟, dan khusu‟ yang berdampak pada perilaku sehari-hari secara lebih baik (Ma‟luf, 1986: 483).

Baca Juga:  Keistimewaan Nabi Idris, Salah Satunya Ia Merupakan Orang Pertama yang Bisa Baca Tulis

Akhlak dan tasawuf merupakan iman yang termanifestasikan dalam kepribadian umat Islam yang patuh dan taat kepada aturan dan konsekuen dalam bertindak.

Muatan-muatan yang dimiliki akhlak-tasawuf dapat dijadikan sebagai langkah-langkah terapeutik (pengobatan) untuk menghasilkan kesehatan mental yang paripurna. Akhlak dan tasawuf juga mampu menyelaraskan hubungan antara Allah, manusia dan alam secara ekologis (Miskawaih, 1961: 19).

Al-Qur’an menyifati manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baik bentuk (Q.S. Al-Tin [95]: 4) serta makhluk yang mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya (Q.S.Al-Isra‟ [17]: 70).Manusia juga diberi sejumlah potensi yang baik maupun yang buruk (Q.S. Al-Syams [91]: 8).

Dalam proses menuju kesempurnaannya itu, manusia merupakan subjek yang sadar dan bebas menentukan pilihan; baik atau buruk, bajik atau jahat, taqwa atau fujr dan jalan yang menyebabkan dirinya terpelihara atau binasa.

Baca Juga:  Meneladani Akhlak Mulia Rasulullah Sebagai Suri Tauladan Yang Baik

Di bagian lain al-Qur‟an menyifati manusia sebagai makhluk yang dalam setiap perbuatan dan kehidupannya dilingkupi dengan ketergesa-gesaan (Q.S.Al-Isra‟ [17]: 11).

Jika tidak hati-hati, manusia pun dapat menzalimi dirinya dan orang lain serta ingkar kepada aturan Tuhannya (Q.S. Ibrahim [14]: 4). Dalam menjalani kehidupannya pun manusia cenderung berkeluh kesah (Q.S. Al-Ma‟arij [70]: 19).

Manusia dengan mudah dapat bertengkar dengan sesamanya (Q.S.. Al-Kahfi [18]: 54). Padahal di ayat lain, manusia itu adalah makhluk yang sangat dha‟îf. (Q.S. Al-Nisa’ [4]: 28).

Mochamad Ari Irawan