Bantahan bagi Mereka yang Menuduh Tawassul Sebagai Syirik, Kajian Kitab Mafahim (Bag. III)

Tawassul

Pecihitam.org– Tawassul merupakan salah satu praktik yang telah lama berlaku di lingkungan muslim Sunni. Namun belakangan, Tawassul kerap dituduh bid’ah bahkan syirik oleh kelompok-kelompok literal.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Meluruskan pemikiran kaum yang menuduh Tawassul sebagai bentuk penyembahan pada selain Allah, kali ini lagi-lagi kami ketengahkan kajian Kitab Mafahim Yajibu An Tushahha karangan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang akan membahas tentang pengertian Tawassul, dalil dan bentuk-bentuk Tawassul yang disepakati ulama.

Dan luar biasanya lagi, ketika membahas tentang Tawassul dalam Kitab Mafahim Yajibu An Tushahha, Sayyid Muhammad banyak mengutip perkataan Ibnu Taimiyah yang sepertinya melegakan Tawassul, bertolak belakang dengan Para pengikutnya kini yang koar-koar syirik jika disebutkan istilah Tawassul pada mereka.

Mari kita mulai!

Daftar Pembahasan:

Pengertian Tawassul

Menurut Sayyid Muhammad, banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu, ia menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan Islam.

Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah swt.

Maksud sesungguhnya adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintainya.

Jika ternyata penilaiannya keliru, niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.

Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izin-Nya, niscaya ia musyrik.

Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt.:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah ayat 186)

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra`aya 110)

Bentuk Tawassul yang Disepakati Ulama

Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih.

Barangsiapa yang berpuasa, shalat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya.

Baca Juga:  Tawassul Menurut Pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah

Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.

Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa.

Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut.

Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.

Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa al-Wasilah”.

Titik Perbedaan

Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan: “Ya Allah, aku bertawassul dengan Nabi-Mu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra.”

Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.

Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.

Kemudian beliau menjelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.

Beliau melanjutkan, Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut.

Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya.

Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt.

Atau karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah swt.:

“يحبّونهم ويحبّونه”

Atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.

Jika anda mencermati persoalan ini, maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul.

Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggung jawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.

Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepada-Mu dan berjihad di jalan-Mu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.”

Baca Juga:  Inilah Nama-Nama Kitab Maulid dari Abad ke Abad yang Perlu Kita Ketahui! (Bagian I)

Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.

Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu,” itu sama dengan orang yang mengatakan: “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu.”

Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi.

Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada, maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.

Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.

سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم

Dalil-dalil Tawassul yang Dipraktekkan Kaum Muslimin

Allah swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (QS. Al-Maidah ayat 35)

Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan.

Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.

Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.

Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.

Tawassul dengan Nabi Muhammad SAW Sebelum Wujud di Dunia

Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.

Dalam al-Mustadrak, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.”

Baca Juga:  Kitab Turats, Model Literasi Peradaban Islam Warisan Ulama Terdahulu

Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam.

“Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.

Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrak dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ).

Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih.

Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya.

Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62.

As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih.

Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” (Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.)

Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih.

Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.

Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain.

Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar.

Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits.

Faisol Abdurrahman