Thaharah dalam Pandangan Sufistik Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Thaharah dalam Pandangan Sufistik Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Pecihitam.org – Islam sangat konsen dalam hal kebersihan dan kesucian. Dalam bahasan teks fikih, tema Thaharah didedah paling awal. Seperti soal air suci (al-ma’u al-thaharah) yang layak untuk sarana ibadah, berwudlu (al-wudlu), mandi (al-ghusl), dan kategori najis (al-najasah), adalah dibahas pada bab-bab awal.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ini menunjukkan dalam beribadah hal mendasar yang amat perlu diperhatikan adalah soal kesucian. Selain alasan di atas, karena memang segala ibadah mahdhah dalam Islam mensyaratkan kebersihan dan kesucian badan. Terutama sekali adalah ketika hendak shalat sebagai ibadah keseharian.

Sebagaimana Nabi Rasulullah Saw. diutus terutama untuk menyempurnakan perangai baik (al-akhlaq), Islam tidak hanya menuntun pemeluknya untuk membersihkan jasad semata.

Sebagai makhluk dualis, memiliki jasad dan ruhani, manusia oleh Islam dituntut untuk pula memperhatikan kesucian batin-ruhani. Untuk itulah hadir disiplin tasawuf sebagai panduan khusus yang fokus membidik soal pembersihan dan kesucian batin.

Menurut Sufi Persia Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, thaharah terbagi dua yakni (1) thaharah dhahir dan (2) thaharah batin. Thaharah dhahir dilakukan menggunakan apa yang disebut beliau sebagai al-ma’u al-syari’ah, yakni air yang umum digunakan untuk thaharah seperti berwudlu.

Baca Juga:  Bolehkah Wudhu dengan Air yang Terciprati Air Musta’mal?

Sedangkan thaharah batin tidaklah menggunakan air yang kasat mata, melainkan menggunakan air pertaubatan (al-ma’u al-taubah). Air pertaubatan ini adalah analogi dari “meniti samudera tasawuf” dengan jalan thariqah (suluk al-thariqah).

Dalam pengertian fikih, wudlu seseorang akan batal apabila ia berhadats dan wajib baginya untuk berwudlu kembali dengan menggunakan air. Dalam dunia sufistik, kesucian itu akan batal sebab melakukan laku amal buruk (al-af’al al-dzamimah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-raddiyah). Akhlak tercela itu seperti rasa sombong (al-kibr), hasud (al-hasad), dan laku khianat kepada Allah (al-khianat).

Jika batalnya wudlu dalam perspektif fikih adalah bisa diperbaiki dengan berwudlu kembali menggunakan air, maka bagaimana jika wudlu batin itu batal?

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani mengurai bahwa jika wudlu dalam perspektif tasawuf (wudlu al-batin) batal, maka cara bersucinya adalah dengan keikhlasan bertaubat (ikhlashu al-taubah), mengakui kembali segala dosa (tajdid al-inabah) dan laku penyesalan (al-nadm) serta beristigfar kepada Allah Ta’ala.

Baca Juga:  Bagaimana Korelasi Tasawuf dengan Keilmuan? Berikut Penjelasannya

Dengan khazanah tasawuf, Islam sebetulnya bukan agama seremonial yang hanya berfokus pada amaliah dhahir yang tampak. Tasawuf melampaui soal halal-haram dan atau hitam-putih yang kerap menjadi akar perdebatan dalam internal Islam itu sendiri.

Dunia sufistik bukan berarti abai soal fikih: wajib, haram, sunnah, mubah, dan makruh. Namun, memang orientasi sufistik lebih dari sekadar hukum-hukum fikih. Sufistik bertitik fokus ihwal batin-ruhani.

Sebetulnya, jika belakangan ada sebagian muslim genjar bersuara soal “Islam kaffah”, maka berislam secara kaffah (menyeluruh) itu adalah bagaimana membangun sinergitas antara jasad dan ruhani.

Jangan sampai kita rajin ke masjid namun hati menyemai kesombongan dan kebencian. Jangan sampai lidah sering basah membaca al-quran, namun dalam hati menyimpan amat rapi rasa iri-dengki.

Dengan khazanah tasawuf pula Islam menemukan relevansi profetiknya. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Rasulullah Saw. adalah ciptaan paling dan amat sempurna, baik secara jasadi (khalqan) maupun batin-ruhani (khuluqan).

Baca Juga:  Kotoran Telinga Apakah Najis? Berikut Penjelasannya

Beliau berwajah tampan-indah, hatinya pun amat elok menawan. Melalui jalan sufistik, upaya untuk meneladani keelokan hati Nabi Muhammad Saw. ini menuai korelasinya.

Syahdan, thaharah atau kesucian bukan hanya bagaimana berwudlu dengan baik dan benar sesuai tuntunan syari’at. Lebih dari itu, thaharah adalah bagimana menjaga kesucian hati dari sifat-sifat tercela.

Jika dikatakan bahwa Nabi Rasulullah Saw. sehari semalam beristigfar hingga tujuh puluh kali, maka bagaimana dengan kita, umatnya?

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *