Tiga Kunci Kebahagiaan Hidup Menurut Imam Qasim al-Ju’i

kunci kebahagiaan hidup

Pecihitam.org – Berkah merupakan salah satu faktor penentu hidup seseorang. Dengan adanya keberkahan, kebahagiaan akan selalu menyertai orang tersebut. Walau bagaimanapun, bentuk keberkahan itu sulit dideteksi secara ilmiah namun secara dirasakan secara batiniah. Sehingga orang yang mendapat keberkahan dalam hidupnya, hatinya selalu dinaungi oleh rasa bahagia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nikmat belum tentu berkah, itulah pola kehidupan yang harus dipahami semua manusia. Terkadang manusia merasa hidup nikmat lantaran hidup mewah, mempunyai harta berlimpah, serta adanya jaminan pekerjaan tetap di masa tuanya.

Semua itu merupakan suatu kenikmatan namun belum tentu menjadi keberkahan. Bisa saja kenikmatan yang ia terima melalaikannya pada sujud yang selama ini ia jaga semasa susah. Dan bisa saja kenikmatan yang ia rasakan menimbulkan kecemburuan kepada makhluk lain, sehingga hidupnya menjadi terancam.

Imam Qasim al-Ju’i menjelaskan tentang kunci kenikmatan atau kebahagiaan hidup yang dirangkum dalam kitab Tarikh Madinah Dimasqi karya Ibnu Asyakir. Dalam kitab tersebut, Imam Qasim al-Ju’I menjelaskan tiga kunci kebahagiaan hidup. Dengan kunci tersebut maka kebahagiaan sejati akan dirasakan pelakunya.

Baca Juga:  Syawal, Bulan Peningkatan Kualitas Ibadah dan Amal Shaleh

Pertama, bersifat qonaah (merasa cukup).

Qonaah bisa diartikan sebagai sikap merasa cukup atas pemberian sang Pencipta, dan menjauhkan dirinya dari sifat tidak puas dan merasa kurang dari nikmat yang telah diberikan Tuhan. Orang yang bersifat qonaah, selalu menyandarkan hidupnya pada ketetapan-ketetapan yang digariskan Allah swt.

Dia tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Tuhan atas pemberian yang ia anggap kurang. Dengan sikap tersebut, tidak ada lagi keganjalan dalam hati. Tidak ada lagi beban pikiran atau menghitung-hitung pemberian Allah swt kemudian merasa kurang.

Hidupnya akan senantiasa diliputi rasa husnudzon (prasangkan baik) kepada Allah swt. Hatinya selalu mempunyai keyakinan lebih akan hal-hal baik yang diberikan Allah swt walaupun hidupnya di mata manusia serba kekurangan.

Kedua, selalu menjaga kesehatan jasmani maupun rohani.

Kesehatan adalah awal berlakunya semua kegiatan manusia. Tanpa adanya kesehatan, manusia akan menjadi manusia yang pasif. Manusia tidak akan bergerak dari tempatnya semula. Sehingga konsep kemanfaatan yang menjadi acuan utama umat Islam tidak akan bisa dijalankan.

Baca Juga:  Persamaan Hak Perempuan dan Laki-laki dalam Al-Quran

Oleh karenanya, kesehatan perlu senantiasa dijaga. Misalnya aktif bergerak dan melakukan olahraga yang membuat badan senantiasa terjaga kebugarannya. Berpikiran positif dan menjaga kedekatan dengan Allah swt. Nilai kesehatan akan selalu linier dengan nilai rohani dan usaha besar menjaga kebugaran.

Hilangnya salah satu nilai dapat menyebabkan ketidakseimbangan tubuh. Orang yang mengutamakan olah jasmani tanpa melakukan olah rohani hidupnya akan ditimpangi oleh kegelisahan-kegelisahan dalam hati.

Begitu sebaliknya, orang yang melakukan olah rohani namun meninggalkan olah jasmani bisa menyebabkan tubuhnya loyo. Keduanya harus seimbang agar kesehatan bisa didapatkan.   

Ketiga, menjaga dalam kehidupan beragamanya.

Dalam prakteknya, seseorang yang sudah ahli dalam kehidupan dunia melalaikan konsep-konsep keagamaan yang sudah tertanam sejak kecil. Ia menerobos pintu kemaksiatan yang berujung kesia-siaan pada hidupnya.

Hidupnya hanya dipenuhi hawa nafsu, dimana setiap perintah yang dikeluarkannya akan senantiasa diikuti dan berujung kepada kesengsaraan. Dengan begitu, ajaran agama harus benar-benar dijunjung keberadaanya.

Tidak boleh misal menggunakan kesuksesannya untuk tindak kemaksiatan. Atau menggunakan kepintarannya untuk memperdaya seseorang. Memang pada awalnya ia akan mendapatkan banyak keuntungan dari hasil buruknya itu. Namun setelah beberapa lama, berbagai hal buruk akan menimpanya. Misalnya ia tidak akan dipercaya lagi oleh semua orang.

Baca Juga:  Ini Konsep Buruh dalam Fiqih Yang Harus Kita Pahami

Jika ketiga kunci tersebut berhasil dilaksanakan, bisa dipastikan hidup seseorang akan selalu dilimpahi kebahagiaan. Itulah kebahagiaan sejati, dimana tidak ada lagi kesengsaraan yang akan menimpa dirinya kecuali jika Allah ingin menguji dirinya. Maka, beruntunglah orang-orang yang mengamalkan tiga pokok ajaran ini.

Muhammad Nur Faizi