Benarkah Tinta Ulama Lebih Utama daripada darah Syuhada?

tinta ulama

Pecihitam.org – Ada satu riwayat hadis dari Nabi saw yang membandingkan timbangan antara tinta ulama dengan darah syuhada. Bunyi hadisnya seperti ini:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

وزن حبر العلماء بدم الشهداء فرجح عليه[1]

Artinya: menimbang tinta ulama dengan darah syuhada, tinta ulama itu lebih berat

Hadis ini dinilai dhaif oleh oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah. Al-Khathib juga melemahkan hadis ini. Kata beliau seluruh tokoh periwayat hadis tsiqah selain Muhammad bin al-Hasan. Di tempat lain al-Khatib mengatakan Muhammad bin Ja’far tidak tsiqah.

Sebagian ulama tidak mempermasalahkan hadis daif apalagi yang tidak menyangkut Aqidah. Ahmad bin Hambal lebih memilih hadis daif daripada menggunakan ra’yu. Selain itu, ada kemungkinan matan hadis tersebut sahih tetapi karena rawi/periwayatnya dianggap lemah atau tidak tsiqah sehingga menyebabkan hadis tersebut menjadi Daif.

Bisa dikatakan matan hadis ini sahih, walaupun kesahihan matan tidak dapat menolong kelemahan periwayat. karena hadis hanya bisa dianggap sahih bila sanadnya juga dianggap sahih.

Tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada, kenapa bisa? Bukankah kesyahidan syuhada sudah menunjukkan perjuangannya?

Baca Juga:  Belajar Dari Kisah Gusdur Menyikapi Bendera Bintang Kejora

Tinta ulama itu bermakna tulisan ulama, sementara darah syuhada bermakna mati di medan perang. Sebagian ulama mati tanpa meninggalkan tulisan sehingga ilmunya hilang bersama dengan kematiannya. Syuhada pun demikian tanpa meninggalkan tulisan.

Ulama yang sejati matinya syahid, dimana pun ia mati dan dalam kondisi apapun. Jadi tanpa “ikut” berperang pun ia sudah mendapatkan kesyahidan. Dengan ilmu yang ia miliki, ia ajarkan kepada setiap manusia, ia terangi umat dengan cahaya ilahi. Ia bebaskan umat dari belenggu perbudakan.

Seorang ulama sejati matinya syahid, tetapi lebih utama lagi bila ia meninggalkan tulisan dan ini akan berbeda dengan ulama yang tidak meninggalkan tulisan apapun. Betul ia habiskan umurnya untuk menegakkan kalimat Tauhid namun perjuangannya ia tidak abadikan dalam tulisan.

Mungkin ada yang bertanya, “kalau begitu bisa jadi ulama yang menulis lebih utama dari Nabi saw sebab ulama meninggalkan tulisan sementara Nabi saw tidak? Sepintas memang pertanyaan ini beralasan tetapi pada hakikatnya keliru.

Baca Juga:  Tinta Ulama Laksana Darah Para Syuhada'

Nabi Muhammad saw itu “ma’sum” terjaga dari dosa sekaligus meninggalkan “tulisan” apa yang ia tinggalkan? Beliau meninggalkan al-Qur’an, meninggalkan hadis dan melahirkan generasi demi generasi. Ini bukanlah perbandingan yang sepadan, antara ulama dengan Nabi saw itu ibarat baina samai wa sumur antara langit dan sumur. Jauh sekali.

Idealnya seorang ulama adalah yang menyatukan tinta dengan darah. Sebagaimana ulama-ulama terdahulu. Dalam catatatn sejarah, para ulama itu tercatat keluar masuk penjara karena meneriakkan kebenaran dan tentu saja itu mengganggu para penguasa zalim pada masanya.

Sayyid Qutub, Muhammad Abduh, Ali Khamenei, Murtadha Muthahhari, Pangeran Dipanigoro, Kyai Modjo, Imam Bonjol, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal.

Adapun mereka yang dianggap sebagai ulama, namun tidak semua meninggalkan tulisan, ilmunya ibarat hilang bersama kematiannya. Tetapi mereka yang meninggalkan tulisan, semangat perjuangannya masih terus dibaca dan memberi inspirasi terhadap umat Islam setelahnya.

Baca Juga:  Sejarah Jilbab, Dari Budaya Jazirah Arab Hingga Pernah Dilarang Orde Baru

Seperti Sayyid Qutub dengan karya monumentalnya Fi Zhilal Al-Qur’an, Ibn Taimiyah dengan karya besarnya Majmu Fatawa, Imam Ahmad dengak karya hadisnya Musnad-nya, Imam Syafii, Abduh, Ali Khamenei, Murtadha Muthahhari, Ali Syariati, KH. Hasyim Asy’ari, Gus Dur, KH. Ali Mustafa Yaqub dan ulama-ulama lainnya. Kata KH. Ali Mustafa Yaqub,  “karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa, sementara penulisnya hancur terkubur di bawah tanah.


[1] Alauddin Ali bin Hisam al-Din al-Muttaqi al-Hindi al-Burhan Fauri w.975H (Cet.V; t.tp: Muassasah al-Risalah, 1401H), h.141. Jalaluddin al-Suyuthi, Jami’ al-Ahadits (Maktabah Syamilah), h.443.

Muhammad Tahir A.