Tradisi Saprahan; Makan Bersama ala Masyarakat Melayu

Tradisi Saprahan; Makan Bersama ala Masyarakat Melayu

PeciHitam.org – Banyaknya suku, budaya dan agama di Indonesia merupakan kekayaan khazanah yang luar biasa. Hal ini sekaligus menciptakan berbagai tradisi di masyarakat yang dipelopori oleh ketiga hal tadi. Salah satunya ialah tradisi saprahan atau makan bersama di Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tradisi semacam ini di daerah lain juga ada, namun dengan nama dan ketentuannya pun yang berbeda. Seperti megibung di Bali, bancakan di Sunda, Jabelan di Banyumas, dan sebagainya. Tradisi-tradisi tersebut sama dalam hal makan Bersama, namun berbeda dalam pelaksanaan dan ketentuannya.

Tradisi Saprahan ini melekat dalam setiap acara yang melibatkan makanan sebagai acara utamanya. Seperti Sya’banan, Buka Puasa Bersama, Rajaban, tasyakuran pernikahan dan sebagainya.

Tradisi saprahan konon berasal dari adat istiadat Melayu yang diambil dari kata dalam bahasa Arab. Menurut kepercayaan masyarakat setempat berarti sopan santun, atau kebersamaan yang tinggi.

Tradisi ini mengandung semangat ‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’. Sebab tidak memandang siapapun dan apapun pangkat dan jabatannya, mereka diharuskan duduk bersama bersila kaki untuk menikmati hidangan makanan yang terlah dihidangkan.

Kata Saprah sendiri memiliki arti berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara lesehan atau bersila secara berkelompok dalam satu barisan. Biasanya satu kelompok terdiri dari enam orang yang duduk saling berhadapan sebagai suatu kebersamaan.

Pada prinsipnya tradisi saprahan adalah tradisi adat rumpun Kerajaan Melayu, termasuk di Sambas. Tradisi ini juga berlaku di Pontianak, Singkawang, Mempawah, atau daerah lain yang masih kental budaya Melayu.

Berkaitan dengan tata cara makan, tidak ada aturan tertulis untuk tata cara makannya, menghidang, dan menu hidangan yang sedianya disajikan, tetapi tetap ada etika dan kekhasan yang dijaga.

Khusus saprahan di Sambas, sajian saprahan tetap ada menu nasi sebagai menu utama. Selain menu utama itu, terdapat lauk-pauk sapi, ikan, dan sayur-mayur.

Biasanya, saprahan diadakan ketika ada acara pernikahan, syukuran, atau selamatan maupun tahlilan. Tamu yang hadir di acara saprahan biasanya diundang oleh yang punya hajat, atau tetua kampung secara lisan. Mereka menyebutnya dengan istilah nyaro. Istilah nyaro ini berasal dari kata saroan yang artinya memanggil atau mengundang.

Baca Juga:  Tradisi Ya Qowiyu; Warisan Ki Ageng Gribig dari Klaten

Meskipun budaya sudah semakin maju, termasuk adanya media komunikasi melalui smartphone. Bisa jadi undangan pun sudah menggunakan media ini.

Namun, di kampung dagang timur Sambas, yakni sebuah kampung yang berada di sisi kiri Sungai Sambas, Kota Sambas, tradisi ‘nyaro’ itu masih kuat sekali. Demikian pula yang ditemui hampir di semua daerah pantai utara terutama di desa-desa, dusun, atau perkampungan di Sambas.

Sebagai sebuah tradisi, Saprahan yang berupa jamuan makan yang melibatkan banyak orang dan duduk dalam satu barisan, saling berhadap-hadapan, serta duduk satu kebersamaan, tentu mengingatkan kita pada filosofi berat sama dipikul, ringan sama dijinjing atau berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Filosofi itu tepat untuk menggambarkan kebersamaan dan semangat gotong-royong masyarakat Sambas yang hingga kini masih terjaga dengan baik. Ya hidangan yang tersaji akan disantap bersama-sama kelompok, membentuk seperti lingkaran bola, atau memanjang dalam persegi panjang dan tidak terputus.

Menariknya lagi sajian yang disantap tidak menggunakan sendok, tetapi menggunakan tangan (disuap). Sedangkan untuk mengambil lauk-pauknya dilakukan menggunakan sendok.

Tradisi budaya saprahan memang tidak terlepas dari semangat gotong-royong. Misalnya, dalam hajatan perkawinan. Tentu untuk menggelar hajatan itu butuh tenaga kerja. Nah, di sinilah warga kampung kemudian keluar bersama sebagai wujud gotong-royong itu.

Adapun menu makanan yang dihidangkan dalam saprahan, biasanya berupa ayam masak putih, daging sapi masak kecap, kulit sapi (kikil) dimasak kacang, sop, telur, nanas dimasak manis dan lain-lain.

Daftar Pembahasan:

Ketentuan Tradisi Saprahan dan Makna Filosofisnya

Tradisi Nyaprah atau Saprahan ini bukan hanya sekedar kumpul makan bersama. Namun ada hal yang perlu diperhatikan dalam perlaksanaannya, antara lain:

Pertama, satu kelompok makan terdiri dari 6 orang, tidak kurang dan tidak lebih. Jika ada lebih dari 6 orang maka orang yang terakhir dating harus menunggu hingga terkumpul sebanyak 6 orang lagi.

Pentingnya jumlah 6 orang dalam satu kelompok makan tersebut memiliki makna filosofis yang menyimbolkan rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim.

Baca Juga:  Buya Hamka: Saya Qunut Subuh dan Ikut Maulid Setelah Baca 1000 Kitab

Kedua, jumlah lauk terdiri dari 5 macam lauk berbeda yang dihidangkan dengan lima piring. Hal ini juga memiliki makna filosofis tersendiri, yaitu sebagai simbol rukun Islam yang lima.

Ketiga, untuk megambil lauk digunakan dua sendok yang memiliki makna filosofis yaitu sebagai simbol dua kalimat syahadat.

Tak hanya itu, para tamu yang hadir biasanya juga membawa wadah rantang plastik yang digunakan untuk membawa beras bagi sahibul hajat. Wadah tersebut juga digunakan untuk membawa sisa lauk saprahan yang masih layak dimakan agar tidak mubazir.

Bentuk dan Jenis Saprahan

Perlu diketahui bahwa ada dua bentuk Saprahan antara lain sebagai berikut:

Saprahan Memanjang

Sebagaimana namanya, saprahan memanjang berdasarkan bentuk sajian makanan yang disusun, disajikan diatas kain yang memanjang, sepanjang ruangan yang disiapkan.

Tamu duduk secara berhadapan ditengah-tengahnya sajian yang telah disediakan. Mengapa disebut Saprahan memanjang, karena bentuknya yang memanjang seperti persegi panjang.

Saprahan Pendek

Disebut sebagai saprahan pendek karena hanya membentangkan atau menghamparkan kain saprahan yang ukuranya 1×1 meter saja dan di atasnya hamparan kain tersebut diletakan sajian makanan yang akan disantap para tamu (khusus undangan).

Terkadang ada juga yang tidak pakai kain, tetapi diletakkan dirumah-rumah tapi berbentuk lingkaran. Setiap saprahan pendek dihadapi oleh 6 (enam) orang setiap saprahan.

Dengan cara membentuk lingkaran seperti bola, saprahan bentuk pendek ini yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Sambas sampai saat ini, baik di kota maupun di desa-desa.

Saprahan pendek ini masih dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, antara lain:

Saprahan Bulat

Model saprahan ini, berlangsung di atas hamparan kain saprah yang ukuranya 1×1 meter saja. Di tengah kain saprahan itu diletakkan pinggan saprahan, tempat nasi dikelilingi oleh lauk-pauk dan diteruskan dengan pinggan nasi.

Di ujung sebelah depan diletakkan batil dan gelas tempat mencuci tangan sebelum makan, dan di sebelah belakang diletakkan tempat iar minum.

Baca Juga:  Kritik Gus Dur Terhadap MUI (Majelis Ulama Indonesia)

Saprahan Membujur dengan Alas Saprah

saprahan ini beralaskan kain saprahan 1×1 meter, di tengah alas kain diletakkan lauk-pauk dalam piring. Diujung saprahan diletakkan pinggan saprahan dan bergandengan dengan air cuci tangan di dalam batel atau tempat air. Disamping piring lauk diletakan pinggan-pinggan tempat nasi yang akan diisi nasi dan lauk-pauk sesuai dengan selera masing-masing.

Saprahan Membujur dengan Alas Baki

Adalah saprahan dengan susunan seperti Pinggan saprah atau tempat nasi diletakkan di atas sekalian bergandengan dengan dengan batel air cuci tangan, diikuti dengan baki besar yang berisi lauk-pauk.

Diletakkanlah pinggan ditengah-tengah, dikiri kanan baki diletakkanlah lauk-pauk sebanyak 6 buah dan duujung diletakan baki cawan air minum.

Terakhir yang ingin kami sampaikan bahwa Tradisi Saprahan memang boleh dikatakan sebagai tradisi yang berangkat dari nilai-nilai Islam. Makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-anak ini ternyata juga memiliki dasar, yaitu dari hadis Rasulullah berikut:

اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ

“Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3764)

Selain mencari keberkahan dalamnya, makan bersama semacam ini juga bertujuan menjaga dan memelihara hubungan silaturahmi antar tetangga dan kerabat. Mengenal lebih dekat dan menjalin hubungan kekeluargaan yang kental.

Sebab tetangga ialah saudara terdekat kita. Orang yang pertama kali dapat dimintai tolong ketika ditimpa suatu musibah. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq