Tragedi Karbala dan Sikap Muslim Sejati dalam Menanggapinya

tragedi karbala 10 muharram 61 h

Pecihitam.org – Menjelang wafatnya Muawiyah bin Abu Sufyan, dia sempat meluangkan waktu sibuknya -dalam menjalankan roda pemerintahan- untuk berkhutbah dihadapan masyarakatnya:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Wahai umat muslim, ketahuilah! Sungguh setiap orang yang mau menebar benih kebaikan di muka bumi ini pasti akan menuai hasilnya.”

“Dan aku sungguh telah menuntaskan urusan pemerintahan ini.”

“Maka setelahku tidaklah akan lebih baik dariku, karena tidaklah berputar roda zaman kecuali zaman setelahnya lebih buruk dari sebelumnya.”

“Karena seperti itulah ketentuan Rasulullah di dalam haditsNya.”

Setelah berkhutbah di hadapan khalayak umum, Muawiyah ingin menyampaikan suatu wasiat kepada anaknya Yazid:

“Wahai Yazid jika nanti tiba ajalku, suruhlah orang yang ahli fiqh untuk memandikanku.”

“Karena Allah lebih memuliakan ahli fiqh dari selainnya.”

“Wahai anakku, jika nanti tiba ajalku ambillah secarik kain yang aku letakkan di lemari.”

“Jadikan kain bekas baju Rasulullah itu sebagai kafanku, dan taruhlah seikat kain yang di dalamnya sebuah rambut dan kuku Rasulullah didalam kafanku.”

“Wahai Yazid, tetaplah kamu berbakti kepada orang tua.

“Maka ketika kau letakkan jasadku ini di liang lahat, cepatlah kamu selesaikan.”

“Biarkan aku (Muawiyah) sendiri menghadap Dzat Maha Pemurah.”

“Wahai Yazid, perhatikan Husein! Ia adalah orang yang paling dicintai muslimin.”

“Sambunglah tali silaturahmi dengannya, karena dengan begitu segala urusanmu akan lancar.”

“Jangan sampai terulang kejadian yang telah menimpaku (aku telah membelot atas perintah ayah dan saudaranya).”

Lantas ketika datang waktu ajalnya, Muawiyah berdoa seraya menangis:

“Wahai Allah, sungguh kau akan mengampuni seluruh hamba yang tidak menyekutukanMu. Maka limpahkanlah ampunanMu itu kepada hambaMu ini.”

Telah wafat Muawiyah sahabat rasul pada: malam Jumat, 8 Rajab tahun 60 Hijriah di kota Damaskus, Syiria, dengan Yazid sebagai imam di sholat jenazahnya.

Ahli tarikh berbeda pendapat dalam memvonis sebab kematian dari Muawiyah sendiri.

Sebagian berpendapat: karena Muawiyah mengidap penyakit ”lauwqah” (penyakit yang disebabkan karena kelebihan zat lemak dalam tubuh).

Daftar Pembahasan:

Profil Singkat Yazid Putra Mahkota Dinasti Umayyah

Yazid adalah anak dari Muawiyah bin Abi Sofyan. Adapun ibu dari Yazid adalah Maysun binti Bahdal bin Aniyf yang merupakan salah satu dari istri Muawiyah.

Ahli tarikh bertutur: “Maysun termasuk wanita yang memiliki paras nan cantik, martabat yang mulia serta tekat dan usaha yang kuat.”

Karena sebab inilah Allah karuniakan anaknya Yazid sebagai pengemban roda pemerintahan dinasti Umayyah setelah kematian ayahnya.

Sengketa Politik dalam Penentuan Khalifah setelah Muawiyah

Setelah berita kematian Muawiyah tersebar ke seantero jagat, muncul percikan politik yang di sebabkan pembaiatan serta pemberian jabatan dinasti Muawiyah kepada anak dari Muawiyah: “Yazid”.

Sontak keputusan ini mengundang amarah serta penolakan dari mayoritas Ahlu bait dan para pembesar sahabat yang masih hidup.

Di karenakan sosok dari Yazid yang tidak pantas untuk mengemban pemerintahan di karenakan gaya hidup serta usia yang dikatakan masih dini.

Tak heran juga, Rasulullah pun jauh-jauh hari sudah memprediksi kejadian ini. Dalam haditsnya yang diriwayatkan Rowyani di kitab Musnadnya, dari Abu Dzar dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

(( أول من يبدل سنتي رجل من بني أمية يقال له: يزيد ))

“Orang pertama yang akan menentang sunnahku ialah seorang lelaki dari Bani Umayyah yang bernama: ‘Yazid’.”

Hal inilah yang menjadi sebab penolakan mayoritas Ahlul bait untuk menerima dan membaiat Yazid sebagai Khalifah pengganti.

Sosok yang tidak setuju atas keputusan ini adalah: Sayidina Husen, Sayidina Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas serta Abdullah bin Abu bakar.

Atas dasar penolakan ini, amarah dari Yazid yang saat itu ada di Irak mulai menggebu.

Adapun Sayidina Husen dan Abdullah bin Zubair memutuskan untuk meninggalkan Madinah dan pergi ke Mekkah sebagai penentangan atas diangkatnya khalifah tersebut.

Mereka berdua memasuki Makkah pada malam Jumat, 3 Sya’ban tahun 60 Hijriah dan memutuskan bermukim di sana sampai nanti keberangkatannya ke Irak pada hari Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah 60 Hijriah.

Utusan Sayyidina Husen Berangkat ke Irak

Setelah kematian Muawiyah dan diangkatnya putranya sebagai khalifah, silih berganti berita dan surat dari penduduk Irak terkirim kepada Sayidina Husen.

Isi berita tersebut intinya: “Mengajak dan membujuknya untuk mau datang ke Irak dan berjanji untuk mengangkatnya sebagai khalifah pengganti Yazid, serta menjelaskan terjadinya perpecahan kaum muslimin di Irak yang tak akan teratasi kecuali dengan kehadiran Sayidina Husen.”

Menanggapi masalah ini, Sayidina Husen tak tinggal diam maka di utuslah Muslim bin Aqil (sepupu dari Sayidina Husen) ke Iraq untuk memastikan kebenaran kabar ini.

Baca Juga:  Menggapai Hakikat Haji, Meraih Predikat Mahabbatullah

Jikalau memang benar adanya maka tindakan yang di ambil adalah Sayidina Husen beserta seluruh keluarga dan para pembantu akan berangkat ke Kufah untuk mencari bantuan, jikalau pemerintah pihak Irak tidak menerima kehadirannya.

Atas dasar perintah, berangkatlah Muslim bin Aqil dengan membawa 2 orang penunjuk jalan yang nantinya mereka berdua mati di perjalanan karena kehausan.

Karena sebab itulah Muslim meminta izin kepada Husen untuk merubah tujuan ke Kufah untuk meminta informasi lebih dalam kepada penduduk setempat terkait berita tentang penduduk Irak.

Tibanya Muslim bin Aqil di Kuffah

Sesampainya Muslim di Kufah, dan memutuskan untuk sementara tinggal di rumah salah seorang penduduk bernama Muhtar bin Abi Ubaid. Mendengar kedatangan Muslim ini, lantas penduduk Kufah berkumpul untuk mendatanginya.

Dihadapan Muslim bin Aqil, mereka bersaksi: akan melindungi serta mengangkat Sayidina Husein sebagai pengganti Khalifah, serta siap mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk menolong Sayidina Husen beserta Ahlu bait.

Para ahli tarikh mentaksir jumlah keseluruhan mereka saat itu berkisar 18.000 orang.

Dengan ini Muslim bin Aqil pun menyampaikan kabar baik ini kepada Sayyidina Husen bahwasanya penduduk Kufah telah bersatu atas baiat dan persatuan kaum Muslimin melawan kedzaliman.

Setelah mendengar kabar ini maka segeralah Sayidina Husen beserta Ahlu bait berangkat menuju Kufah.

Terbunuhnya Muslim bin Aqil

Pemimpin Kufah saat itu, yaitu Ubaidillah bin Ziyad mendengar berita tersebut lantas meminta keputusan kepada khalifah Yazid atas hal tersebut.

“Cari Muslim bin Aqil, kalau bisa bunuh dia!” suruh Yazid kepadanya.

Adapun Muslim yang saat itu bersembunyi di Rumah seorang bernama Hani’ bin Urwah lebih memilih untuk terus memberi pesan kepada penduduk Kufah untuk terus menjaga persatuan dan menghindari perpecahan dalam menghadapi masalah ini.

Waktu demi waktu terciumlah keberadaan dari Muslim, atas laporan seorang budak dari Bani Tamim yang saat itu melihatnya di rumah Hani’.

Tak lama kemudian Ibn Ziyad pun beranjak dari kantornya untuk menemui Hani’ atas hal tersebut.

Akan tetapi Hani’ tetap bersikukuh untuk tidak memberitahukan keberadaan Muslim, tetapi Ibn Ziyad terus memaksanya dan setelah putus asa akhirnya Ibn Ziyad pun memukul dan menamparnya hingga tercucur darah dari hidungnya kemudian memenjarakannya.

Setelah mendengar berita ini, Muslim pun mengumpulkan para penduduk Kufah untuk melawan kedzaliman ini sejumlah 4000 pasukan di bawah Panji berwarna hijau dan merah.

Maka berangkatlah mereka semua menuju kantor dari Ibn Ziyad.

Tetapi Ibn Ziyad tak tinggal diam atas hal tersebut maka ia mengutus sekelompok orang untuk pergi kepada penduduk Kufah untuk mengancam mereka atas tindakan menolong Muslim bin Aqil, serta memberikan ultimatum kepada mereka dengan pembunuhan.

Karena sebab itulah tidaklah tersisa dari pasukan Muslim kecuali hanya 30 orang saja yang nantinya mereka pun meninggalkan Muslim sebatang kara untuk menghadap Ibn Ziyad.

Muslim memutuskan untuk singgah di salah seorang rumah penduduk yang bernama Taw’ah untuk setidaknya makan sesuap demi menghilangkan rasa laparnya.

Setelah mengintai keberadaan Muslim, maka Ibn Ziyad pun mengutus bala tentaranya yang saat itu berjumlah 80 penunggang kuda untuk mengepung rumah itu.

Pasukan Ibn Ziyad meringsek untuk masuk ke dalam rumah, tapi Muslim sendiri berhasil memukul mundur mereka dari dalam rumah. Sampai terjadi perlawanan di luar rumah yang tak adil.

1 lawan 80, Muslim sendirian melawan bala tentara dari Ibn Ziyad, pertemuan awalnya sempat sengit dengan perlawanan Muslim, tetapi akhirnya Muslim takluk atas pasukan ini dengan bersimpuh darah di wajah serta bibirnya.

Kekalahan pun tak dapat dihindari. Akhirnya diseretlah Muslim untuk menghadap Ibn Ziyad dan akhirnya ia pun terbunuh oleh Ibn Ziyad.

Tetapi sebelum terbunuhnya Muslim, ia sempat mengutus utusan yang bernama Iyas bin Abbas untuk memberi kabar kepada Husen beserta Ahlu bait untuk tidak pergi ke Kufah karena penduduknya telah menipu, berdusta dan membunuhnya.

Nantinya pesan ini akan sampai kepada Husen setelah keberangkatannya dari Mekkah, dan sampainya dia di daerah bernama Zabalah (jarak perjalanan 4 malam ke Kufah).

Keberangkatan Husen dan Ahlul Bait ke Iraq

Setelah mendengar kabar baik dari Muslim, berangkatlah Husen beserta Ahlu bait menuju Irak pada hari Tarwiyah (sehari sebelum terbunuhnya Muslim).

Penduduk Mekkah sempat melarangnya untuk berangkat ke sana setelah apa yang terjadi terhadap Ayah dan Saudaranya (Hasan).

Silih berganti kerabat dan para sahabat mencegah Sayyidina Husen untuk berangkat ke Irak, karena penduduk Irak terkenal pemberontakan dan pengkhianatannya.

Baca Juga:  Bahasa Arab; Asal-Usul, Ragam Dialek Hingga Hubungannya dengan al Quran

Ibn Abbas berkata : “Wahai sepupuku, kau memutuskan pergi ke Irak padahal penduduknya telah berkhianat dan membunuh ayahmu?”

“Aku ingatkan kamu jangan sampai kau pergi ke sana.”

Husen berkata : “Segala ketentuan Allah pasti akan terjadi.”

“Berperang di sana lebih aku suka daripada aku harus berperang di tanah suci ini (Mekkah).”

Lantas beliau berkata: “Sesungguhnya aku telah bermimpi kakekku (Rasulullah).”

“Beliau menyuruhku untuk berangkat ke Irak.” “Menegakkan kebenaran serta menghentikan kekacauan dan perpecahan kaum muslimin ini.”

Akhirnya Husen tetap memutuskan untuk pergi ke Kufah. Sambil membaca ayat:

لي عملي ولكم عملكم

“Bagiku keputusanku, bagi kalian keputusan kalian.”

Pertemuan Hisen dan Ibn Ziyad di Karbala

Dalam perjalanan ini, pasukan Husen menarik perhatian kabilah-kabilah yang ada di jalan yang ia lalui, hingga tidaklah setiap kabilah yang menghadap kepadanya kecuali hanyalah untuk memberinya kabar buruk tentang penduduk Irak dan berita terbunuhnya Muslim bin Aqil.

Akan tetapi Husen tak gentar dengan berita ini dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Mendengar berita sampainya Husen beserta pasukannya di daerah Karbala, akhirnya dia pun mengutus bala pasukan yang berjumlah 4000 lebih untuk berperang.

Pasukan ini dikomando oleh Umar bin Sa’ad. Sebelum terjadi peperangan, sempat ada dialog singkat antara keduanya:

“Wahai Umar, aku ingin mengajukan 3 pilihan kepadamu, maka pilihlah salah satu!”, berkata Husen.

“Apa itu?”, jawab Umar selaku komandan divisi.

“Tinggalkan aku beserta keluargaku untuk pulang, atau bawalah aku untuk menemui Yazid agar aku sendiri yang menyelesaikan urusan ini dengannya, atau pilihan terakhir aku akan mengumumkan perang dengan pasukannya.” tukas Husen.

Akhirnya Umar melaporkan masalah ini kepada Ibn Ziyad selaku gubernur Kufah. Sebenarnya Umar sendiri merasa berat hati untuk melanjutkan peperangan ini.

Hingga sosok antagonis di dalam kisah ini yaitu: “Syamr bin Dzil Jawsyan” bergairah untuk meneruskan peperangan ini, dan akhirnya ia lah yang ditunjuk Ibn Ziyad sebagai ganti dari Umar.

Sebenarnya Sayidina Husen sendiri tetap bersikukuh untuk tidak meneruskan peperangan ini, akan tetapi Syamr terus memaksanya untuk melakukannya:

“Wahai Husen, aku tidak akan melepaskanmu kecuali setelah kamu mau mengakui kepemimpinan Yazid bin Muawiyah.” celoteh Syamr

“Apa kalian tidak takut kepada Allah? Apa karena setumpuk uang yang membuat kalian lupa? Tidaklah aku menerima kedzaliman ini semua.” jawab Husen.

Hingga perdamaian pun tak menemui celahnya, peperangan pun tak dapat di elakkan.

Perang Karbala antara Pasukan Sayyidina Husen dan Ibnu Ziyad

1000 orang prajurit berkuda, pasukan Ibn Ziyad berusaha mengepung pasukan Sayyidina Husen. Pasukan Husen yang jumlahnya saat itu tak sebanding dengan pasukan Ibn Ziyad pun tak gentar sedikitpun.

Jiwa patriotisme yang ia warisi dari ayahnya terlihat di peperangan ini, terbukti ketika Husen mulai mengatur pasukan dan mengangkat Abbas bin Ali (saudaranya) sebagai pemegang panji serta menyuruh pasukan untuk menggali parit di belakang markas agar musuh tak dapat mengendap dari belakang.

Tak heran bukankah dia seorang anak dari “Ali bin Abi Thalib” panglima tempur kebanggaan Islam.

Seluruh lelaki dari Ahlu bait hampir ikut andil dalam peperangan ini, hingga anaknya sendiri Ali bin Husein yang saat itu sedang sakit rela berkorban demi menegakkan Panji sang ayah. Termasuk dari kebiasaan perang ialah “Mubarazah” yaitu pertarungan satu lawan satu.

Kedua kubu telah menyiapkan algojo mereka masing2, tetapi kali ini pasukan Husen lebih unggul dari Ibn Ziyad karena mereka memiliki keahlian lebih dalam memainkan pedang.

Geram melihat hal ini, Syamr (tokoh antagonis dalam kisah ini) pun memacu kudanya untuk menyerang Husen yang saat ini sedang mendoakan salah satu pasukannya yang gugur.

Tapi pasukan berkuda Husen membalas serangannya dan menggagalkan keinginannya. Perang antara keduanya pun meletus.

Gugurnya Sayyidina Husen

Sosok Husen dalam medan perang ini sangat nampak jiwa keberaninannya. Al-Imam Ibn Katsir berkata:

“Sungguh pasukan Husen telah menumpaskan banyak sekali musuh-musuhnya akan tetapi hal itu semua tak berpengaruh apapun untuk pasukan Ibn Ziyad karena jumlah mereka yang banyak.”

Hingga puncaknya tak terbendung, sekelompok prajurit dari Ibn Ziyad mengerubungi sosok penting dalam pertempuran kali ini “Husen”.
Para pasukan Husen berlomba untuk rela menjual nyawanya demi melindungi sosok Husen (seperti para sahabat nabi lakukan ketika melindungi Rasulullah di perang Uhud).

Sayidina Husen pun hanya mampu mengatakan: “Allah lah yang membalas kebaikan kalian, sungguh sebaik-baik balasan bagi orang yang bertakwa.”

Baca Juga:  Rahasia dan Alasan Rasulullah Menikahi Aisyah ra

Satu demi satu nyawa pasukan Husen berterbangan di hadapannya, hingga gugur anaknya sendiri Ali Al-Akbar membela ayahnya.

Hingga hal tak diinginkan terjadi, sosok Malik bin Basyir meringsek masuk ke hadapan Sayyidina Husen hingga memukul Husen sampai berdarah kepala dari beliau.

“Semoga Allah mencabut kedua tanganmu serta mengumpulkanmu bersama orang yang dzalim.” harap Husen.

Hingga datang sosok antagonis si Syamr beserta anak buahnya menuju arah Husen dan mulai menyerangnya, tetapi Husen tak tinggal diam ia pun berusaha melindungi diri dari orang-orang yang telah mengerubunginya, sampai beliau bersimpuh darah demi menegakkan persatuan Islam dan kedamaian muslimin.

Tetapi takdir dan ketetapan Allah berkata lain, Sayidina Husen gugur dalam pertempuran ini. Syamr si tokoh antagonis lah yang membunuhnya.

Allah pun membalas semua perlakuan buruk pasukan Ibn Ziyad dengan mempercepat siksanya di dunia, hingga dikisahkan seorang pasukan yang ikut dalam percobaan pembunuhan Husen kehilangan kedua tangan dan kakinya serta selalu dilingkupi rasa takut akan api dan hidup dalam kepanasan.

Inilah balasan Allah bagi orang yang menyakiti walinya terlebih cucu kesayangan Rasulullah “Husen bin Ali”.

Gugur dalam pertempuran ini sebanyak 17 orang dari pasukan Husen dan seluruhnya merupakan keluarga dari Husen (anak-anak dari Fatimah Az- Zahra’), dan dari pasukan Ibn Ziyad sebanyak 88 orang.

Ahlul Bait yang Tersisa setelah Gugurnya Sayyidina Husen

Adapun Ahlu bait serta para wanita yang tersisa menjadi tawanan dari pasukan Ibn Ziyad. Zainab (saudari dari Husen) ketika melihat saudaranya terkapar di medan perang hanya bisa menangis seraya berucap:

“Wahai Rasul Muhammad, telah merahmatimu segala penduduk langit beserta para malaikatNya. Inilah Husen jasad cucumu bersimpuh darah dan terputus tubuhnya membela kedzaliman ini. Para keturunanmu telah gugur semuanya. Para anak-anak wanitamu telah tertawan semuanya.”

Hingga nantinya mereka semua digiring menuju Syam dan menemui Ibn Ziyad, termasuk putra dari Sayyidina Husen yang selamat dari kejadian ini ialah Ali Al-Shoghir atau biasa dikenal Ali Zainal Abidin dari dialah nasab Ahlu bait tersambung hingga akhir zaman nanti.

Penutup

Lantas sikap kita sebagai muslim sejati yang berpaham Ahlu Sunnah wali Jamaah menanggapi peristiwa wafatnya sayidina Husen pada hari Asyura tahun 61 Hijriah, bagaimana?

Akankah kita rayakan hari itu dengan kesedihan yang mendalam seperti Syiah? Ataukah kita rayakan kebahagiaan kita atas hari itu sebagai hari raya kita seperti Nasiby? Atau lebih memilih diam dan menyibukkan diri untuk meningkatkan ibadah kepada Allah sang Tuhan semesta?

Syekh. Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah (Rektor Univ. Imam Syafi’i- Hadramaut) menjelaskan:

“Ketahuilah! sesungguhnya Rafidy (salah satu aliran Syi’ah) dan Nasiby (salah satu aliran pembenci ahlu bait) memiliki karakter yang sama, khususnya dalam 3 hal: Pemahaman yang buruk, gegabah dalam urusan takfir, serta watak yang dilandasi atas rasa kebencian.”

“Akan tetapi muslim sejati yang berada dalam jalan yang benar (Sunni), sangat jauh dari landasan mereka semua. Karena landasan mereka adalah: Kemurnian aqidah, serta watak yang dilandasi atas kasih sayang dan rasa hormat sesama makhluk.”

Maka 3 kelompok ini memiliki mindset yang berbeda dalam menanggapi hari Asyura’:

  1. Aliran Nasiby hari Asyura diibaratkan hari raya (karena kebahagiaan mereka atas gugurnya Sayidina Husen).
  2. Bagi Syiah Rafidy hari Asyura’ menjadi hari kesedihan baginya (merayakannya dengan berteriak dan menyiksa dirinya sendiri).
  3. Akan tetapi bagi muslim sejati yang berlandaskan (Ahlu Sunnah wal Jamaah) hari Asyura’ merupakan hari di mana Allah turunkan kemulianNya bagi pecinta Ahlu bait serta menurunkan siksaNya bagi pembenci Ahlu bait.

Menyibukkan diri dengan meningkatkan kuantitas serta kualitas ibadah merupakan pilihan seorang muslim yang bijak, sesuai landasan paham Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Sekian dari kami.
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa barakatuhu.

Referensi:

  1. Bidayah wa Nihayah, karya: Imam Ibnu Katsir.
  2. Sowai’qul Muhriqoh, karya: Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.
  3. Ad-Da’wah At-Tammah, karya: Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad.
  4. Muhadoroh li Sayidil Murabbi Syekh. Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah.

Penulis: Sibt Umar
Editor: Arif Rahman Hakim

Redaksi