Benarkah Tujuan Hukuman Adalah untuk Membalas Tindakan yang Melanggar?? Begini Penjelasannya

Benarkah Tujuan Hukuman Adalah untuk Membalas Tindakan yang Melanggar?? Begini Penjelasannya

Pecihitam.org- Tujuan suatu hukuman sebagai balasan (Retribution)atas perbuatan merupakan subjek yang paling banyak diperbincangkan oleh para ahli pidana Islam, disamping fungsi penjeraannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh keberadaan ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri yang banyak membahas tentang aspek retribusi ini. Misalnya, ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini:

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar [Qs. 5: 33].

Ayat Al-Qur’an di atas banyak menyebut tentang tujuan suatu hukuman sebagai balasan/ganti rugi atas perbuatan yang melanggar hukum tertentu. Yang menarik untuk diperhatikan di sini bahwa bahasa Arab untuk kata “balasan”, yaitu jaza’, dalam Al-Qur’an digunakan untuk kedua arti; hukuman dan ganjaran.

Dengan demikian, kedua arti kata ini secara filosofis sama-sama digunakan untuk tujuan yang tidak berbeda, yaitu pemberian balasan atas amal perbuatan yang baik atau ganti rugi atas pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh seseorang.

Baca Juga:  Makan dan Minum di Siang Hari Bulan Ramadhan, Apakah Wajib Kafarat?

Dalam hal “retribusi” sebagai alasan rasional (legal reasoning) dibalik pemberian hukuman, terdapat dua hal yang secara inheren menjadi unsur yang harus ada di dalamnya:

  • Kekerasan suatu hukuman
  • Keharusan hukuman itu diberikan kepada pelaku perbuatan kriminal

Bila dibandingkan dengan bentuk hukuman dalam sistem hukum pidana lain, maka bentuk hukuman yang dituntunkan dalam hukum pidana Islam ini dipandang sebagai suatu bentuk hukuman yang paling keras.

Menurut Muhammad Qutb, kerasnya hukuman dalam pidana Islam ini dikarenakan suatu pertimbangan psikologis bahwa dalam rangka memerangi kecenderungan para kriminalis untuk melanggar hukum.

Maka Islam menuntunkan pemberian hukuman yang keras yang secara reciprocal merupakan balasan kepada tindakan kriminal yang dilakukan sehingga dengan hukuman tersebut orang menjadi jera untuk mengulangi perbuatannya lagi (Muhammad Qutb, 1967: 231-234).

Baca Juga:  Hukum Memakan Daging Katak Menurut Pandangan Ahli Fikih

Dalam era modern sekarang ini, pandangan tentang kekerasan hukuman dalam pidana Islam ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh fenomena dominannya bentuk corporal punishment (hukuman badani) di dalamnya.

Hampir semua bentuk hukuman untuk perbuatan pidana yang disebutkan dalam sumber teks Islam memang berkisar pada hukuman-hukuman yang bersifat fisik, seperti dipotong tangannya, dicambuk, dilempar dengan batu (dirajam) dan lain-lainnya. Hal inilah sesungguhnya yang tampaknya menjadi cap kekejaman terhadap bentuk-bentuk hukuman dalam Islam.

Persoalannya sekarang adalah apakah cara-cara hukuman semacam ini bersifat tauqifi yang harus dilakukan persis sama sebagaimana ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi menuntunkannya, atau sesungguhnya dimungkinkan adanya perubahan bentuk hukuman yang semula hanya terfokus pada siksaan fisik kepada bentuk siksaan baru yang lebih bersifat non-fisik.

Kontroversi dan perdebatan tentang teori kekerasan hukuman ini tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja, para ahli filsafat hukum Barat juga memperdebatkan hal yang sama (Virginia Mackey, 1983)

Baca Juga:  Perbedaan Pendapat Terkait Ta’lil Ahkam dalam Empat Kelompok Besar Ulama

Menanggapi persoalan di atas, beberapa ahli berpendapat bahwa apa yang sesungguhnya dibutuhkan bagi pelanggar hukum adalah “pengobatan” (treatment) ketimbang hukuman yang berat. Artinya, hukuman yang diberikan kepada pelaku kriminal itu semestinya tidak bersifat penyiksaan akan tetapi sekedar mengobati “sakit” yang ia derita.

Di sisi lain, para ahli dengan pandangan yang berbeda memandang bahwa hukuman yang berat itu diperlukan untuk mencegah meningkatnya angka kriminalitas yang cenderung tinggi. Jadi, lebih merupakan tujuan fungsional menurut kelompok kedua ini.

Mochamad Ari Irawan