Pecihitam.org- Tujuan utama tasawuf psikoterapi adalah menciptakan kesehatan mental manusia. Kesehatan mental dalam Islam merupakan kekuatan emosionalpsikologis yang menempatkan manusia sebagai subjek pengamal agama mulai dari dimensi ritual (ibadah), credoism (iman) hingga ke norma (akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sehat secara mental tidak terlepas dari pembentukan akhlak.
Akhlak yang baik tercermin dalam tindakan toleran, pemaaf, sadar untuk tidak mengganggu ketenangan orang lain dan menjalin hubungan baik dengan Tuhannya (al-Ghazali, 1994: 29-31).
Jika esensi dari proses perkembangan jiwa manusia itu berhubungan dengan pertumbuhan, pembinaan, dan pengembangan nilai al-akhlâq al-karîmah (moral yang baik).
Maka akhlak adalah kualitas-kualitas moral yang secara khusus melekat kepada manusia dan terwujud secara nyata dalam keadaan ahsan al-taqwîm (sebaik-baik bentuk dan rupa).
Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan esensi dan identitas dirinya lalu menjadi asfala sâfilîn (makhluk yang tidak bermoral) (Effendi, 1991:5).
Tasawufpsikoterapi itu bertujuan memelihara, menyembuhkan dan mengembangkan hati, ruh, nafsu dan akal agar selalu berada dalam keadaan salâm atau Islâm.
Kondisi ini tergambar dalam firman Allah SWT yaitu “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta itu adalah hati yang ada dalam dada” (Q.S. Al-Hajj [22]: 46).
Semua manusia mempunyai hati tetapi tidak semua manusia mampu dan menggunakannya untuk memahami, menghayati dan mengamalkan perintah Tuhan (Q.S. Al-A‟raf [7]: 176).
Manusia justru lebih banyak menuruti bisikan setan sehingga di dalam hati manusia yang demikian itu ada penyakit dan lambat laun hatinya pun menjadi kasar (Q.S. Hajj [22]: 53).
Dalam hati manusia yang penuh dengan bisikan setan selalu ada penyakit lalu ditambahkan oleh Allah penyakitnya (Q.S.Al-Baqarah [2]: 10).
Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka (Q.S Al-Mutaffifin [83]: 14). Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, bahkan penglihatan mereka ditutup dan mereka akan mendapat azab yang berat (Q.S. Al-Baqarah [2]: 7).
Hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat cenderung tertarik kepada bisikan setan dan menyenanginya sehingga mereka melakukan apa yang biasa mereka lakukan (Q.S. Al-An‟am [6]: 113).
Pada saatnya nanti, yaitu pada hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi berguna mereka baru menyadarinya, ternyata hanya orang-orang yang hatinya bersih yang mampu menghadap Allah SWT (Q.S. Al-Syu‟ara‟ [26]: 88 dan 89).
orang tersebut adalah orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk senantiasa bertaqwa (Q.S.Al-Anfal [8]: 24). Barang siapa yang beriman kepada Allah, maka Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (Q.S.Al-Taghabun [64]: 11).
Konsep hati dengan pelbagai penerapannya di atas memberikan pengertian bahwa hati yang tulus (ikhlas) yang menentukan hakikat diri manusia itu adalah hati yang dapat memahami, mengetahui apa yang melekat padanya dan lingkungan dirinya.
Untuk mencapai hati yang bersih dan ikhlas itu memerlukan bimbingan syariat. Secara spiritual, tahapan itu bisa terwujud dengan memperbanyak zikir kepada-Nya dengan tekun dan secara terusmenerus.
Dengan berzikir akan tercipta dan terbangun kesehatan hati (mental) yang lebih baik (Hawwa, 1998: 61). Hati yang terbebas dari penyakit seperti hasad, riya, pengumpat, sombong dan menggunjing akan membuka hijab ke arah moral/akhlak yang mulia.
Meskipun Islam telah menegaskan bahwa hakikat roh bukan urusan manusia dan jika manusia bersikukuh ingin mengetahuinya maka manusia hanya dapat mengetahuinya sedikit saja (Q.S. Al-Isra‟ [17]: 85).
Namun di awal penciptaan manusia, roh telah diperkenalkan Tuhan kepada manusia, Allah menjelaskannya dalam firman-Nya yang artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak-cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman): Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab “betul” engkau Tuhan kami” (Q.S. Al-A‟raf [7]: 172)
Namun roh dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal/lingkungan diantaranya adalah faktor keluarga. Keluarga cukup dominan dalam membentuk aspek ruhaniah seseorang.
Faktor moral sosial yang bebas nilai tanpa disertai nilai keimanan dapat membentuk ruhaniah seseorang cenderung kepada kemungkaran, kesombongan dan kemaksiatan.
Kedua faktor ini jika tidak dididik dengan tepat dapat mendesak roh bertindak spekulatif dan melakukan pelanggaran sosial (social deviation). Eksistensi roh agar tetap berada dalam latîfah rûhâniyyah rabbâniyyah (roh halus ketuhanan) memerlukan pendidikan yang seimbang dan selaras dengan ubûdiyyah (amalan).
Sebetulnya, roh itu telah mengenal Tuhannya sejak awal penciptaannya, yakni ketika bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhannya, maka ketika seseorang berperilaku jauh dari kerohaniahannya seseungguhnya ia telah menghianati perjanjian antara dirinya dengan Tuhannya.
Dalam tasawuf, empat dimensi psikologis manusia; hati, roh, nafsu, dan akal memiliki potensi pembinaan dan pengembangan mental dan moral menuju akhlâq karîmah yang sesuai dengan fitrahnya yang suci, putih, bening, dan bersih yang dibawanya semenjak lahir.
Nabi SAW bersabda: “Tidak seorang juapun anak yang baru lahir, melainkan dia dalam keadaan suci bersih. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi “.
Allah berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) Fitrah Allah karena Dia telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu; tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (alQusyairy, 1914: 242).