Tulisan Arab, Mengapa Tanpa Harakat dan Betulkah Harakat itu Bid’ah?

Tulisan Arab, Mengapa Tanpa Harakat dan Apakah Harakat itu Bid'ah?

Pecihitam.org – Mengapa orang Arab ataupun yang berkutat dengan teks Arab kalau nulis Arab jarang sekali -kalau tidak mengatakan tidak sama sekali- memberi harakat (tanda baca)? dan seakan ini menjadi tradisi mereka, baik di jurnal akademik ataupun media massa mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berdasarkan amatan singkat dan rasionalisasi cetek saya, bisa diambil hipotesa di antaranya yaitu karena:

Pertama, menulis harakat itu ngabisin waktu (lebih lama). Apalagi dalam proses penulisan imla’ (menyimak lantas menuliskan), baik reportase oleh wartawan atau saat mengikuti penjelasan dosen oleh mahasiswa, para penulis huruf Arab akan memilih jenis khat (kaligrafi Arab) yang paling simpel, mudah dan paling cepat dipakai untuk menulis. Dan, dari sekian macam jenis khat Arab yang ada, pilihan mereka jatuh pada “khat riq’ah”. Bagi ente yang sudah pernah belajar khat-imla’, ane kagak usah kasih tahu kenapa alasannya.

Nah, mohon maaf niih, buat yang belum pernah belajar, saya juga belum bisa kasih contohnya. Sebab, font Arab di aplikasi fb tuh monoton, hanya satu variasi.

Namun, tetap di sini saya pengen kasih sebagian alasannya, kenapa khat Riq’i yang jadi primadona?

Baca Juga:  4 Sumber Hukum Islam Madzhab Ahlussunnah Waljamaah

Sebenarnya, ini mirip-mirip dengan kita orang Indonesia. Kalau mau nulis cepat ya pakai tulisan tegak bersambung. Tapi jangan dibayangkan penulis anak SD kelas 1 atau 2 yang baru diajari sama gurunya, satu persatu, dan pelan-pelan. Bayangan kita tentu pada tradisi dokter dalam menulis resep. Sangat cepat dan indah bukan?! Sampai hanya dalam komunitas mereka yang bisa baca: dokter, apoteker, dan tentunya wallahu a’lam, dan Allah ta’ala.

Selanjutnya, karakter khat riq’ah itu sederhana dan simpel. Misalnya saja, titik dua pada huruf ت، ق dan ي ditulis serupa “fathah”. Titik tiga pada huruf ث dan ش ditulis dengan semacam anak panah ke atas ^. Bahkan, satu titik pada huruf nun ن dan ض hanya diganti dengan garis ke arah luar bersambung dengan bagian kirinya. Huruf ra ر pun dirupakan coretan. Dan seterusnya.

Kedua, harakat memang tidak terlalu diperlukan bagi orang Arab ataupun yang yang biasa membaca-tulis huruf Arab. Mengapa tak diperlukan?

Baca Juga:  Tiga Tujuan Allah Menciptakan Manusia, Apa Sajakah Itu? Ini Penjelasannya dalam Al-Quran

Sebab harakat sudah digantikan oleh ilmu gramatikal Arab nahwu-sharaf yang telah dipelajari sepaket saat belajar bahasa Arab. Tugas ilmu nahwu atau i’rab dalam tanda baca, fokus membahas cara membaca atau memberi tanda baca huruf terakhir kata (kalimah). Sementara ilmu sharaf fokus pada huruf pertama dan kedua atau selain kata terakhir suatu kata. Itu simpelnya. Selain itu masih ada sisi beda antara kedua ilmu ini, dimana ilmu sharaf fokus pada kata perkata, maka ilmu nahwu fokusnya pada susunan kalimat (tarkib atau jumlah).

Ketiga, pada dasarnya, tradisi Arab zaman old, sampai periode para sahabat Nabi, tulisan Arab itu tidak hanya tanpa harakat, tapi bahkan tanpa titik. Sehingga tidak bisa atau sulit membedakan antara huruf yang mirip bentuk “badan”nya, kecuali oleh orang Arab sendiri.

Tanda baca yang pertama kali muncul pada zaman khalifah Imam Ali bin Abi Thalib oleh Abu Al Aswad Ad Duali juga bukan serupa harakat yang kita kenal sekarang, tapi hanya berupa nuqthah i’rab (titik penanda bacaan akhir kata). Alasan yang ketiga, berdasarkan alasan yang kedua, harakat itu adalah bid’ah. Sesuatu hal baru yang diada-adakan, padahal di zaman Rasulullah tidak ada.

Baca Juga:  Empirisme David Hume dalam Melihat Negara Pancasila

Lantas, kenapa kok sekarang Alqur’an, Alhadis dan sebagian kitab Arab zaman now pakai tanda baca? Ya alasannya simpel saja. Supaya orang-orang non Arab yang tak bisa baca “kitab kuning” (kayak Dus Nur Ugik: sensored) bisa baca.

Apalagi, kalau nulis Arabnya pakai mesin ketik atau hape, wuuuih, ribetnya minta ampyyyun dah. Repot dah pokoknya. Alhasil, kalau tanpa harakat sudah bisa dibaca dan dipahami, mengapa harus ribet-ribet diberi tanda baca (harakat)? Wallahu a’lam

Source: Catatan Masyhari

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *