UU Pesantren Sebagai Hadiah, Ada Makna Tersembunyi?

UU Pesantren Sebagai Hadiah

Pecihitam.org – Kaum santri menilai UU Pesantren sebagai hadiah jelang Hari Santri. Adakah makna tersembunyi dibalik pengakuan Negara terhadap eksistensi Pesantren itu?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hari Santri Nasional tahun 2019 telah seminggu berlalu, tapi suasananya meninggalkan kenangan yang terbilang istimewa. Hari peringatan sekaligus perayaan tercetusnya Resolusi Jihad NU tahun 1945 itu dibarengi dengan datangnya dua hadiah spesial bagi kaum santri.

Yang pertama, dilantiknya KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia dua hari jelang Hari Santri. Peristiwa ini menandai duduknya sosok santri di puncak pemerintahan negeri ini, setelah sebelumnya kursi tertinggi ditempati oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI dari tahun 1999 hingga 2001.

Kurang lebih sebulan sebelumnya, tepatnya 24 September 2019, RUU Pesantren disahkan menjadi Undang-Undang Pesantren secara resmi.  Undang-Undang ini dianggap sebagai bentuk pengakuan negara terhadap pesantren, lembaga pendidikan Islam yang selama berabad-abad telah menjadi lembaga penyiaran Islam di Nusantara.

Disahkannya RUU Pesantren menjadi Undang-Undang tentu menjadi kabar gembira bagi seluruh jagad pesantren. Usai  UU tersebut disahkan, shalawat badar pun menggema di gedung DPR-RI sebagai tanda syukur atas hadiah yang tiba berdekatan dengan perayaan Hari Santri Nasional 22 Oktober yang lalu.

Jika memang pengesahan UU Pesantren, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), H. Robikin Emhas, dimaknai sebagai hadiah, tidak ada salahnya jika kaum santri memperhatikan apa yang telah diperingatkan oleh Jacques Derrida (1930-2004) tentang hadiah (gift).

Menurut filosof Perancis kelahiran Aljazair itu, hadiah sebenarnya tidak dapat difahami sebagai hadiah apa adanya. Dalam salah satu karyanya, Given Time (terj., 1992), Derrida menggagas ada suatu permintaan timbal balik yang terkandung secara tersembunyi dalam hadiah yang seharusnya tidak terlibat dalam pemberiannya.

Baca Juga:  Betulkah Sistem Khilafah Satu-satunya Sistem Pemerintahan Islami?

Dalam tulisannya yang lain, Gift of Death (terj., 1995), Derrida juga menegaskan bahwa hadiah tidaklah seperti kelihatannya, yakni pemberian dan penerimaan yang tulus. Pemberi hadiah, hadiah dan penerima hadiah sebenarnya terjebak dalam siklus “memberi dan menerima” (giving and taking) , atau dalam istilah lain “siklus ekonomis” (economic cycle) layaknya aktivitas jual-beli.

Dalam siklus tersebut si penerima hadiah bisa saja secara implisit tertuntut untuk memberi balasan, entah itu bersifat material maupun bersifat simbolik, misalnya berupa pengakuan dan penghormatan terhadap si pemberi. Ikatan tersirat antara pemberi dan penerima itu menjadi makna tak terelakkan yang terbentuk dalam perilaku pemberian dan penerimaan hadiah.

Karena siklus inilah, menurut Derrida, hadiah merupakan aporia atau problem yang mengandung kontradiksi atau paradoks dalam suatu benda atau konsep tentang benda itu. Paradoksnya hadiah terletak pada dua kutub: adanya syarat-syarat di dalamnya – mulai dari pengakuan akan kemampuan mengungkapkan belas kasih satu pihak kepada pihak lain sampai perbuatan demi kenikmatan narsistik nan memuaskan diri – di satu sisi dan hadiah yang dipandang sebagai sesuatu yang diberikan secara murni tanpa syarat di sisi yang lain.

Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ketika menerima hadiah dari seorang kawan, saya percaya ia memberi hadiah itu diberikan dengan rasa tulus tanpa syarat dan ia boleh jadi mengalami ketulusan dirinya itu.

Baca Juga:  Ponpes di Kudus Batasi Santri dari Luar Kota

Tapi di sisi lain, saya merasakan adanya tuntutan yang tersembunyi dalam hati saya untuk membalas budi kawan saya itu, baik balasan berupa materi hadiah yang sama atau balasan bersifat simbolik, seperti penghormatan terhadap diri kawan saya atau mungkin perlindungan moral baginya. Dalam pemberian hadiah saya berada dalam siklus “memberi dan menerima”.

Dari sudut pandang ini, UU Pesantren sebagai hadiah pengakuan negara untuk pesantren memiliki paradoksnya sendiri. Apakah UU Pesantren dapat dipahami sebagai hadiah yang murni tanpa syarat ataukah tersembunyi di dalamnya suatu ikatan timbal-balik antara Negara sebagai pemberi dan Pesantren sebagai penerima? Sulit memang mendeteksi secara pasti makna apa yang sebenarnya meliputi UU Pesantren. Karena itulah ia dapat atau harus disikapi sebagai aporia.

Lalu makna apa yang mungkin tersembunyi dari hadiah berupa pengakuan atas keberadaan pesantren itu? Kemungkinannya tentu bisa bermacam-macam , tapi yang pasti Negara dan Pesantren terikat dalam hubungan siklus “memberi-menerima”, seperti diungkapkan Derrida.

Karena hadiah tersebut diwujudkan dalam bentuk produk hukum, maka UU menetapkan standar-standar yang harus dipenuhi pesantren agar tetap diakui oleh negara. Di satu sisi negara mengakui keberadaan pesantren yang dampaknya meluas kepada aspek-aspek lain, seperti pendanaan, pembinaan dan perlindungan hukum, tapi di sisi lain pesantren dituntut untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Negara, seperti sistem penjaminan mutu pesantren dan bangunan ideologi yang menaungi pesantren.

Mengenai persoalan terakhir ini, patut kiranya dipertimbangkan argumen yang dibangun oleh Azmil Tayeb dalam Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Shaping Minds, Saving Souls (2018) yang juga pernah saya uraikan di detik.com dengan judul “Membandingkan Sekolah Islam di Indonesia dan Malaysia. Dalam bukunya tersebut ia mengajukan gagasan paradoks lainnya seperti aporia Derrida di atas.

Baca Juga:  Ketika Mereka Masih Perdebatkan Islam dan Sistem Negara Bangsa

Tayeb mendedahkan bahwa pendidikan Islam di Indonesia lebih terbuka dan bebas dalam hal diskursus pemikiran keislaman dibandingkan di Malaysia. Menariknya, keterbukaan itu justru disebabkan oleh sistem pendidikan Islam yang kurang terintegrasi kepada Negara.

Semakin mandiri, semakin mudah dan bebas bagi lembaga pendidikan Islam untuk menancapkan ideologi atau visi dan misinya. Sebaliknya, semakin tergantung pada Negara, yang mungkin akan mempermudah distribusi bantuan dan dukungan Negara, sekolah Islam akan semakin sulit mengembangkan nilai dan ideologi yang dianutnya.

Adanya UU Pesantren boleh-boleh saja dikatakan tidak ada intervensi Negara terhadap Pesantren, melainkan lebih kepada pengakuan Negara terhadap Pesantren. Akan tetapi, hadiah pengakuan itu menyisakan residu – atau trace dalam istilah Derrida – ikatan timbal balik yang tersembunyi.

Sadar atau tidak, sedikit-banyaknya Pesantren terikat hutang budi pada Negara yang telah mengakui eksistensi Pesantren lewat UU tersebut. Tinggal kemudian bagaimana Pesantren mengukur pada wilayah mana dan sejauh mana ia independen dari kontrol Negara.

Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *