Pecihitam.org – Sebagaimana telah umum dan tersebut dalam sejarah bahwa Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan sekalian pengikut ajaran Wahabi sering memvonis kafir terhadap sesama muslim.
Mereka memfatwakan bahwa orang yang ziarah ke makam Nabi di Madinah adalah kafir. Kalau paham dan fatwa mereka ini diikuti, maka ziarah ke makam para wali dan pahlawan nasional yang ada di Indonesia juga tentulah menjadikan orang berubah kafir.
Begitu juga orang-orang yang berdoa dengan melakukan tawassul kepada para nabi maupun para wali juga disebut kafir. Mengucapkan doa dengan kalimat “dengan berkat Nabi Muhammad” atau “dengan jah Nabi Muhammad” ataupun bentuk-bentuk Istighosah lainnya menurut mereka adalah bentuk kekufuran yang menjadikan pelakunya sebagai orang kafir.
Begitulah mereka dengan mudahnya memvonis kafir terhadap saudaranya sesama muslim. Karena mereka menggunakan ayat-ayat khusus yang ditunjukkan kepada orang kafir untuk menyerang sesama kaum muslimin yang melakukan ziarah kubur dan tawassul.
Ini oleh para ulama diistilahkan dengan tahriful adillah ‘an mawadi’iha (meletakkan dalil bukan pada tempatnya). Dalil yang khusus digunakan oleh Allah untuk mencela orang kafir, tetapi oleh kelompok ini disalahgunakan untuk menyerang sesama muslim.
Dua ulama sunni zaman ini yang kerap mendapat hujatan kafir dari mereka adalah Sayyid Muhammad Al-Maliki dan Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi, padahal sebagaimana kita tahu dua ulama ini merupakan ikon ahlussunnah di negaranya masing-masing bahkan menjadi panutan kaum muslimin dunia internasional.
Karena kedua tokoh ini berseberangan dengan kaum Wahabi utamanya karena mereka memperbolehkan ziarah makam Nabi, tawassul, Istighatsah dan mengamalkan tasawwuf, kemudian dengan sengitnya kelompok khawarij memvonis ahli bid’ah bahkan kafir.
Sikap mereka ini tak ubahnya seperti sikap Kauum Khawarij yang sembrono dan radikal, hingga mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Usman bin Affan, Siti Aisyah, Thalhah, Zubair bin Awwam serta sahabat-sahabat lainnya.
Pendeknya, setiap orang Islam yang tidak sesuai dan dan berseberangan pahamnya seolah-olah darah serta hartanya adalah halal untuk dirampas. Paham seperti ini sungguh tidak sesuai dengan keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta tidak ditemukan dalam rumusan mazhab imam yang empat.
Seandainya pun – sekali lagi – seandainya orang orang itu bersalah, maka tidak boleh lantas dengan gabah divonis sebagai kafir, tetapi mereka adalah orang Islam yang mungkin melakukan kesalahan dan dosa. Dan itu tidak menjadikan ia sebagai kafir.
Manusia menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, apabila telah mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui dalam hatinya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, maka orang itu disebut sebagai mukmin. Sekalipun ia melakukan dosa baik kecil maupun besar ia tidak dikatakan sebagai kafir.
Paham yang menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir ini adalah paham kaum khawarij. Imam Syafi’i rahimahullah berkata di dalam Kitab Ar-Risalah-nya, “Saya tidak menghukumi kafir seseorang pun dari ahli kiblat karena dosanya” Yang dimaksud ahli kiblat oleh Imam Syafi’i di sini adalah orang yang mengucapkan kalimat syahadat ataupun ahli tauhid.
Jadi jika seseorang telah mengesakan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan, maka ia tidak bisa dihukumi kafir sebab dosa-dosa yang dilakukan.
Masalah kafir ini bukan hal sepele. Melontarkan vonis kafir terhadap sesama muslim ini adalah masalah yang serius dan akan berakibat kekal ataupun lama di dalam akhirat.
Karena orang yang kafir itu berlaku hukum kafir kepadanya, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia misalnya, ia harus menceraikan istrinya yang muslim iika ia memang telah kafir. Di akhirat, orang yang kafir akan disiksa oleh Allah bahkan akan kekal jika memang mati dalam keadaan kafir.
Oleh karena, itu jangan serampangan dalam memberikan vonis kafir terhadap sesama muslim. Karena jika salah, maka vonis kafir itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
أيما امرئ قال لأخيه: يا كافر فقد باء بها أحدهما. إن كان كما قال وإلا رجعت عليه
Jika seseorang berkata kepada saudaranya sesama muslim, “Hai kafir”, maka ia telah menetapkan dengan ucapannya itu salah seorang diantaranya sebagai kafir. Kalau orang yang jadi khithah memang kafir pada hakikatnya, maka begitulah adanya. Tetapi kalau orang itu pada hakikatnyanya tidak kafir, maka vonis kafir itu kembali kepada orang yang berkata. (HR. Muslim)
Dengan demikian menjadi terang benderang bagi kita, tidak boleh dengan serampangan memberikan vonis kafir terhadap saudara kita seiman, sesama muslim. Demikian. Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq