Pecihitam.org – Sebagian orang ada yang penasaran, dan mungkin juga bertanya-tanya, apa sih Wahabi itu? Karena konon firqah atau aliran dalam agama Islam yang satu ini kerap meresahkan sebab tidak jarang mereka mengkafir-kafirkan orang lain bahkan yang sesama pemeluk agamanya. Untuk itu, secara singkat dan dengan bahasa yang sederhana kami coba untuk mengulasnya.
Sekilas Tentang Wahabi
Istilah Wahabi memang tidak diproklamirkan oleh pendiri ataupun pengikutnya, melainkan datang dari orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari perumus doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin ‘Abdul Wahab (1115 H/ 1703 M – 1206 H/ 1791 M).
Hingga saat ini, Wahabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang pahamnya mendominasi berbagai aspek kehidupan di sana. Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah awal mula Wahabi bisa dibaca pada artikel Sejarah Lengkap Gerakan Wahhabisme dari Masa ke Masa.
Menariknya pengikut aliran ini sendiri terkadang menolak sebutan Wahabi. Karena sejak awal nama itu telah menjadi stigma yang melahirkan kesan buruk, sehingga mereka lebih memilih istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid, yang berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah.
Namun justru nama yang mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tauhid yang memang pada dasarnya merupakan landasan pokok Islam.
Menurut Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid tersebut, karena gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak manusia yang bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka “Wahhabisme” dan “kaum Wahabi”.
Para pengikut Wahabi kerap menyatakan diri bahwa mereka hanya bertujuan semata-mata hanya untuk memurnikan tauhid. Bagi mereka Tauhid harus dimurnikan karena telah bercampur dengan apa yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat.
Kata mereka, Islam yang sarat beban historis harus dirampingkan dan dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai madzhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Sayangnya, para pengamat, khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas sering keliru tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau konservatif.
Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri menganggap Wahabi ini bukan bagian dari Ahlussunnah wal-Jamaah. Hal itu disebabkan karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang merupakan bagian integral Islam Sunni, dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
Menurut Abdul Aziz Qasim seorang penulis Arab Saudi mengatakan bahwa yang pertama kali memberi julukan Wahabi kepada ajaran yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini adalah kesultanan Utsmaniyah yang kemudian bangsa Inggris mengadopsinya dan selanjutnya digunakan di Timur Tengah.
Namun para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab ini tidak menyukai sebutan tersebut karena bagi mereka aliran yang mereka ikuti adalah salafi dan gerakannya dinamakan Salafiyah.
Dalam bedah buku “Rekam jejeak radikalisme Salafi Wahabi; Sejarah; Doktrin, dan Akidah” A. Ma’ruf Asrori dikatakan bahwa bantahan mereka cukup beralasan. Karena tokoh yang disebut bernama Muhammad bin Abdul Wahab, semestinya menjadi Muhammadiyah bukan Wahabi.
Hal tersebut karena nama yang membawa aliran ini adalah Muhammad dan ayahnya bernama Abdul Wahab, sehingga wahabi malah dinisbatkan kepada Abdul Wahab bin Rustum yang pada dasarnya memanglah Khawarij.
Inilah tipu daya mereka para pengikut Wahabi untuk menghindari sorotan buruk dari kaum Muslimin yang telah menyaksikan sejarah kelam Wahabi di masa lampau bahkan sampai sekarang ini.
Memang awal mula gerakan wahabi ini dianggap sebagai gerakan yang menjadi angin segar bagi masyarakat dikala itu. Dimana setelah runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani, gerakan ini memulai di wilayah terpencil dan gersang di Najd.
Setelah Perang Dunia ke I, Dinasti Al-Saud menjadi penyokong utama gerakan wahabi ini. Dan kemudian menyebar ke kota suci yaitu Makkah dan Madinah.
Hal ini lantas dimanfaatkan oleh para elit politik untuk menyebarkan ajaran wahabisme, dimana setelah ditemukan sumber minyak di dekat Teluk Persia dan menjadikan kerajaan Saudi memiliki akses terhadap pendapatan ekspor minyak dan menjadikan pendapatan yang dihasilkan berkembang berkali-kali lipat.
Dari hasil minyak tersebut dijadikan sebagi sumber dana untuk mengembangkan ajaran wahabi, dengan media buku, sekolah, universitas, masjid, beasiswa, pekerjaan untuk para jurnalis, dan banyak media lainnya yang menjadikan wahabi semakin memiliki posisi yang kuat.
Wahabi Masuk ke Indoensia
Wahabi masuk ke Indonesia pertama kali yaitu sekitar awal Abad ke-19 yang masuk di tanah Minangkabau Sumatra Barat. Ajaran ini bermula dari kepulangan tiga orang haji yang kala itu wahabi sedang berkembang di Arab Saudi.
Secara tidak langsung ketiga haji tersebut membawa ajaran wahabi dan menyebarkannya. Mereka menyebarkan ajaran tersebut dengan sistem paksa. Mereka mendakwahkan wahabi yang pada dasarnya adalah ajaran Islam yang kaku, tidak dapat diterima langsung oleh masyarakat Minangkabau terutama pemuka adat.
Dimana kala itu minangkabau masih kental dengan adat istiadat, dan itu menjadikan pertentangan di dalamnya. Mereka langsung melarang penggunaan tembakau dan juga memakai kain sutra sehingga banyak yang tidak langsung mengikuti aliran yang dibawa ketiga haji tersebut.
Gerakan mereka didukung oleh kaum paderi. Bangsawan minang yang masih menjalankan praktik yang bertentanagan dengan Islam menurut mereka akhirnya berselisih. Puncaknya yaitu terjadi perang saudara yang disebut dengan Perang Paderi.
Aliran wahabi adalah paham yang kaku, ketat dan tanpa toleransi serta dengan ciri membidahkan orang yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits. Pemahaman mereka telah melampaui batas tentang penetapan definisi ketauhidan, dan pendukung wahabi dianggap terlalu mudah membid’ahkan, mengkafirkan atau menyesatkan orang lain.
Penyebaran paham Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Refleksi
Karakteristik Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa didapati di Makkah dan Madinah.
Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, akhirnya di tangan Wahhabi harus berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi label Universitas. Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa.
Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Selain itu, I=imbas ekspansi Wahhabisme juga menyentuh pada aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi.
Maka ini menjadi sebuah ancaman serius jika mereka berhasil mengekspor pahamnya dan berhasil memberangus seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah seperti di Indonesia.
Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam begitu kaya dan berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik, seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan gairah spiritualisme.
Kemudian, hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara radikal yang Wahabi tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif di masyarakat.
Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan Ahlussunnah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.
Sebetulnya telah banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan implikasi negatif ekspansi kelompok Wahabi ini. Mereka cukup produktif menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme.
Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar masyarakat kita yang enggan membaca. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham Wahabi dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke Universitas.
Mungkin cukup membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahabi. Akan tetapi ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam.
Lantas mereka mendapati di dalam aliran Wahabi ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan yang tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan Wahabi cukup sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi mereka.
Namun juga perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru.
Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan mengkafirkan yang lainnya, dakwah mereka juga tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini.
Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahabi disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona. Wallahua’lam Bisshawab.