Katanya Walisongo Fiktif, Ustadz Ini Bercanda??

Katanya Walisongo Fiktif, Ustadz Ini Bercanda??

PeciHitam.org Menelanjangi pendapat Ulama yang mengklaim diri sebagai Ulama ‘Dakwah Sunnah’ sangat tidak pantas karena sesama Muslim berkewajiban untuk menjaga persaudaraan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ihwal perbuatan mereka yang keterlaluan mengkritik amaliyah ‘Kaum Hijau’ atau mempertanyakan otentisitas sejarah penyebaran Islam di Nusantara tentunya tidak bisa dibenarkan dan didiamkan.

Karena sudah melampui batas kewajaran dan pengetahuan umum serta dengan pedenya memperlihatkan kepongahan pendapat konyol. Karena argumen salah yang terus dicekokkan kepada Umat Islam akan dianggap sebuah kebenaran. Sebagaimana pendapat Ustadz Badrussalam, Lc yang mengatakan Walisongo fiktif.

Kiranya benar dawuh Abah Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan, bahwa gerakan menihilkan peran walisongo dalam dakwah Islam di Nusantara banyak berseliweran dengan kedok ‘dakwah Sunnah’.

Walisongo Fiktif?

Penggalan video yang secara jelas menyebutkan bahwa walisongo adalah tokoh fiktif diutaran oleh Ustadz Badrussalam, Lc dalam sebuah kajian Islam yang beliau ampu. Argumen Ustadz tersebut adalah ketidak-adaan bukti otentik karya Walisongo ketika hidup menyebarkan Islam di Nusantara.

Cerita lisan dari para leluhur yang turun temurun dianulir dengan paksa karena tidak menghasilkan sebuah karya tulis berupa kitab. Beliau menyebutkan bahwa Ulama-ulama salaf bisa dibuktikan keberadaannya dengan meninggalkan jejak kitab yang sampai kepada kita pada era modern.

Ia mencontohkan karya sahih bukhari oleh Imam Bukhari, Sunan Abu Dawud oleh Imam Abu Dawud, Al-Umm dan Ar-Risalah karya Imam Syafi’i dan Ihya’ karya Imam Ghazali.

Baca Juga:  Kiai Amin Sepuh, Ulama dan Pejuang Kemerdekaan yang Disegani Penjajah

Namun Walisongo menurut beliau tidak satupun meninggalkan karya yang dapat menjadi rujukan eksistensi keberadaan walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara.

Bahwa ia tidak menemukan karya tulisan Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan Sunan lainnya.

Dasar argumen inilah yang mendorong Ustadz Badrussalam, Lc menganulir keberadaan Walisongo di Nusantara. Lebih jauh ia menganggap bukti dakwah dengan kesenian adalah pelanggaran terhadap syariat Islam yang harus diberangus. Penggunaan dakwah wayang kulit disepadankan dengan menggambar, dakwah dengan  gamelan disetarakan dengan musik yang diharamkan.

Poin utama Ustadz ‘dakwah sunnah’ Badrussalam, Lc yaitu menyatakan bahwa walisongo tidak bisa dipastikan keberadaannya. Arahnya adalah menyingkirkan peran Walisongo dalam perjuangan dakwah Islam di Jawa dengan klaim walisongo fiktif.

Klaim sepihak ini adalah perbuatan sah dalam sebuah diskusi akademik, namun berpotensi besar tertelanjangi dengan fakta yang ajukan oleh para sejarawan.

Ada baik bagi Ustadz Badurussalam, Lc untuk memahami runtutan sejarah Islam di Nusantara, jangan-jangan nenek moyang beliau sendiri berislam karena walisongo. Maka tuduhan tersebut bernilai suul adab yang sama sekali tidak sopan.

Walisongo dan Bukti Otentiknya

Umat Islam di Nusantara secara kultur tradisi dan budaya sangat menghargai segala jasa dan peran pejuang penyebar Islam, bahkan setelah mereka wafat. Hampir setiap petilasan atau benda peninggalan para walisongo masih terjaga dengan baik sebagai pengingat perjuangan Islam di Nusantara.

Baca Juga:  Biografi KH Hasyim Muzadi, Ulama yang Nasionalis dan Pluralis

Bahkan situs makam para walisongo masih terjaga dengan baik diberbagai penjuru Nusantara. Makam para walisongo sampai sekarang menjadi lumbung ekonomi umat Islam yang mukim disekitar makam para wali. Makam-makam tersebut menjadi obyek wisata religi yang secara tidak langsung, walisongo memberi nafkah kepada manusia yang hidup.

Makam dalam kronik sejarah menjadi bukti otentik keberadaan atau eksistesi seorang tokoh. Bahkan makam Fatimah binti Maimoen di Manyar Kab. Gresik menjadi bukti oleh sejarawan masuknya Islam ke Nusantara.

Jelas kiranya makam Walisongo masih terjaga dan terawat dengan baik, sampai kepada silsilah nasab banyak tertempel di area pemakaman walisongo.

Sunan Bonang sendiri memiliki karya berupa Suluk atau Tembang Tombo Ati yang masih bisa kita perdengarkan sekarang. Sunan Kalijaga menkripta lagu pendidikan Lir-Ilir dan Gundul-gundul Pacul.

Sunan Giri meninggalkan bukti otentik berupa Kedaton atau Situs Kerajaan yang  masih dapat dilihat kerangka pondasinya. Bahkan Sunan Giri menciptakan permainan edukatif berupa Jelungan dan Tembang Cublak Suweng.

Ketika tidak bisa menghargai jasa penyebar agama Islam Nusantara yang telah lampau, kiranya jangan mendelegitiminasi atau mengkerdilkan bahwan menuduh Walisongo fiktif.

وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الأرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٢٦)

Baca Juga:  Kisah Abu Dzar Al-Ghifari, Sahabat Nabi yang Taubat Karena Melihat Anjing Minum Susu

Artinya; “dan ingatlah (hai Para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur” (Qs. Al-Anfal: 26)

Al-Qur’an memiliki tradisi yang baik dalam mengenang para pejuang Islam atau orang shaleh dengan menyebutkan dalam Al-Qur’an. Pun Allah SWT mengingatkan kepada Muhajirin untuk mengingat karunia Allah dan yang menolong orang Anshar di Madinah.

Bahwa mengenang jasa penyebar Islam di Nusantara adalah kepantasan kepada pendahulu yang berjuang untuk dakwah Islam. Bukan malah menganulir perannya dengan tuduhan fiktif dan tidak otentik.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan