Wasiat Wajibah, Alternatif Memberikan Harta Waris kepada Anak Angkat

wasiat wajibah

Pecihitam.org – Praktek mengangkat anak sudah sejak lama dikenal, bahkan sebelum Islam datang. Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada Firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan ayat 5. Berdasarkan kedua ayat tersebut, jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah atau ibu angkat dan anak angkatnya tidak lebih dari sekedar hubungan kasih sayang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hubungan antara ayah atau ibu dan anak angkatnya tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan.

Menurut hukum Islam pengangkatan itu tidak membawa pengaruh hukum, sehingga status anak itu adalah anak angkat, bukan anaknya sendiri, karenanya tidak dapat mewarisi dari yang mengangkat.

Seluruh ulama tafsir dan ulama fikih sependapat bahwa anak angkat dibolehkan sebatas pemeliharaan, pengayoman, dan pendidikan, kecuali dilarang memberi status sebagai layaknya anak kandung.

Sedangkan dalam konteks Indonesia, pengaruh hukum adat lebih kental, yakni meskipun masyarakat mayoritas beragama Islam, tetapi dalam masalah anak angkat kebanyakan lebih memilih adat dengan meninggalkan ketentuan nash- nash syara’.

Baca Juga:  Landasan Amaliah Aswaja: Bacaan Bilal Jumat Menjelang Khatib Naik Mimbar

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan kehidupan sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya berubah tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua nagkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Secara logika memposisikan anak angkat sebagai anak kandung, tentu saja tidak adil, sama tidak adilnya memberikan hak untuk mewarisi harta bapak angkatnya. Hal ini akan mengurangi hak ahli waris, yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan muwaris (pewaris). Anak angkat akan menerima hak kewarisan ayah kandungnya sendiri.

Dengan demikian, ia bisa menerima dua kali bagian, yaitu dari pihak bapak angkatnya dan dari pihak ayah kandungnya. Padahal ahli waris yang mempunyai hubungan langsung dengan pewaris hanya menerima satu kali bagian, dan itu telah berkurang dengan hak yang semestinya yang diterima jika anak angkat tidak ada. Islam tidak membenarkan praktek semacam ini karena tidak adil sekaligus menyakiti ahli waris yang berhubungan langsung dengan pewaris.

Baca Juga:  Bolehkah Menikah dengan Keponakan? Ini Penjelasannya

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 menentukan bahwa anak angkat dan orang tua angkatnya adalah penerima wasiat wajibah praktiknya dengan maksimum bagian sepertiga dari harta warisan.

Artinya, anatara anak angkat dan orang tua angkatnya mempunyai hak yang sah untuk menjadi penerima wasiat wajibah. Dengan demikian, secara legal, Kompilasi Hukum Islam mengakui bahwa anak angkat dapat mewarisi harta orang tua angkatnya dan orang tua angkatnya dapat pula mewarisi harta anak angkatnya, baik ada atau tidak ada wasiyat, akan tetapi perlu diingat bahwa kedudukan wasiat wajibah itu tetap terbatas sifatnya.


Hemat kami, pemberian harta waris kepada anak angkat, itu dipengaruhi oleh faktor hubungan kekeluargaan atau faktor sosial, sebagai bentuk kasih sayang kepada anak angkat, bahkan menjadi titik tekan yang melatari praktek pembagian harta waris tersebut.

Sehingga praktek tersebut dapat disimpulkan merupakan pergeseran hukum kearah yang lebih mengedepankan pertimbangan kemanusiaan. Sedangkan pemberian waris kepada anak angkat melalui wasiat wajibah dalam KHI didasarkan pada pertimbangan adat dan kemanusiaan bagi pemenuhan hak waris bagi anak angkat.

Baca Juga:  Mengeraskan atau Melirihkan Bacaan Shalat? Ini Penjelasannya!

Hal ini tidak terlepas dari tujuan syari’at, yang pada intinya adalah kemaslahatan , yang mana syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia . Adakalanya berbentuk sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan bagi manusia, atau berbentuk menyingkirkan sesuatu yang merusak dan membahayakan manusia.

وضع الشرائع انما هو لمصالح العباد في العاجل والأجل معا

“Syari’at dibuat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia baik didunia maupun di akhirat.”


Dalam kesimpulan tindakan yang dilakukan oleh keluarga, terkait dengan pemberian harta warisan kepada anak angkat, tidak keluar dari koridor tujuan-tujuan syari’ah (maqasid asy-syari’ah), yaitu dalam rangka khifdul nasal.