“Wekel Ngaji lan Jama’ah”: Petuah Kiai dalam Khazanah Islam Nusantara

Petuah Kiai dalam Khazanah Islam Nusantara

Pecihitam.org – Mustahil orang beragama tanpa berbudaya. Sebab segala yang tampak oleh mata kepala sangat sukar dinilai secara ontologis sebagai agama. Apa yang terlihat mata kepala, ia adalah produk pikir dan karya manusia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam ruang agama, ketika berbicara mengenai masjid dalam Islam, misalnya, ia adalah produk manusia. Fal masjid, adalah produk budaya; hasil karsa dan cipta manusia. Sebagai produk budaya, masjid memiliki transformasi baik bentuk arsitektur maupun fungsi sosialnya. Dari masa ke masa.

Busana dalam peribadatan umat Islam pun tak bisa lepas dari kebudayaan di mana Islam itu bergumul. Yang dituntut Islam bukan berpakaian seperti ini atau itu, tapi menutup aurat.

Kita bisa berdebat soal ini, tapi fakta bahwa seorang muslim ketika shalat pakaiannya berbeda-beda adalah bukti bahwa tidak ada tuntunan baku soal bentuk pakaian dalam Islam.

Relasi saling menopang dan menguatkan antara budaya dan Islam inilah menjadi salah satu titik pijak dan suara dakwah Islam Nusantara. Bahwa Islam tidak akan kuat tanpa melalui jalan kebudayaan.

Fakta historis menunjukkan, Walisongo merupakan pendakwah ulung dengan jalan kebudayaan, bahkan kerap satu produk budaya diislamkan. Tentu, pertimbangan teologis dan hukum Islam tak diabaikan. Tidak semua budaya lokal dirangkul.

Praktik dakwah Islam Walisongo diteruskan para kiai, khususnya kiai-kiai pesantren. Pesantren merupakan peninggalan Walisongo. Tak sekadar sebagai wujud peninggalan dalam bentuknya yang dinamis, pesantren secara genealogis keilmuan dan silsilah kekerabatan (keluarga) umumnya berhulu dari trah DNA Walisongo. Banyak kiai pesantren terlacak sebagai anak-turunan para Wali masyhur itu.

Baca Juga:  Islam Nusantara: Definisi, Sejarah Singkat dan Karakteristiknya

Corak dakwah Islam ala Walisongo itu hingga sekarang bisa ditemukan. Bagaimana budaya menjadi alat persebaran risalah Kanjeng Nabi Rasulullah SAW.

Tak sekadar dalam dunia Seni dengan gamelan dan wayangnya, pakem dakwah berbudaya itu juga bisa ditemukan dalam dunia kebahasaan baik verbal maupun tulis. Bahasa sebagai produk budaya tentu menjadi medium dakwah yang moncer. Sebab manusia adalah makhluk berbudaya.

Islam yang lahir dari Jazirah Arabia sana diterjemahkan melalui piranti bahasa agar mudah dipahami. Berbagai teks Islam berbahasa Arab dialihbahasakan ke lingua lokal. Contohnya adalah metode ngaji di pesantren-pesantren Jawa menggunakan Arab Pegon. Yakni bahasa Jawa yang menggunakan huruf hijaiyah (Arab).

Terminologi, adagium, aforisma, dan kalam-kalam hikmah dalam Islam yang memuat makna filosofis pun kemudian diformulasikan ke bahasa lokal.

Banyak sekali petuah-petuah bijak para kiai pesantren yang bertahun-tahun dikutip bahkan menjadi ciri khas tersendiri bagi pesantren milik kiai dan atau anak-turunan serta muridnya.

Misalnya petuah KH. Muhammad Sanusi al-Babakani (1904-1974 M.): “wekel ngaji supaya dadi wong pinter, wekel jama’ah supaya dadi wong bener”.

Baca Juga:  Hujjah Aswaja: Inilah Hukum Peringatan Haul dan Landasan Amaliahnya

Petuah Kiai Sanusi tersebut hingga sekarang dijadikan adagium sebagai pakem pesantren, baik milik anak keturunannya maupun santrinya yang menjadi kiai pesantren.

Kiai Sanusi adalah seorang ulama asal Cirebon yang khidmat pada Islam di PP. Raudlatuth Tholibin Babakan Ciwaringin Cirebon. Anak cucu beliau kemudian mendirikan pesantren.

Terbilang lebih dari empat pesantren yang didirikan dan kesemuanya menjadikan petuah Kiai Sanusi itu sebagai ciri khas pesantrennya; “wekel ngaji lan jama’ah”.

Fenomena ini jika dikait-temalikan dengan khazanah dakwah Walisongo bakal menemukan benang merahnya. Menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar memahami Islam memang bukan hal aneh.

Tapi, fakta bahwa terdapat banyak syair atau tembang karya Sunan Kalijaga yang memuat ajaran Islam adalah bukti bahwa Islam dan budaya (bahasa) saling mengisi satu sama lain.

Apa yang dilakukan Kiai Sanusi dengan petuahnya itu adalah bentuk bahwa bahasa sebagai produk budaya menjadi alat dakwah yang mangkus.

Alih-alih mengutip secara langsung berbagai petuah bijak dari ulama klasik berbahasa Arab, Kiai Sanusi memilih bahasa lokal sebagai piranti untuk menyelisipkan makna dalam ajaran Islam.

Bahwa dengan “wekel ngaji” seorang bakal menjadi pintar, dan dengan “wekel (salat) jama’ah” orang melatih dirinya menjadi orang berperangai baik, menjadi orang yang benar laku dan perkataannya.

Baca Juga:  Misteri Dibalik Syair Kidung Wahyu Kolosebo Karya Sri Narendra Kalaseba

Hal ini selaras dengan deskripsi orang bertakwa menurut santri Kiai Sanusi sendiri, yakni KH. Abdul Syakur Yasin Indramayu atau Buya Syakur, bahwa salah satu watak orang bertakwa adalah ia punya sikap sosialis atau piawai menjalin komunikasi sosial secara intens.

Hal itu didasarkan pada dalil quranik bahwa orang bertakwa adalah “yuqimuna al-shalat”. Frasa ini dimaknai secara progres oleh Buya Syakur sebagai orang-orang yang intens melakukan komunikasi sosial, sehingga seorang bertakwa punya sikap sosial yang tinggi.

Walhasil, mengapa banyak aktivis adat dan kebudayaan lebih dekat dan apresiatif dengan Islam Nusantara? Sebab Nahdlatul Ulama hadir bukan hendak mengajak suatu konfrontasi dengan kebudayaan lokal.

NU hadir dengan Islam Nusantaranya adalah ingin menegaskan (kembali) bahwa Islam dan kebudayaan lokal bisa hidup harmoni tanpa gampang melabeli satu praktik budaya dengan kata “musyrik” dan “kafir”.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *