Pecihitam.org<\/strong> – Ritual, satu kata yang dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan sekaligus sebagai bentuk simbolis terhadap suatu kepercayaan, dan tentu dalam melaksanakan suatu ritual tidak dilaksanakan begitu saja dan di waktu kapapun itu, karena faktanya yang namanya ritual akan memiliki aturan aturan tersendiri, baik dari segi waktu maupun kegiatan kegiatan yang akan dilakukan.<\/p>\n\n\n\n Sebagai Masyarakat Makassar-bugis (Sulawesi selatan) pastinya sangat paham benar mengenai berbagai ritual pra-islam yang bisa dikatakan sampai sekarang mungkin masih ada dan dipertahankan oleh beberapa kalangan masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Adapun bentuk-bentuk ibadah ritual pra-Islam pada masyarakat Sulawesi-Selatan ialah sebagai berikut.<\/p>\n\n\n\n Penyembahan pada Dewa Matahari dan Dewa Bulan<\/strong><\/p>\n\n\n\n Rupanya tidak hanya berada di kisah kisah terdahulu ataupun kepercayaan luar akan penyembahan dewa matahari dan bulan, karena faktanya sebagai masyarakat sulawesi selatan dulunya pun merupakan penyembah dewa matahari dan bulan. <\/p>\n\n\n\n Dalam Description Historique du Royaume de Macacar <\/em>ditulis dalam bahasa Perancis, Gervaise memberikan uraian tentang agama tua di Makassar. Menurut Gervaise orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah dewa Matahari dan Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari. <\/p>\n\n\n\n Sedangkan tempat rumah beribadah atau rumah suci tidak didapati, tentu hal ini menandakan bahwa upacara ibadah ataupun aktifitas lainnya dilakukan ditempat yang terbuka. <\/em><\/p>\n\n\n\n Pemujaan terhadap Kalompoang\/Arajang (Ornament) <\/strong><\/p>\n\n\n\n Arajang atau kalompoang, kata ini berartikan kebesaran baik itu yang dimaksudkannya pada suatu benda ataupun yang lainnya yang dianggap keramat atau suci. Dan tentu kepercayaan ini memiliki hubungan terhadap roh nenek moyang yang dipercaya dapat mendatangkan berkah, ataupun sejenis keselamatan. <\/p>\n\n\n\n Sebagai masyarakat yang sangat mempercayai hal ini tentu akan menganggap bahwa bentuk pelalaian atas pemujaan akan terkena kutuk, jadi yang terkena kutukan itu bukan cuman malin kundang, tapi sebagai Masyarakat yang melalaikan ritual pemujaan terhadap kalompoang pun berpotensi mendapatkan kutukan. <\/p>\n\n\n\n Selain itu ritual pra-islam ada yang dikenal pula dengan istilah pantasa’ (pantasa\u2019 ialah semacam ranjang tempat tidur atau semacam rumah rumahan yang bertiang, tingginya kira kira 70 atau 100 cm dan menggunakan kelambu yang kuning warnanya sebagai lambang dewa dewa dan memiliki tangga atau yang biasa disebut dengan sapana, tak lupa dalam pantasa\u2019 terdapat bantal kecil dan sehelai tikar kecil)<\/p>\n\n\n\n Perlu diketahui bahwa pantasa\u2019 disetiap malam Jum\u2019at lebih tepatnya lagi ketika matahari terbenam maka dinyalakanlah lilin yang terbuat dari kemiri, tentu ini bertujuan supaya leluruhur pada malam yang dianggap suci itu (malam Jumat) akan turun dan masuk ke dalam rumah rumah. <\/p>\n\n\n\n Sedangkan Arajang sendiri biasanya disimpan di tempat yang tinggi, yakni di atas loteng rumah. Benda ini hanya dapat dilihat sekali setahun atau pada suatu upacara kerajaan, seperti misalnya pada pelantikan raja baru, pada perkawinan keluarga raja, maka barulah kita bisa melihat arajang. <\/p>\n\n\n\n Arajang ini juga dapat dikeluarkan dari tempatnya jika negeri dalam keadaan tertimpa bencana, misalnya penyakit berjangkit, padi tidak jadi dan sebagainya maka arajang tersebut diarak keliling negeri.<\/p>\n\n\n\n Upacara pemujaan arajang secara besar-besaran dilakukan pada waktu padi akan diturunkan ke sawah, atau saat sesudah panen padi. Biasanya yang melakukan perihal ini adalah keluarga raja, kemudian datanglah para pengikut raja dan hamba sahaya raja dan sanak keluarga dan setelah itu barulah diikuti oleh rakyat umumnya baik yang tinggal di dalam lingkungan kerajaan maupun yang berada diluar kerajaan bahkan kepala raja dari luar daerah pun biasanya turut hadir menyaksikan upacara pemujaan ini. <\/p>\n\n\n\n Pemujaan terhadap Saukang<\/strong><\/p>\n\n\n\n Saukang, sejenis rumah rumah (Rumah kecil) yang didirikan diatas tonggak, tingginya kira kira 100 cm dari muka bumi. Besarnya kira kira 2 x 2 m atau bisa lebih kecil lagi, terbuat dari bambu dan tiangnya dari kayu. Atapnya terbuat dari nipa atau ijuk dan sejenisnya sedangkan dindingnya berasal dari anyaman begitupun dengan dasar lantai. <\/p>\n\n\n\n Pada masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam kepercayaan terhadap saukang yang dianggap sakti dan keramat sehingga berangkat dari pandangan ini tentu masyarakat percaya akan kekuatan ghaibnya, seperti misalnya “pusat bumi”, batu yang dianggap “yang empunya bumi”. Pohon yang dimuliakan karena dianggap memiliki kesaktian. Maka saukang ini diletakkan di dekat atau di samping batu, benda, pohon, dan sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Hampir sama dengan pemujaan terhadap kalompoang, Upacara terbesar pada pemujaan ini biasanya terjadi pada ketika selesai panen padi, maka oleh dukun atau pinati ditetapkanlah hari baik bulan baik untuk melakukan upacara pemujaan. <\/p>\n\n\n\n