Pecihitam.org<\/strong> – Memilah-milah ilmu menjadi ilmu Islam dan ilmu yang \u201ctidak\u201d Islam sebenarnya adalah perbuatan dosa dalam pemikiran mutakhir tentang pengetahuan. Sejak kehadiran modernisme Islam dan diketengahkannya wacana Islamisasi Pengetahuan oleh Ismal Raji al-Faruqi, dikotomi ilmu merupakan sesuatu yang tabu dalam dunia Islam modern, baik dalam bidang filsafat, teologi, fiqih, politik, ekonomi maupun pendidikan Islam.<\/p>\n\n\n\n Artikel ini tidak bermaksud untuk mendikotomikan ilmu, melainkan\nuntuk menggambarkan sebagian dari struktur ilmu-ilmu Islam dari dasarnya dan\nmencoba mengangkat kembali khazanah keilmuan Islam yang nampak merosot\npopularitasnya, khususnya di kalangan generasi muda. Sebuah paradoks bagi\nsemangat non-dikotomi ilmu.<\/p>\n\n\n\n Untuk mengidentifikasi mana saja ilmu-ilmu\nIslam itu perlu kiranya merujuk kepada sebuah Hadits Rasulullah Saw yang sudah\nsangat terkenal yang secara ringkas dipaparkan sebagai berikut:<\/p>\n\n\n\n Seorang lelaki datang menghampiri dan \u201c….duduk\ndi hadapan nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan\nkedua tangannya di atas kedua paha nabi<\/em>, kemudian ia berkata: \u201cHai,\nMuhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n Rasulullah menjawab, \u201dIslam adalah, engkau\nbersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah,\ndan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan\nzakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah,\njika engkau telah mampu melakukannya,\u201d….<\/em><\/p>\n\n\n\n Kemudian ia bertanya lagi: \u201cBeritahukan\nkepadaku tentang Iman\u201d. Nabi menjawab, \u201dIman adalah, engkau beriman kepada\nAllah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman\nkepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,\u201d….<\/em><\/p>\n\n\n\n Dia bertanya lagi: \u201cBeritahukan kepadaku\ntentang ihsan\u201d. Nabi menjawab,\u201dHendaklah engkau beribadah kepada Allah\nseakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya\nDia melihatmu.\u201d…<\/em><\/p>\n\n\n\n Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya kepadaku: \u201cWahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?\u201d Aku menjawab, \u201dAllah dan RasulNya lebih mengetahui,\u201d Dia bersabda, \u201dDia adalah Jibril<\/em><\/a> yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.<\/em>\u201d (HR. Muslim)<\/p>\n\n\n\n Hadits tersebut dapat difahami sebagai\ngambaran tentang tiga dimensi utama ajaran agama Islam, yakni Islam, Iman dan\nIhsan. Yang dimaksud \u201cIslam\u201d adalah dimensi syari\u2019at atau ajaran tentang\npraktek ibadah kepada Allah yang tertuang dalam aturan-aturan hukum.<\/p>\n\n\n\n Yang dimaksud \u201cIman\u201d adalah dimensi ketuhanan\natau teologi, yakni keyakinan kepada Allah dan segala hal yang berkaitan\ndengan-Nya, seperti keberadaan malaikat, firman-firman-Nya, kenabian, hari\nakhir dan segala peristiwa seputarnya yang dikenal dengan sam\u2019iyyat<\/em>,\nserta perbuatan Tuhan menentukan nasib makhluk-makhluk-Nya. Adapun yang\ndimaksud \u201cIhsan\u201d adalah dimensi spiritual atau hubungan keruhanian antara Tuhan\ndan manusia.<\/p>\n\n\n\n Guna menghasilkan individu muslim yang saleh,\nmasing-masing dari ketiga dimensi inti ajaran Islam di atas dapat diselami oleh\numat Islam melalui bangunan-bangunan ilmu yang telah disusun oleh para ulama\ndan lmuwan Islam.<\/p>\n\n\n\n Dimensi syari\u2019at diwakili oleh ilmu Fiqih.\nDalam definisi umumnya Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syari\u2019at yang jalan\nmenuju keputusan hukum itu adalah suatu upaya sungguh-sungguh yang secara\ndefinitif disebut dengan ijtihad<\/em>. Untuk kepentingan upaya penetapan\nkeputusan hukum, Fiqih didukung oleh ilmu Ushul Fiqih yang memuat kaidah-kaidah\ndalam penetapan hukum fiqih.<\/p>\n\n\n\n Subjek ilmu ini tentunya adalah\nkeputusan-keputusan yuridis terhadap objek Fiqih, yakni segala perbuatan fisik\nmanusia, terdiri dari perbuatan ritual (\u2018ibadah<\/em>) dan hubungan sesama\nmanusia (mu\u2019amalah<\/em>), yang dibuktikan kenyataannya melalui pengalaman\nempiris. Dengan demikian, perasaan dan pikiran manusia bukanlah sasaran hukum\nFiqih.<\/p>\n\n\n\n