PeciHitam.org<\/strong> \u2013 Dalam artikel sebelumnya tentang tujuan dasar syari’at sudah sedikit kita singgung tentang beberapa point penting tentang syariat yaitu untuk menjaga dan menata kehidupan manusia. Hal ini juga berlaku untuk menata kehidupan sosial manusia dalam sebuah komunitas.<\/p>\n Manusia merupakan makhluk ekonomi. Manusia juga dikenal sebagai makhluk sosial. Untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang ekonomi dan sosial, manusia melakukan kontak dan kontrak sosial dengan sesamanya.<\/p>\n Kontrak sosial dengan lawan jenisnya mewujud dalam bentuk ikatan pernikahan. Kontrak sosial dengan tetangga mewujud dalam jalinan ikatan kemasyarakatan dan negara.<\/p>\n Karena adanya kontrak sosial inilah maka segala bentuk kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan manusia yang lain. Pada akhirnya muncullah yang dinamakan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara.<\/p>\n Interaksi antara penjagaan maslahah pokok setiap individu menjadi saling tarik ulur dengan kewajiban dan kebutuhan penjagaan maslahah pokok individu yang lain. Maslahat pokok ini kita sebut pada kajian yang lalu sebagai maslahah dlaruriyah atau maslahat primer.<\/p>\n Karena adanya tarik ulur akibat interaksi, maka dibutuhkanlah rumusan maslahat sekunder yaitu sebagai aturan bersama yang bersifat memudahkan bagi terwujudnya maslahat primer dengan tidak meninggalkan sisi kerukunan antar sesama serta berupaya menghilangkan sisi kesulitan setiap individu dalam mewujudkan maslahat primer untuk dirinya sendiri.<\/p>\n Maslahat yang terakhir ini disebut dengan maslahah h\u00e2jiyah atau kita tengarai saja sebagai maslahat sekunder (tujuan dasar syari\u2019at yang bersifat sekunder bukan primer seperti ditulisan sebelumnya).<\/p>\n \u0648\u0623\u0645\u0627 \u0627\u0644\u062d\u0627\u062c\u064a\u0627\u062a \u0641\u0645\u0639\u0646\u0627\u0647\u0627 \u0623\u0646\u0647\u0627 \u0645\u0641\u062a\u0642\u0631 \u0625\u0644\u064a\u0647\u0627 \u0645\u0646 \u062d\u064a\u062b \u0627\u0644\u062a\u0648\u0633\u0639\u0629 \u0648\u0631\u0641\u0639 \u0627\u0644\u0636\u064a\u0642 \u0627\u0644\u0645\u0624\u062f\u064a \u0641\u064a \u0627\u0644\u063a\u0627\u0644\u0628 \u0625\u0644\u0649 \u0627\u0644\u062d\u0631\u062c \u0648\u0627\u0644\u0645\u0634\u0642\u0629 \u0627\u0644\u0644\u0627\u062d\u0642\u0629 \u0628\u0641\u0648\u062a \u0627\u0644\u0645\u0637\u0644\u0648\u0628 \u0641\u0625\u0630\u0627 \u0644\u0645 \u062a\u0631\u0627\u0639 \u062f\u062e\u0644 \u0639\u0644\u0649 \u0627\u0644\u0645\u0643\u0644\u0641\u064a\u0646 – \u0639\u0644\u0649 \u0627\u0644\u062c\u0645\u0644\u0629 – \u0627\u0644\u062d\u0631\u062c \u0648\u0627\u0644\u0645\u0634\u0642\u0629 \u060c \u0648\u0644\u0643\u0646\u0647 \u0644\u0627 \u064a\u0628\u0644\u063a \u0645\u0628\u0644\u063a \u0627\u0644\u0641\u0633\u0627\u062f \u0627\u0644\u0639\u0627\u062f\u064a \u0627\u0644\u0645\u062a\u0648\u0642\u0639 \u0641\u064a \u0627\u0644\u0645\u0635\u0627\u0644\u062d \u0627\u0644\u0639\u0627\u0645\u0629<\/strong><\/p>\n Artinya: \u201cAdapun\u00a0h\u00e2jiyat, bermakna suatu tindakan yang dibutuhkan untuk tujuan memberi kelonggaran serta menghilangkan kesempitan, yang diaplikasikan pada faktor penyebab timbulnya kesulitan dan\u00a0masyaqqah\u00a0(berat) bagi tercapainya tujuan yang dicari. Apabila hal ini tidak diterapkan, maka sudah pasti dapat menyebabkan orang-orang mukallaf secara umum jatuh pada kesulitan dan masyaqqah. Namun, tindakan (memperlonggar) ini dimaksudkan tidak sampai menimbulkan kerusakan yang besar dan mengakibatkan gangguan pada kemaslahatan umum masyarakat.\u201d (Al-Syathibi,\u00a0al-Muw\u00e2faq\u00e2t, Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2\/14)<\/p>\n Sebagai contoh misalnya adalah sholat jama\u2019 dan shalat qashar. Sebagaimana kita tahu bahwa pada dasarnya shalat jama\u2019 juga boleh dilakukan untuk orang yang terbiasa pergi ke masjid namun karena adanya faktor penghalang yang menyebabkan ia tidak bisa hadir, misalnya karena hujan deras, atau lingkungan yang banjir, maka ia boleh mengumpulkan sholat yang pertama di waktu sholat yang kedua. Pengumpulannya ini disebut dengan jama\u2019.<\/p>\n Syariat juga membenarkan bahwa dalam kondisi safar (bepergian), maka seorang individu musafir dibenarkan melakukan\u00a0rukhshah\u00a0shalat dengan jalan melakukan jama\u2019-qashar, dan berbuka \/ tidak berpuasa, meskipun di bulan Ramadhan.<\/p>\n Kedua praktik ini pada dasarnya memberi kesan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai oleh syariat adalah individu pelaku tetap bisa melangsungkan ibadahnya (terjaga agamanya), dan menghilangkan masyaqqah (kesulitan) akibat ia harus memenuhi tanggung jawabnya dengan jalan safar (penjagaan jiwa, akal dan harta). Ketiadaan safar merupakan sebab hilangnya rukhshah (dispensasi syariah).<\/p>\n Dalam praktik ekonomi misalnya ada sebuah contoh yang digambarkan, misalnya dengan adanya seorang sahabat Nabi yang datang ke masjid untuk bersegera melakukan jamaah sholat dan waktunya sudah mepet. Karena sahabat tersebut datang dengan mengendarai unta, maka perintah Nabi kepada sahabat tersebut adalah agar untanya ditambatkan terlebih dahulu sebelum ia masuk ke masjid.<\/p>\n Tujuan dari menambatkan ini pada dasarnya adalah sebagai teladan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memperhatikan konsepsi penjagaan harta. Konsepsi yang sama bisa kita qiyaskan (dianalogikan) untuk kasus harta yang lain, suatu misal sandal, atau tas dan barang-barang jamaah yang datang ke masjid, sehingga dibenarkan apabila dibuka jasa penitipan barang seiring upaya penjagaan tersebut.<\/p>\n Dengan kata lain, keberadaan jasa penitipan atau bahkan parkiran, semata adalah demi kenyamanan jamaah dalam menjalankan ibadahnya. Namun, masalah ini adalah masuk rumpun masalah sekunder, yang artinya tidak semua masjid harus menerapkan hal yang sama kepada jamaahnya. Artinya kebijakan ini berlaku seiring ada pertimbangan memudahkan jamaah dalam mengamankan barangnya dan melaksanakan ibadahnya.<\/p>\n Walhasil, mashlahah dlaruriyah (tujuan dasar syari\u2019at yang bersifat primer atau utama) menduduki strata pertama yang harus diperhatikan. Adapun hal yang mendukung bagi terpenuhinya maslahah dlaruriyah tersebut adalah masuk unsur maslahah h\u00e2jiyah dan boleh dipenuhi kemudian bila dibutuhkan bagi terlaksananya maslahah primer.<\/p>\n Dalam dunia ekonomi, biasanya ciri dari tercapainya maslahat primer dan sekunder ini adalah adanya kepuasan dari seorang individu karena tercapai semua maksudnya. Pasca ketercapaian maksud inilah yang selanjutnya diperhatikan dalam kajian maslahah tahs\u00eeniyyah.<\/p>\n