Pecihitam.org <\/strong>– Apa sih NU itu? NU merupakan singkatan dari Nahdlatul Ulama. NU adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, mempunyai makna penting dan ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Seagai organisasi berwatak keagamaan Ahlussunnah wal Jamaah, maka NU menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang ada di sekitarnya. NU tidak pernah berfikir menyatukan apalagi menghilangkan mazdhab-mazdhab keagamaan yang ada.<\/p>\n\n\n\n Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal. NU berakulturasi dan berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Dengan demikian NU memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup di Republik tercinta ini.<\/p>\n\n\n\n Sikap ini sesuai dengan inti faham keislaman NU yang sejalan dengan dengan hadits Nabi Muhammad SAW : “Al-hikmatu dlaallatul mu’min, fahaitsu wajadaha fahuwa ahaqqu biha.” <\/strong><\/em>Hikmah atau nilai-nilai positif untuk umat Islam, darimanapun asalnya ambillah karena itu miliknya umat Islam.<\/p>\n\n\n\n Proses akulturasi tersebut telah menampilkan wajah Islam yang keindonesiaan, wajah yang ramah terhadap nilai budaya lokal dan terbuka dengan nilai-nilai universal yang positif. NU juga menghargai perbedaan agama, tradisi, dan kepercayaan, yang merupakan yang merupakan warisan budaya Nusantara. Sikap yang demikian inilah yang memudahkan NU diterima di semua lapisan masyarakat di seluruh kepulauan Nusantara. (Lihat di buku hasil-hasil muktamar NU, Pidato Rais Aam PBNU KH. A.M. Sahal Mahfudz Pada Pembukan Muktamar ke-32).<\/em><\/p>\n\n\n\n Dalam bermasyarakat, NU mempunyai empat sikap kemasyarakatan:<\/p>\n\n\n\n Kelahiran NU sebagai organisasi tak bisa dilepaskan dari dua organisasi yang hadir sebelumnya yaitu Nahdatul Wathan (1914) dan Taswirul Afkar (1918). Kedua organisasi itu berdiri di Surabaya. Nahdatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) merupakan organisasi yang aktif di bidang pendidikan dan dakwah, sementara Taswirul Afkar (Kebangkitan Pemikiran) lebih ke bidang sosial.<\/p>\n\n\n\n Dua organisasi ini kemudian mendirikan lagi satu organisasi untuk memperbaiki ekonomi rakyat, yaitu Nahdlatul Tujjar (Gerakan Kaum Saudagar). Karena muncul dengan berbagai organisasi yang bersifat embrional, maka diputuskan untuk membuat organisasi yang lebih mencakup semua bidang dan lebih sistematis.<\/p>\n\n\n\n Pada saat yang bersamaan, terdapat juga pertemuan Internasional yang membahas soal khilafah di Hijaz pada 1926. Saat itu, delegasi Indonesia tak diwakili oleh ulama beraliran tradisionalis. Delegasi Indonesia diwakili oleh H.O.S Tjokroaminoto (Serikat Islam) dan K.H Mas Mansur (Muhammadiyah).<\/p>\n\n\n\n Kaum tradisionalis akhirnya membuat pertemuan sendiri untuk menentukan delegasi yang akan dikirim ke Hijaz. Dibentuklah Komite Hijaz dengan mengatasnamakan diri sebagai Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang diketuai oleh K.H Hasyim Asy\u2019ari<\/a><\/strong>, dan wakilnya adalah K.H Dahlan Ahyad. Serta satu tokoh lain yang cukup berperan adalah K.H Wahab Chasbullah sebagai sekretaris.<\/p>\n\n\n\n Dalam faham keagamaan, NU menganut Ahlussunnah Waljama’ah, sebuah pola nalar dalam Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta Sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin. Cara berfikir semacam itu dirujuk dari Ulama terdahulu, seperti Abu Hasan al- Asyari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang tauhid (teologi). Kemudian dalam bidang fiqih mengikuti empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Imam Al-Ghazali dan Imam Junaidi Al- Bagdadi, yang menginterasikan antara tasawuf dengan syariat. <\/p>\n\n\n\n Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi NU, K.H Hasyim Asy\u2019ari merumuskan kitab Qanun Asasi dan kitab I\u2019tiqad Ahlussunah Wal Jamaah. Kedua khitab tersebut menjadi kitab pedoman dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, poltik dan agama.<\/p>\n\n\n\n Pada sejarah masa awal berdirinya, NU sudah berupaya melakukan usaha-usaha memajukan masyarakat Indonesia. Saat itu Indonesia masih dalam jajahan Belanda, NU telah mendirikan banyak madrasah dan pesantren. Selain itu, beberapa kegiatan yang menonjol antara lain mendirikan lembaga Ma\u2019arif (1938) untuk koordinasi kegiatan pendidikan, mendirikan koperasi di Surabaya (1929) dan mendirikan Syirkah Mu\u2019awanah (1937) yang merupakan kelanjutan dari lembaga Ma\u2019arif.<\/p>\n\n\n\n Sampai pada 1942, NU sudah tersebar sebanyak 120 cabang yang ada di Pulau Jawa. Nahdlatul Ulama menitikberatkan pada perlunya pendidikan yang mendalami ilmu agama karena NU berangkat dari pesantren. Oleh karena itu, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan.<\/p>\n\n\n\n Pada Maret 1942, kekuasaan Belanda resmi berakhir dan digantikan oleh Jepang. Awalnya, Jepang dianggap baik karena mengaku sebagai saudara tua, namun lama-kelamaan sikapnya tidak lebih baik dari Belanda. Jepang akhirnya mengeluarkan aturan untuk membekukan segala aktivitas organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Dalam sejarah tersebut NU menjadi salah satu organisasi yang terkena imbasnya. Bahkan K.H Hasyim Asy\u2019ari sempat ditahan oleh Jepang karena menolak untuk melakukan Seikerei (ritual penghromatan kepada dewa Matahari).<\/p>\n\n\n\n Dengan dibekukannya NU, maka aktivitas perjuangan NU teralih ke jalur diplomasi, Adalah sang putra dari K. H Hasyim Asy\u2019ari, K.H Abdul Wahid Hasyim yang masuk anggota parlemen buatan Jepang (Chuo Sangi-In). Wahid Hasyim mendesak Jepang agar NU diaktifkan kembali.<\/p>\n\n\n\n Pada Oktober 1943, akhirnya NU aktif kembali. Perjuangan umat Islam dilanjutkan dengan awadah baru yang bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang diketuai oleh K.H Hasyim Asy\u2019ari dan K.H Wahid Hasyim jadi wakilnya. Wahid Hasyim meminta secara khusus kepada Jepang untuk melatih kemiliteran para santri melalui Masyumi ini. Permintaan tersebut dikabulkan dan akhirnya dibentuk Hizbullah dan Sabilillah. Padahal nantinya, pasukan militer santri ini memberikan perlawanan terhadap Jepang.<\/p>\n\n\n\n Selain Masyumi, Wahid Hasyim juga aktif di Shumubu (Kantor Urusan Agama buatan Jepang). Ia menjadi pimpinan tertinggi Shumubu menggantikan sang ayah K.H Hasyim Asy\u2019ari yang lebih dulu jadi ketua. Aktivitas NU pada masa pendudukan Jepang lebih berfokus kepada perjuangan membela tanah air baik fisik maupaun politik. NU juga tak lagi membatasi diri sebagai organisasi kemasyarakatan, tetapi juga masuk ke ranah politik.<\/p>\n\n\n\n Dalam sejarah kemerdekaan, NU memegang peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Hal ini terlihat dari perlawanan warga NU terhadap pasukan sekutu yang datang lagi ke Indonesia, sebulan setelah peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Saat Inggris yang tergabung dengan NICA (Netherland Indies Civil Administration) akan menyerang Surabaya pada Oktober 1945, warga NU melakukan perlawanan dengan berkumpul dan menyerukan Resolusi Jihad.<\/p>\n\n\n\n Resolusi Jihad merupakan pernyataan bahwa perjuangan merdeka adalah Perang Suci (jihad). Resolusi ini sekaligus menolak kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui kekuatan suatu pemerintah republik baru. Resolusi Jihad benar-benar menginspirasi bagi bekobarnya peristiw 10 November 1945 di Surabaya yang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Beberapa aksi Resolusi Jihad NU juga menentang perjanjian yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Liggarjati (1948) dan Konferensi Meja Bundar (1949).<\/p>\n\n\n\n Muktamar NU ke-16 pada 1946 di Puwokerto merupakan titik balik langkah NU terjun ke ranah politik. Adanya maklumat pemerintah No. X yang berisi anjuran soal berdirinya partai-partai politik menyebabkan NU memutuskan bergabung dengan partai politik Masyumi. NU pun dapat memperluas peran ulama melalui politik. <\/p>\n\n\n\n Beberapa tokoh NU menduduki jabatan di Masyumi antara lain K.H Hasyim Asy\u2019ari sebagai Ketua Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan), Wahid Hasyim (wakil menteri Masyumi), Masjkur (wakil menteri Masyumi), K.H Fathurrahman Kafrawi (wakil menteri) dan Wahab Chasbullah (Dewan Pertimbangan Agung).<\/p>\n\n\n\n Majelis Syuro yang dipegang jabatannya oleh tokoh NU ini punya peran penting dalam Masyumi, di antaranya:<\/p>\n\n\n\n Pada 1952, akhirnya NU memutuskan keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Keputusan ini dipilih untuk mencapai tujuan yakni membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai Islam dan organisasi Islam yang tergabung dengan Masyumi dapat berjuang bersama-sama. NU merekrut tokoh-tokoh bartu seperti H. Jamaluddin Malik dan K.H Idham Chalid.<\/p>\n\n\n\n NU juga membentuk Liga Muslimin Indonesia pada 30 Agustus 1952. Dengan menjalin persatuan dengan PSSI, Perti dan Darud Da\u2019wah wal-Irsyad, NU berusaha untuk mencapai masyarakat islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah SWT dan sunnah rasul.<\/p>\n\n\n\n Sebagai partai politik baru, NU cukup sukses dalam pemilihan umum 1955. NU mendapat total 6,9 juta suara dan mendapatkan 45 kursi di parlemen. Kesuksesan ini tidak lain karena basis NU yang sangat banyak di pedesaan. Keberhasilan ini juga sebagai bukti kaum tradisional bisa menyatakan aspirasinya sehingga mampu mendapat temoat dalam kehidupan berbangsa. Sebagai partai, NU juga berhasil melembagakan peran ulama dalam parlemen, seperti menguasai departemen Agama yang terjadi hingga kini.<\/p>\n\n\n\n Pada periode sejarah tahun 1959 hingga 1966, NU secara terbuka menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno. NU masih mempertimbangkan \u201cfiqhiyah\u201d yang artinya Jika terjadi benturan antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya.<\/p>\n\n\n\n NU juga tampil menjadi kekuatan yang memerangi keras komunisme. Beberapa organisasi dibentuk antara lain Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) dan Persatuan Petani NU (Pertanu).<\/p>\n\n\n\n Puncaknya adalah peristiwa G 30 S PKI. NU menjadi partai politik pertama yang mendesak Presiden Soekarno membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap tegas ini dikeluarkan pada 5 Oktober 1965 saat sebagian besar masyarakat Indonesia masih ragu-ragu siapa yang menjadi dalang di balik peristiwa G 30 S PKI.<\/p>\n\n\n\n NU secara terang-terangan menyatakan akan kembali ke khittahnya sebagai jam\u2019iyah pada periode ini, Pada Muktamar NU 1979, NU Menyatakan kembali menjadi organisasi keagamaan seperti saat awal berdiri pada 1926.<\/p>\n\n\n\n Hal ini tidak bisa dilepaskan dari proses bergabungnya partai NU ke PPP. Selain itu, juga banyaknya kekecewaan yang muncul menyertai perjalanan politik NU, semakin mendorong NU kembali khittahnya. Meski demikian, anggota NU tetap bisa ikut serta dalam ranah politik secara perseorangan.<\/p>\n\n\n\n Sebelumnya, proses penggabungan partai politik awalnya terjadi pada 1973. Semua parpol tergabung dalam dua kutub besar, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). NU bersama partai-partai Islam disatukan dalam PPP bersama Parmusi, PSII dan Perti. Sedangkan kutub PDI diisi oleh PNI, IPKI, Parkindo, Partai Katolik dan Partai Murba.<\/p>\n\n\n\n Layaknya di Masyumi pada masa pasca-kemerdekaan, hubungan PPP dan NU sangat kuat. Namun seiring berjalannya waktu, hubungan tersebut memburuk. Salah satu tokoh NU yang bisa mengatasi kisruh di dalam PPP adalah K.H Bisri Sansuri.<\/p>\n\n\n\n Seperti sebagai contoh, saat adanya pengajuan RUU Perkawinan, K.H Bisri menolak adanya RUU tersebut lantaran berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam. Namun karena wibawa yang dimiliki K.H Bisri maka masalah tersebut bisa terselesaikan. Banyak yang menilai setelah K.H Bisri tak ada lagi sosok yang bisa menyelesaikan konflik di PPP.<\/p>\n\n\n\n Khittah ke NU 1926 otomastis membuat NU keluar dari PPP. Walau tetap membebaskan anggotanya terjun ke dunia politik, NU melarang anggotanya untuk rangkap jabatan dengan organisasi lain. Dalam Musyawarah Nasional 1983, NU mengeluarkan larangan perangkapan jabatan pengurus NU dengan jabatan pengurus organisasi politik. Dasar pertimbangan larangan tersebut salah satunya adalah bahwa perangkapan jabatan berakibat terbaginya perhatian dan kesungguhan melaksanakan tugas keagamaan sosial yang menjadi khittah NU.<\/p>\n\n\n\n Di saat pemerintahan Orde Baru memberlakukan asas tunggal, yakni Pancasila, NU juga memberikan dukungan penuh. Hal ini terbukti pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, keputusannya berbunyi \u201cNahdlatul Ulama berasaskan Pancasila. Nahdlatul Ulama sebagai Jam\u2019iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah megikuti salah satu dari empat mahzab, Hanafi, Syafi\u2019i, Maliki dan Hambali.\u201d<\/p>\n\n\n\nSejarah Lahirnya NU<\/strong><\/h4>\n\n\n\n
Sejarah NU Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)<\/strong><\/h4>\n\n\n\n
Sejarah NU Masa Kemerdekaan (1945)<\/strong><\/h4>\n\n\n\n
Sejarah NU Masa Pasca Kemerdekaan – Orde Lama (1946-1966)<\/strong><\/h4>\n\n\n\n
Sejarah NU Masa Orde Baru (1966-1995)<\/strong><\/h4>\n\n\n\n
Sejarah NU Masa Reformasi (1995-1998)<\/strong><\/h4>\n\n\n\n