Pecihitam.org<\/strong> – Ketika menghina orang tua dihukumi dosa, maka kita juga berdosa jika menghina pemimpin, yang kalau di negara kita biasa disebut dengan presiden. Karena pemimpin negara\/presiden juga orang tua kita. <\/p>\n\n\n\n Orang tua bukan hanya yang melahirkan kita. Karena, dalam hidup sebagai orang beragama dan berbangsa, setidaknya manusia punya empat orang tua. <\/p>\n\n\n\n Pertama, orang rang tua biologis, yaitu bapak dan ibu yang melahirkan kita. Kedua, orang tua ideologis yang merujuk kepada para guru yang mendidik kita. <\/p>\n\n\n\n Ketiga, orang tua marital atau mertua. Keempat, orang tua yang memimpin negeri, di sini kita sebut Presiden RI. <\/p>\n\n\n\n Nah, karena masuk kategori orang tua juga, maka jangan menghina presiden kita.<\/p>\n\n\n\n Kita buat perumpamaan. Kita hidup dari kecil dibiayai oleh orang tua. Jika suatu saat kita dijanjikan sepeda motor pada bulan yang ditentukan, tapi bapak kita tidak bisa menepati janjinya dan berkata: “Belum bisa beli sekarang, Nak. Adikmu lagi sakit, butuh biaya operasi puluhan juta”. <\/em>Apakah kita akan hina dan marah-marah padanya dengan berkata: “Bapak bohong, bapak munafik, bapak ingkar janji”<\/em>. Tentu tidak ‘kan?<\/p>\n\n\n\n Begitu pula dengan presiden sebagai pemimpin kita. Ketika janjinya tidak terealisasi tepat waktu, jangan langsung hujat pembohong, munafik, pinokio dan kata-kata nista lainnya. <\/p>\n\n\n\n Mungkin saja dana yang awalnya dianggarkan untuk suatu program dialihkan untuk penanggulangan bencana longsor, gempa, Tsunami dan hal-hal aksidensil lain yang tak terencana sebelumnya. <\/p>\n\n\n\n Kita harus sama-sama mengerti, tidak boleh egois. Karena mereka yang tertimpa musibah juga saudara kita. Bahkan dalam agama, membantu mereka yang tertimpa musibah mesti diprioritaskan ketimbang merealisasikan program maslahah yang tidak begitu mendesak, semisal membuat mobil nasional. <\/p>\n\n\n\n Kaidah Fiqhnya<\/p>\n\n\n\n \u062f\u064e\u0631\u0652\u0621\u064f \u0627\u0644\u0652\u0645\u064e\u0641\u064e\u0627\u0633\u0650\u062f\u0650 \u0623\u064e\u0648\u0652\u0644\u064e\u0649 \u0645\u0650\u0646\u0652 \u062c\u064e\u0644\u0652\u0628\u0650 \u0627\u0644\u0652\u0645\u064e\u0635\u064e\u0627\u0644\u0650\u062d\u0650<\/strong><\/p>\n\n\n\n \u201cMenghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n Jadi jangan langsung tuduh munafik karena dianggap ingkar janji. Dalam kondisi demikian jika seorang pemimpin tidak menepati janji tidak bisa dikatakan munafik. Imam Al-Ghazali<\/a><\/strong> menulis dalam kitab Ihya<\/em>‘ tentang maksud ingkar janji sebagai tanda munafik yang disebutkan dalam hadis Nabi<\/p>\n\n\n\n \u0648 \u0647\u0630\u0627 \u064a\u0646\u0632\u0644 \u0639\u0644\u0649 \u0645\u0646 \u0648\u0639\u062f \u0648 \u0647\u0648 \u0639\u0644\u0649 \u0639\u0632\u0645 \u0627\u0644\u062e\u0644\u0641 \u0623\u0648 \u062a\u0631\u0643 \u0627\u0644\u0648\u0641\u0627\u0621 \u0645\u0646 \u063a\u064a\u0631 \u0639\u0630\u0631 \u0641\u0623\u0645\u0627 \u0645\u0646 \u0639\u0632\u0645 \u0639\u0644\u0649 \u0627\u0644\u0648\u0641\u0627\u0621 \u0641\u0639\u0646 \u0644\u0647 \u0639\u0630\u0631 \u0645\u0646\u0639\u0647 \u0645\u0646 \u0627\u0644\u0648\u0641\u0627\u0621 \u0644\u0645 \u064a\u0643\u0646 \u0645\u0646\u0627\u0641\u0642\u0627<\/strong><\/p>\n\n\n\n