Pecihitam.org<\/strong> – Seiring berkembangnya dunia telekomunikasi seperti internet di kalangan masyarakat, sekarang timbul adanya budaya baru yang cukup trend yaitu menghasilkan uang secara instan dan mudah, misalnya seperti bermain trading forex atau jual beli mata uang asing. Pertanyaannya adalah, bagaimanakah hukum trading Forex dan yang semacamnya dalam pandangan islam?.<\/p>\n\n\n\n Sudah kita ketahui pada dasarnya Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Terkait dengan hukum transaksi jual beli via eletronik, Muktamar NU ke-32 di Makassar pada tahun 2010 menyatakan boleh dilakukan manakala barang yang diperdagangkan (mabi\u2019) memiliki unsur yang jelas menurut ciri dan sifatnya secara urfy. Jika hal ini dibawa pada kasus perdagangan kurs mata uang, maka nilai kurs yang diketahui oleh masing-masing pihak penjual dan pembeli dalam pasar bursa valuta merupakan bagian dari \u2018urfy tersebut.<\/p>\n\n\n\n Forex (foreign exchange) pada dasarnya merupakan transaksi tukar menukar valuta (mata uang asing). Dan hukum trading forex atau tukar-menukar mata uang asing “di pasar tunai”<\/em> pada dasarnya adalah boleh. Di garis bahawi kembali kebolehan ini berlaku di pasar tunai. Hal ini berangkat dari makna dhahir hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Kitab Al-Buyu\u2019:<\/p>\n\n\n\n \u0648\u0628\u064a\u0639\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0630\u0647\u0628 \u0628\u0627\u0644\u0641\u0636\u0629 \u0648\u0627\u0644\u0641\u0636\u0629 \u0628\u0627\u0644\u0630\u0647\u0628 \u0643\u064a\u0641 \u0634\u0626\u062a\u0645<\/strong><\/p>\n\n\n\n Artinya, \u201cDagangkanlah emas dengan perak dan perak dengan emas sekehendakmu.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n Kemudian, berangkat dari hal diatas, kita perlu melihat dulu bagaimna sistem perdagangan forex di pasar onlinenya. Apakah sistem ini cukup memenuhi rukun jual beli atau tidak? Kita harus menelitinya terlebih dahulu.<\/p>\n\n\n\n Sebuah transaksi jual beli diperbolehkan manakala barang yang diperjualbelikan adalah bukan barang yang haram, tidak terdapat unsur menipu, menyembunyikan hal yang cacat, dan mengandung unsur judi (maisir) atau spekulatif. Maksud dari spekulatif ini ialah semacam tebak menebak harga. Kalau beruntung mendapatkan barang yang bagus, kalau tidak beruntung mendapatkan barang yang jelek. Syekh Yusuf Al-Qaradhawy dalam Kitab Al-Halal wal Haram halaman 273 menjelaskan:<\/p>\n\n\n\n \u0627\u0644\u0645\u064a\u0633\u0631\u0640\u0640\u0640 \u0647\u0648 \u0643\u0644 \u0645\u0627 \u0644\u0627 \u064a\u062e\u0644\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0644\u0627\u0639\u0628 \u0641\u064a\u0647 \u0645\u0646 \u0631\u0628\u062d \u0623\u0648 \u062e\u0633\u0627\u0631\u0629<\/strong><\/p>\n\n\n\n Artinya, \u201cAl-maisir adalah segala sesuatu yang memungkinkan seorang pemain mengalami untung atau rugi.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n Umumnya unsur spekulatif didasari karena \u201ctidak diketahuinya harga atau tidak ada transparansi harga\u201d saat pembeli memutuskan membeli dengan saat diterimanya barang pembelian.<\/p>\n\n\n\n Imam Nawawi<\/a><\/strong> dalam Kitab Al-Majmuk Syarah Al-Muhadzdzab<\/a><\/strong> menyebut transaksi seperti model ini sebagai bai\u2019u hablil hablah, yaitu jual beli kandungannya anak yang masih ada di dalam kandungan. Madzhab Syafi\u2019i dan himpunan para ahli ushul menyebutkan bahwa jual beli semacam ini adalah bathil dan dilarang, hal ini disebabkan adanya perbedaan harga saat awal transaksi dengan saat diterimanya barang.<\/p>\n\n\n\n