Pendiri gerakan Wahabi, Muhammad bin \u2018Abdul Wahhab, berasal\ndari keluarga klan Tamim yang menganut madzhab Hambali, dan sangat terpengaruh\noleh tulisan-tulisan seorang ulama bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah yang\nhidup di abad ke-14 M.<\/p>\n\n\n\n

Sebelum menjadi mubaligh, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang motifnya tidak begitu jelas. Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum (Iran), Afghanistan serta India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi.<\/p>\n\n\n\n

Setelah berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni ataupun Syi\u2019ah.<\/p>\n\n\n\n

Sebagian peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan murni. Mereka mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Salah satunya adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam makalahnya yang berjudul \u201cBritain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud\u201d, ia mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.<\/p>\n\n\n\n

Dalam \u201cConfession of a British Spy\u201d, demikian judul memoar\ntersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk menggoyang\nkekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di\nantara kaum Muslim.<\/p>\n\n\n\n

Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin\npersahabatan panjang dengan Muhammad bin \u2018Abdul Wahhab. Hingga akhirnya\nberhasil melakukan brainwash terhadap Muhammad bin \u2018Abdul Wahhab, sehingga\nmampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari\najaran yang benar. Dan Muhammad bin \u2018Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang\nbisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.<\/p>\n\n\n\n

Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher\nmenggambarkannya sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup,\nsombong, dan bodoh.<\/p>\n\n\n\n

Jika memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh kolonial Inggris.<\/p>\n\n\n\n

Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang merupakan gerakan keagamaan. Meskipun pada perkembangan berikutnya, adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.<\/p>\n\n\n\n

Untuk menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan\nkontroversial ini, perjalanan sejarah Wahhabisme akan coba di paparkan dalam\ntiga periode:<\/p>\n\n\n\n

Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahabi-Saudi<\/strong><\/h5>\n\n\n\n

Huraymilah terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur\njazirah Arab. Di sinilah dakwah Ibnu \u2018Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari\npengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari masyarakat\nsetempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Pada periode ini, Ibnu \u2018Abdul Wahhab menyusun sebuah buku\nkecil sederhana yang diberi judul Kitab al-Tauhid, sebuah rujukan yang miskin\nbobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada penjelasan yang menunjukkan\nbangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang kitab ini, simak komentar\nProf. Hamid Algar:<\/p>\n\n\n\n

Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental\nseperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits\ntanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.<\/p>\n\n\n\n

Adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini\ndan karya-karya lain Muhammad bin \u2018Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan\nseorang pelajar.<\/p>\n\n\n\n

Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan\nketipisan karya Muhammad bin \u2018Abd Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu\nperlu dipertebal ukurannya.<\/p>\n\n\n\n

Setelah empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat kelahirannya, \u2018Uyaynah, yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan.<\/p>\n\n\n\n

Penguasa setempat, yaitu \u2018Utsman ibn Mu\u2019ammar memperluas perlindungannya kepada Muhammad bin \u2018Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu \u2018Abdul Wahhab.<\/p>\n\n\n\n

Perlindungan penguasa membuat Ibnu \u2018Abdul Wahhab semakin tak\nterkendali. Ia semakin terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang\ndianggapnya melakukan bid\u2019ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah\nkaum Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur\u2019an yang dianggapnya\nmenyimpang.<\/p>\n\n\n\n

Namun ini tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, \u2018Utsman ibn Mu\u2019ammar, menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke Al-Dir\u2019iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa\u2019ud, yang notabene bermusuhan dengan amir \u2018Uyainah saat itu.<\/p>\n\n\n\n

Di sinilah Ibnu \u2018Abdul Wahhab mendapat perlindungan. Selanjutnya terbentuklah sebuah aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa\u2019ud mendapatkan legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu \u2018Abdul Wahhab diuntungkan dengan diangkatnya menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan sebagai mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa\u2019ud mengawini salah seorang putri Muhammad bin \u2018Abdul Wahhab.<\/p>\n\n\n\n

Sebuah aliansi yang tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Prof. Abdullah Mohammad Sindi menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting dalam rangka terwujudnya aliansi tersebut. Melalui dukungan uang dan senjata, Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Inilah babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang\nkelak mengontrol ketat segala macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di\nArab Saudi.<\/p>\n\n\n\n

Muhammad bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab.<\/p>\n\n\n\n

Tahun 1159 H\/ 1746 M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad.<\/p>\n\n\n\n

Mula-mula mereka menyerang madzhab Syi\u2019ah, kemudian kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak mau mengikuti madzhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.<\/p>\n\n\n\n

Dalam kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat\nmenjadi kekuatan dominan di jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa\u2019ud\nberkembang seluas 30 mil persegi.<\/p>\n\n\n\n

Tahun 1206 H\/ 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan\npenguasa Madinah, Muhammad bin \u2018Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak\nmengurangi motivasi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Malah, kekuatan\nmereka tumbuh semakin besar.<\/p>\n\n\n\n

Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi\u2019ah di Karbala, tercatat 4000 orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka menghancurkan makam Imam Husain di sana.<\/p>\n\n\n\n

Tahun 1810 mereka membunuh orang-orang tak bersalah di jazirah Arab. Di Makkah mereka menjarah orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah mereka menyerang dan menodai Masjid dan makam Nabi.<\/p>\n\n\n\n

Menyadari kekuatan yang semakin besar, maka target\nselanjutnya adalah melepaskan diri dari dari Imperium Utsmani. Tidak butuh\nwaktu lama, ekspansi Wahhabi berhasil menimbulkan instabilitas di wilayah\nkekhalifahan tersebut, terutama di semenanjung Arabia, Irak dan Syam.<\/p>\n\n\n\n

Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru<\/strong><\/h5>\n\n\n\n

Pendudukan kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi, yakni Kerajaan Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih, berbagai aksi teror yang dilancarkan kelompok Wahabi itu telah membangkitkan kemarahan kaum Muslim sedunia.<\/p>\n\n\n\n

Untuk menindaklanjutinya, Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan kelompok Wahabi. Dir\u2019iyyah pun diratakan dengan tanah. <\/p>\n\n\n\n

Abdullah al-Sa\u2019ud, amir saat itu, beserta dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik kepalanya dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana.<\/p>\n\n\n\n

Ini merupakan sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah kepada orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.<\/p>\n\n\n\n

Kekalahan itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api permusuhan terhadap kelompok Muslim lainnya. Tapi ironisnya, semakin mendekatkan diri kepada kolonial Inggris.<\/p>\n\n\n\n

Ini terlihat ketika tahun 1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari tahanannya di Kairo, kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.<\/p>\n\n\n\n

Di awal abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris\nsemakin berhasil merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi\nsaat itu, Abdul \u2018Aziz, dimanfaatkan. Lagi-lagi, teror kembali dilakukan\nkelompok Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang dibantai\nsecara kejam.<\/p>\n\n\n\n

Berkat sokongan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi\nWahhabi-Saudi di bawah kepemimpinan Abdul \u2018Aziz berhasil menaklukkan hampir\nseluruh jazirah Arab. Puncaknya, tahun 1932 kerajaan Saudi Arabia terbentuk.\nIni menandai periode kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.<\/p>\n\n\n\n

Periode Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya\nIkatan<\/h5>\n\n\n\n

Periode ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak\ndan peralihan dari Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka.\nKembali aliansi ini dijadikan instrumen istimewa untuk kepentingan Amerika dan\nsekutunya di Timur Tengah.<\/p>\n\n\n\n

Melalui kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini, Saudi dan Wahhabismenya itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang melekat kepadanya, tetapi juga secara dramatis berusaha meningkatkan citra diri di tengah dunia Islam.<\/p>\n\n\n\n

Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan reformis yang semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam. Sang pendiri, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu yang telah berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.<\/p>\n\n\n\n

Hal-hal memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha\ndieliminasi. Perlakuan diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai warga kelas\ntiga semakin dikurangi. Tetapi isu-isu sektarian yang menyangkut perlakuan\nburuk terhadap mazhab minoritas, terutama Syi\u2019ah, tetap berlangsung.<\/p>\n\n\n\n

Namun seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan\nantara kelompok keagamaan Wahabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara. Pemicu\nutamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai munculnya\ngejala sekularisasi. Sejumlah kecil orang mulai berani mengecam dan berani\nmengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.<\/p>\n\n\n\n

Pemberontakan di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad \u2018Utaibi, seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan awal adanya kekecewaan pada sebagian kalangan terhadap kerajaan Saudi.<\/p>\n\n\n\n

Dikuasainya Masjidil Haram oleh sekelompok bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun meledak. Lalu tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan situasi di tanah suci.<\/p>\n\n\n\n

Perang teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika\nsemakin membuat lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.<\/p>\n\n\n\n

Sementara pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahabi justru menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi.<\/p>\n\n\n\n

Lantas orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama Wahabi ketika Irak diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel selama 33 hari, juga ketika genosida terhadap rakyat Palestina berlangsung hingga kini?<\/p>\n\n\n\n

Jawabnya sederhana: haram membantu perjuangan orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka. Itu pula yang menyebabkan kerajaan Saudi setengah hati ketika mendukung penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota bene berpaham Wahabi.<\/p>\n\n\n\n

Maka ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal 11 September 2001, ulama Wahabi bernama \u2018Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap WTC.<\/p>\n\n\n\n

Tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga Kerajaan Saudi. Namun meski demikian, masih banyak jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.<\/p>\n\n\n\n

3. Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme?<\/strong><\/h4>\n\n\n\n

Ada pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan\nSalafisme, apakah keduanya sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering\npula mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf. Namun jika ditinjau dari\nkategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara keduanya.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi\ndi dunia Islam, berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat,\nmuncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad\n\u2018Abduh, Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimin, dan\nsingkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan yang dikenal sebagai\nSalafiyah.<\/p>\n\n\n\n

Diantara tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis dan konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah kepada masa lalu dan para pendahulu yang saleh (al-salaf al-shalih), karena itu gerakan mereka disebut sebagai Salafiyah.<\/p>\n\n\n\n

Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha merekonsiliasi ide-ide \u201cmodern\u201d dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan) kembali kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama.<\/p>\n\n\n\n

Akibat situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih erat antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu Mesir dan Arab Saudi.<\/p>\n\n\n\n

Di bawah payung organisasi Liga Dunia Muslim yang dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabi terwujud. Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika mereka mendekatkan diri kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Padahal kekhawatiran mereka sangat beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme asing. Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi seperti Rasyid Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang pahlawan, mulai bersimpati pada Wahhabisme.<\/p>\n\n\n\n

Di tengah transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu yang dikenal bercorak keras adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid Quthb (w.1960).<\/p>\n\n\n\n

Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer sebagai neo-Jahiliyyah, namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis yang lebih muda dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah).<\/p>\n\n\n\n

Implikasi paling serius yang telah dielaborasi adalah konsep takfir. Muslim nominal (Islam \u201cKTP\u201d) telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan dibunuh.<\/p>\n\n\n\n

Watak radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang\nmenyamakan Salafisme dengan Wahhabisme. Memang Salafisme memiliki sejumlah\nkesamaan pandangan keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup\nmencolok. Adapun yang membedakannya adalah sebagai berikut:<\/p>\n\n\n\n

1. Salafi lebih menekankan\npersuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima\npandangan mereka.<\/li>
2. Salafi memiliki kesadaran\ndan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia\nIslam.<\/li>
3. Salafi merekonsiliasikan\nide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

   Perbedaan di atas bisa ditarik ketika, sekali lagi istilah\nSalafisme dikaitkan dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan\nsebelumnya. Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama\nyang berkembang di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

   IV. Sekilas Ajaran Wahhabisme<\/strong><\/h4>\n\n\n\n

   Setelah memaparkan sejarah perkembangan Wahhabisme, penting\nkiranya untuk sedikit menyinggung doktrin utama ajaran mereka.<\/p>\n\n\n\n

   Dari paparan sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca\nbagaimana corak ajaran mereka. Namun di bagian ini kami akan mencoba sedikit meringkasnya\nseraya menambahkan beberapa poin yang dianggap penting.<\/p>\n\n\n\n

   Kaum Wahhabi, seperti pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir sangat linier, literal, kaku, serta sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur\u2019an maupun hadits.<\/p>\n\n\n\n

   Umumnya mereka menolak majaz (metafora). Bagi mereka, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Sehingga bid\u2019ah hanyalah sebuah eufimisme, kata pelembut untuk \u2018kafir\u2019.<\/p>\n\n\n\n

   Mereka juga menolak keberadaan seni dan budaya dalam Islam, serta tidak mementingkan peninggalan sejarah Islam. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat kelahiran Nabi SAW, rumah Ummul Mu\u2019minin Khadijah ra, serta tempat tinggal Nabi dihancurkan.<\/p>\n\n\n\n

   Padahal, menurut Syaikh Ja\u2019far Subhani, awalnya Muhammad ibn \u2018Abdul Wahhab memusatkan upayanya hanya untuk menghancurkan kuburan-kuburan saja, bukan menghancurkan setiap peninggalan yang ditinggalkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang mulia.<\/p>\n\n\n\n

   Tetapi para pengikutnya kini telah meluaskan usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan Islam, dengan dalih perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah. Ini tentu sangat disayangkan dan penting untuk diperhatikan kaum Muslim di seluruh dunia.<\/p>\n\n\n\n

   Kian hari umat Islam mengalami persoalan yang kian menumpuk.\nNamun bagi Wahabi, persoalan utama umat Islam terletak pada masalah tauhid, di mana\nmereka membaginya menjadi tiga bagian:<\/p>\n\n\n\n

   1). Tauhid al-Rububiyyah<\/strong>. Tauhid ini mengandung arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb, penguasa dan pencipta dunia, yang menghidupkan dan mematikan. Tauhid ini sekadar pengakuan verbal yang dengannya saja belum memadai untuk mencapai kualitas sebagai Muslim.<\/p>\n\n\n\n

   2). Tauhid al-Asma wa al-Sifat<\/strong>. Mengandung pengertian hanya membenarkan nama dan sifat yang disebut dalam Al-Qur\u2019an. Tidak diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut kepada siapapun selain Tuhan. Ini merupakan ulangan dari apa yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam antropomorfisme.<\/p>\n\n\n\n

   3). Tauhid al-\u2018Ibadah<\/strong>. Mengandung pengertian bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid inilah yang dianggap paling penting, yang membatasi secara tegas antara Islam dan kufur, antara tauhid dan syirik. Di sini tauhid al-\u2018ibadah didefinisikan secara negatif, dalam arti menghindari praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif.<\/p>\n\n\n\n

   Inilah yang mengakibatkan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai penyimpangan. Ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak yang sangat keras. Maka segala macam bentuk tawassul, ziyarah, tabarruk, syafa\u2019at, hingga praktik-praktik yang telah menjadi tradisi dalam Islam Sunni dan Syi\u2019ah sepeti maulid, dianggap sebagai pelanggaran atas tauhid al-\u2018ibadah.<\/p>\n\n\n\n

   Dalam pandangan Wahhabi, bid\u2019ah dibagi menjadi dua:<\/p>\n\n\n\n

   1. Bid\u2019ah dalam adat dan tradisi;<\/li>
   2. Bid\u2019ah dalam agama.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

      Bid\u2019ah yang pertama hukumnya mubah\/ boleh, sedangkan yang\nkedua haram dan sesat. Bid\u2019ah yang kedua kemudian dibagi lagi menjadi dua:\nbid\u2019ah qawliyyah i\u2019tiqadiyyah dan bid\u2019ah fi al-\u2018ibadah.<\/p>\n\n\n\n

      Bagi Wahabi, kaum Syi\u2019ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni\ntelah melakukan bid\u2019ah baik bid\u2019ah qawliyyah i\u2019tiqadiyyah maupun bid\u2019ah fi\nal-\u2018ibadah. Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.<\/p>\n\n\n\n

      4. Refleksi<\/strong><\/h4>\n\n\n\n

      Wahhabisme pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil pemikiran seorang anak manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik lokal keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian Islam.<\/p>\n\n\n\n

      Bahwa kemudian ia dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan hegemoninya, ini adalah hal lain yang memang tak dapat dipungkiri, bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian.<\/p>\n\n\n\n

      Namun mengatakannya bahwa sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat lagi. Adapun memoar \u2018Confession of a British Spy\u2019 tidak cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan, walaupun tetap patut dibaca untuk \u2018meraba\u2019 situasi jazirah Arab saat itu.<\/p>\n\n\n\n

      Jika saja aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan berumur pendek saja.<\/p>\n\n\n\n

      Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu membuat mereka eksis hingga saat ini. Mereka memiliki modal kuat sehingga mampu menyebarluaskan paham Wahhabisme di dunia Islam, hingga ke Indonesia. <\/p>\n\n\n\n

      Dan penyebaran paham Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.<\/p>\n\n\n\n

      Karakteristik Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa didapati di Makkah dan Madinah.<\/p>\n\n\n\n

      Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, di tangan Wahhabi berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi label Universitas.<\/p>\n\n\n\n

      Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.<\/p>\n\n\n\n

      Imbas ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi.<\/p>\n\n\n\n

      Maka menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah seperti di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

      Memang sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman\nbudaya dan apresiasi terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya\ndalam Islam begitu kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan\nsufistik, seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan\ngairah spiritualisme.<\/p>\n\n\n\n

      Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif.<\/p>\n\n\n\n

      Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan baik Sunni ataupun Syi\u2019ah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.<\/p>\n\n\n\n

      Telah banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme.<\/p>\n\n\n\n

      Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke Universitas.<\/p>\n\n\n\n

      Mungkin membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahhabisme. Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam.<\/p>\n\n\n\n

      Lantas mereka mendapati di dalam Wahhabisme ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan yang tergolong bid\u2019ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan dalam bentuk sederhana dan \u201chitam-putih\u201d cocok bagi mereka.<\/p>\n\n\n\n

      Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru.<\/p>\n\n\n\n

      Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama \u201corisinil\u201d sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini.<\/p>\n\n\n\n

      Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona. Wallahua\u2019lam Bisshawab.<\/p>\n\n\n\n

      *Berdasarkan berbagai sumber dengan koreksi dan penambahan beberapa point yang kiranya penulis anggap penting.<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

      Pecihitam.org – Gerakan Wahhabisme muncul pertama kali di jazirah Arab pada abad ke-18 dengan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya, ini terjadi di antara kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang dogmatis, intoleran, sangat literal dan kaku yang diusung kelompok ini telah melahirkan penolakan total terhadap aliran pemikiran lain sampai ke tingkat yang […]<\/p>\n","protected":false},"author":14,"featured_media":14168,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[10,9],"tags":[48,71,5128],"yoast_head":"\n