Pecihitam.org – <\/strong>NU dan ulama-ulamanya merupakan salah satu penopang utuhnya NKRI, sekalipun hal ini diingkari oleh para pembenci NU. Kenapa NU bisa tetap eksis sebagai organisasi Islam terbesar dunia? Jawabannnya karena NU hati-hati dalam bersikap, di saat yang sama organisasi lain mudah kagetan.<\/p>\n\n\n\n Ketika ormas Islam lainnya mudah terpancing untuk mengomentari suatu informasi atau kondisi yang sedang terjadi, Nahdlatul Ulama (NU)<\/a> terlebih dulu mengedepankan kehati-hatian dalam menyikapi itu. NU tidak grasa-grusu yang pada akhirnya berujung malu atau bahkan penyesalan.<\/p>\n\n\n\n Sikap NU ini sejatinya dalam rangka meneladani para pendahulu agama ini. Imam Syafii<\/a> yang madzhabnya begitu banyak dipraktekkan oleh muslim dunia adalah salah satu teladan bagi ulama NU.<\/p>\n\n\n\n Imam yang bernama lengkap Muhammad bin Idris ini konon ketika ditanya tentang hukum agama, beliau tidak langsung serta merta menjawabnya. Tapi ia berpikir terlebih dahulu apakah lebih banyak manfaat atau mudlorot ketika ia memberikan jawaban.<\/p>\n\n\n\n Jadi masalahnya bukan beliau tahu atau tidak. Tapi lebih kepada aspek pertimbangan mana yang terbaik. Ini penting, terlebih di zaman fitnah seperti sekarang. <\/p>\n\n\n\n Karena orang yang bertanya tak jarang hanya ingin mencomot perkataan seseorang untuk dipertentangkan dengan orang yang berbeda, bukan karena benar-benar membutuhkan jawaban dari yang ia tanyakan.<\/p>\n\n\n\n Bahkan saking hati-hatinya, penulis Kitab Al-Umm<\/a><\/em> ini, pernah pada suatu kesempatan ditanya perihal jumlah kaki keledai yang beliau kendarai. “Wahai, Syaikh! Berapa jumlah kaki keledai, Tuan?”. <\/em><\/p>\n\n\n\n Bukan menjawab dengan spontan. Beliau malah turun dan memeriksa kaki keledai. Setelah yakin, beliau baru menjawab. “Jumlah kaki keledai ini empat”<\/em>, begitu kurang lebih jawaban beliau dengan mantap.<\/p>\n\n\n\n Orang yang bertanya keheranan geleng-geleng kepala. Bukankah begitu mudah menjawab pertanyaan jumlah kaki keledai. Tanpa dihitung pun sudah pasti keledai berkaki empat. Begitu pikirnya.<\/p>\n\n\n\n Ya, tapi begitulah Imam Syafi’i. Hati-hati dalam menyikapi pertanyaan. Inilah yang diterapkan oleh ulama-ulama NU. Aplikasi nyata dari sikap kehati-hatian ini bisa dilihat pada metode Bahtsul Masail<\/em> dalam tubuh NU.<\/p>\n\n\n\n Dalam tradisi Bahtsul<\/em> pada Lajnah Bahtsul Masail NU <\/em>atau pun yang dijalankan pesantren-pesantren pada umumnya, dalam menanggapi suatu persoalan hukum, tidak serta-merta dikeluarkan jawabannya.<\/p>\n\n\n\n Misal tentang hukum Tahlilan<\/a><\/em>. Ketika ada pertanyaan: “Bagaimana hukum menggelar Tahlilan kematian, apakah itu termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan Nabi?”<\/em><\/p>\n\n\n\n Dengan kehati-hatiannya, NU dalam Bahtsul Masail<\/em> tidak langsung menjawab bahwa Tahlilan<\/em> hukumnya haram dan merupakan bid’ah<\/a> yang sesat. Karena setiap yang baru yang tidak pernah dilakukan Nabi adalah bid’ah. Pelakunya diancam Neraka. Tapi harus melalui kajian yang bijak.<\/p>\n\n\n\n Pertama harus dipastikan tentang istilah bid’ah yang dimaksud Nabi. Kemudian dikaji juga apakah setiap yang tidak dilakukan Nabi otomatis bid’ah. Kajian terus berlanjut dengan hati-hati, tidak sembrono. Memperhatikan dalil dan illat<\/em>, dan seterusnya… dan seterusnya. <\/p>\n\n\n\n Hingga kemudian mendapatkan kesimpulan bahwa Tahlilan<\/em> hukumnya boleh bahkan dianjurkan. Karena yang dimaksud bid’ah bukanlah setiap perkara yang tidak pernah dilakukan Nabi. Tapi bid’ah adalah setiap perkara yang tak ditemukan dalilnya baik dalam Al-Quran, As-Sunnah maupun sumber hukum lainnya. Sedangkan Tahlilan<\/em> ada dalilnya.<\/p>\n\n\n\n