Pecihitam.org<\/strong> – Tradisi tafsir yang belum sempurna, mulai muncul selama masa Nabi Muhammad Saw. Al-Qur\u2019an menyatakan bahwa salah satu peran Nabi adalah untuk menjelaskan al-Qur\u2019an. Namun demikian, terdapat perdebatan seputar apakah nabi pernah memberikan penjelasan keseluruhan al-Qur\u2019an. Sedikit sekali penafsiran nabi atas al-Qur\u2019an yang terekam. <\/p>\n\n\n\n Setelah nabi wafat, para sahabat\nmemainkan peranan dalam menjelaskan dan menafsirkan al-Qur\u2019an. Meskipun jumlahnya\nsungguh banyak, akan tetapi hanya sedikit di antara mereka yang dilaporkan\nmemberikan kontribusi secara langsung terhadap penafsiran al-Qur\u2019an.<\/p>\n\n\n\n Para sahabat nabi yang terlibat dalam penafsiran memiliki beberapa sumber untuk memahami dan menafsirkan al-Qur\u2019an, yaitu: bagian dari teks al-Qur\u2019an itu sendiri yang menjelaskan bagian yang lain; informasi yang diterima dari nabi, baik yang bersifat lisan maupun praktik yang dilaksanakan; dan pemahaman mereka sendiri tentang apa yang dimaksud dalam teks al-Qur\u2019an. <\/p>\n\n\n\n Mereka juga akrab dengan bahasa al-Qur\u2019an, bagaimana konteks turunnya wahyu, bagaimana cara nabi berfikir, bagaimana norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan orang-orang Arab, dan semua hal yang memberi mereka dasar yang unik untuk memahami makna al-Qur\u2019an ditengah seluruh kerangka praktik kehidupan yang dibangun dan muncul dalam masyarakat Arab.<\/p>\n\n\n\n Namun demikian, tradisi penafsiran\nal-Qur\u2019an pada masa ini masih bersifat verbal ataupun lisan dan belum ada\nbentuk apapun yang bisa disebut sebagai teori atau ilmu tafsir. Sehingga,\npemahaman terhadap teks al-Qur\u2019an hanya terbatas pada dimensi lahirian teks dan\nmelalui apa-apa yang mereka alami selama hidup dalam konteks itu. <\/p>\n\n\n\n Sementara itu, kebutuhan akan\npenafsiran al-Qur\u2019an semakin meningkat pada masa generasi kedua muslim, atau\nyang dikenal sebagai generasi tabi\u2019in<\/em>, yang kelompok di dalamnya lebih\nberagam dan pada masa inilah mulai muncul apa yang disebut sebagai pengilmuan\nal-Qur\u2019an yang di antaranya adalah lahirnya ilmu tafsir dengan beragam corak\ndan dimensinya.<\/p>\n\n\n\n Pada era tabi\u2019in<\/em>, dua pendekatan berbeda dalam tafsir mulai muncul dan mengkristal, yakni yang menekankan pada \u201ctradisi atau riwayat\u201d dan yang menekankan pada \u201cakal\u201d. <\/p>\n\n\n\n Dalam tradisi Islam Sunni, tafsir yang berbasis pada tradisi dianggap sebagai bentuk penafsiran yang paling otoritatif karena disandarkan pada salah satu sumber otoritas keagamaan yang paling penting, yaitu Nabi, dan para sahabatnya yang mampu menguraikan makna al-Qur\u2019an berdasarkan instruksi Nabi. <\/p>\n\n\n\n Sementara, sebagian muslim berpendapat bahwa tafsir yang menekankan pada \u201cakal\u201d tidak dapat diterima, sebab, dalam pandangan mereka, al-Qur\u2019an melarang penafsiran seperti ini.<\/p>\n\n\n\n Setelah era tabi\u2019in, sebenarnya ada tiga kecenderungan utama dalam menafsirkan al-Qur\u2019an. Yakni pada abad ke tiga Hijriyah menjadi era kematangan perbedaan madzhab dan pemikiran dalam Islam. <\/p>\n\n\n\n Meskipun asal-usul madzhab tersebut telah terjadi pada pertengahan abad ke-1 H, dibutuhkan beberapa decade sebelum mereka mapan menjadi madzhab pemikiran tertentu. <\/p>\n\n\n\n Pada abad ke-3 H, arus utama kelompok religio-politik seperti Sunni<\/a><\/strong>, Syiah<\/a><\/strong>, dan Khawarij<\/a><\/strong> telah mengembangkan pendekatan yang berbeda terhadap ayat-ayat al-Qur\u2019an yang terkait dengan masalah hukum dan teologis. <\/p>\n\n\n\n Kelompok muslim yang cukup mayoritas umumnya dikenal sebagai Sunni, dan Syiah sebagai minoritas, sedangkan Khawarij sangat sedikit jumlahnya. Dengan demikian, istilah tafsir Sunni, Syiah, dan Khawarij, yang tidak begitu signifikan pada abad ke-1 H, mulai terbentuk secara solid pada abad ke-3 H.<\/p>\n\n\n\n Dalam konteks ini, ketiga madzhab di atas mengembangkan pola penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan konstruksi kepentingan yang mengitari mereka. <\/p>\n\n\n\n Berangkat dari bentuk penafsiran yang menekankan pada aspek riwayat dan akal, madzhab Sunni lebih mengedepankan aspek riwayat, sementara Syiah lebih menekankan pada aspek akal, dan Khawarij sangat radikal menekankan aspek riwayat dengan menolak seluruh dimensi akal sebagai cara untuk menfsirkan al-Qur\u2019an. <\/p>\n\n\n\n Sehingga menjadi jelas bahwa\nperkembangan ilmu tafsir pada era ini masih berputar-putar pada dua lingkaran\npenekanan di atas. Seluruh dimensi problematika konteks, dikembalikan pada cara\npenekanan mereka dalam memahami al-Qur\u2019an.<\/p>\n\n\n\n Di era modern, yaitu sejak pertengahan abad ke-19 M, penafsiran al-Qur\u2019an mulai menyala kembali dan dikembangkan lebih jauh. Penafsiran modernis berkembang sebab banyak dari kalangan kaum muslim, khususnya yang berorientasi non-tradisional, berusaha untuk mendefinisikan kembali pemahaman mereka tentang al-Qur\u2019an dari sudut pandang modernitas.<\/p>\n\n\n\n Pada masa inilah, banyak model penafsiran dikembangkan, hal ini dipicu oleh adanya stagnasi dalam ilmu tafsir klasik dan seakan tidak mengalamai perkembangan yang cukup signifikan. <\/p>\n\n\n\n