PeciHitam.org<\/strong> – Percaya atau tidak, sebenarnya dalam konsep bangunan fiqih mazhab Syafi\u2019i, keberadaan al-mash\u00e2lih-nya Imam Syafi\u2019i (konsep maslahat Imam Syafi\u2019i sebagai upaya mendapatkan kemaslahatan) adalah termasuk bagian yang kurang diperhatikan dalam skema penggalian hukumnya.<\/p>\n

Ilustrasi klasik perihal konsep maslahat Imam Syafi\u2019i<\/a> adalah jual beli buah kelapa. Untuk menghindari kerugian pembeli terhadap buah kelapa yang dibelinya sebagai buah dari ketidaktahuan (jah\u00e2lah), maka mazhab Imam Syafi\u2019i mengharuskan buah kelapa tersebut dikupas terlebih dahulu.<\/p>\n

Ketiadaan jah\u00e2lah ini masuk unsur syarat dalam jual beli lho! Nah, menarik bukan? Demikian halnya dengan jual beli barang lewat bai\u2019u al-mu\u2019athah (jual beli tanpa transaksi), melainkan hanya berpedoman pada \u2018urf yang berlaku saja. Dan ini pun masih dibatasi, bahwa barang yang dijual adalah tidak boleh berupa barang yang bernilai tinggi.<\/p>\n

Kalau barang yang remeh-temeh dan berharga kisaran 10 ribu ke bawah masih ada legalisasi kebolehannya. Termasuk jual belinya anak kecil, yang menurut mazhab Syafi\u2019i adalah dilarang disebabkan karena ia bukan ahli tasharuf (ahli dalam mengelola harta). Syarat ahliyati al-thasarruf ini juga masuk unsur syarat dalam rumpun jual beli mazhab Syafi\u2019i.<\/p>\n

Lantas bagaimana sebenarnya konsep maslahat Imam Syafi\u2019i ini menempatkan mashalih (menarik kemaslahatan) dalam fiqihnya tersebut?<\/p>\n

Pertama, kita amati bangunan sumber hukum (mash\u00e2diru al-ahk\u00e2m) mazhab Syafi\u2019i terlebih dahulu. Imam Syafi\u2019i menyatakan bahwa sumber hukum dalam Islam itu ada 4, yaitu Al-Qur\u00e2n, Al-Had\u00eets, Ijm\u00e2 dan Qiy\u00e2s. Selanjutnya, mari kita tengok sejarah munculnya qaul qadim dan qaul jad\u00eed Imam Syafi\u2019i.<\/p>\n

Sebelum sampai ke pembahasan itu, kita patut untuk bertanya: apabila praktik sumber hukum Imam Syafi\u2019i adalah hanya berpaku pada keempat mash\u00e2diru al-ahk\u00e2m di atas, mengapa terjadi perbedaan hukum dalam beberapa hal antara qaul qadim (pendapat lama; fatwa saat beliau di Iraq) dan qaul jadid (pendapat baru; fatwa saat beliau di Mesir), padahal kedua pendapat ini muncul dari seorang mujtahid yang sama?<\/p>\n

Mungkinkah Imam Syafi\u2019i tidak konsisten dalam metode penggalian hukumnya? Inilah yang patut kita cermati.<\/p>\n

Imam Syafi\u2019i, nama lengkapnya adalah Ab\u00fb Abdill\u00e2h Muhammad ibnu Idr\u00ees ibnu \u2018Abbas ibnu Utsman ibnu Syafi\u2019 ibnu Sa\u2019ib ibnu Ubaid ibnu Ab\u00ee Yaz\u00eed ibnu H\u00e2syim ibnu Muthallib ibnu Abd al-Manaf ibnu Qushay al-Sy\u00e2fi\u2019i al-Quraisy.<\/p>\n

Beliau lahir di wilayah perkampungan \u2018Asyqal\u00e2n – wilayah dataran tinggi pegunungan Ghalan – tempat kelahiran ulama besar abad berikutnya yaitu Syekh Ibnu Hajar al-Asyqal\u00e2ny, di Gaza, Palestina. Tahun kelahiran Imam Al-Syafi\u2019i adalah tahun 150 H dan wafat di perkampungan Fusth\u00e2th – Mesir, pada tahun 204 H. Jasadnya dimakamkan di wilayah yang sekarang terkenal sebagai Turbat al-Syafi\u2019\u00ee, dekat Masjid al-Syafi\u2019\u00ee, Mesir.<\/p>\n

Pada usia 13 tahun, Imam Syafi\u2019i sudah dikirim ke Mad\u00eenah al-Munawwarah untuk berguru kepada Imam M\u00e2lik, yang terkenal sebagai ulama besar saat itu. Beliau juga pernah bertemu dan berguru kepada Sufyan ibnu \u2018Uyainah dan murid-murid Imam Abu Han\u00eefah, di antaranya Muhammad bin Hasan, pemilik kitab Fiqh al-Ir\u00e2qy \u2013 yaitu fiqih ke-iraq-an.<\/p>\n

Melihat dari diksinya, maka kitab fiqih ini memang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Iraq. Sebuah pengertian yang hampir sama dengan istilah fiqih ke-Indonesia-an atau Islam Nusantara saat ini yang berisi manhaj (metode berpikir) penganut Mazhab Syafi\u2019i dalam menyikapi realitas Nusantara.<\/p>\n

Qaul qadim Imam Al-Syafi\u2019i dituangkan dalam kitab yang berjudul al-Hujjah. Perawi dari kitab ini adalah Imam Ahmad ibnu Hanbal (Imam Hanbal\u00ee), Ab\u00fb Tsaur, Za\u2019far\u00e2n\u00ee dan al-Kar\u00e2bis\u00ee. Qaul jad\u00eed beliau dituangkan dalam al-Umm yang diriwayatkan oleh murid-murid al-Syafi\u2019i, antara lain: al-Muzann\u00ee, al-Buwaith\u00ee, al-Rab\u00ee\u2019 dan al-Jizi.<\/p>\n

Sebelum al-Umm, beliau sempat menulis sebuah kitab yang menggambarkan keluasan dan kedalaman penguasaan beliau di bidang usul fiqih, yaitu kitab al-Ris\u00e2lah. Qaul qadim ditulis saat beliau masih tinggal di wilayah Baghdad, Iraq. Sementara qaul jad\u00eed ditulis oleh beliau ketika berada di Mesir.<\/p>\n

Latar belakang munculnya qaul jad\u00eed (pendapat yang baru) dari Imam Sy\u00e2fii adalah beliau melihat adanya realitas dan masalah baru yang berbeda dengan keadaan yang ditemuinya saat beliau berada di Baghdad. Akhirnya, berangkat dari kenyataan itu, beliau dipaksa untuk melakukan kajian ulang lagi untuk menyesuaikan dengan realitas dan kondisi baru itu.<\/p>\n

Sebagai tokoh yang ditempa dengan berbagai aliran fiqih selama perjalanan keilmuannya, dengan mudah beliau menyerap semua permasalahan sehingga lahir pendapat baru hasil ijtihadnya. Namun yang menarik adalah beliau ternyata tidak menyatakan bahwa pendapat baru tersebut bersifat me-nasakh (menghapus) dari pendapat yang lama kecuali pada kasus yang disebutkan nasakh-nya dan adanya kondisi yang sesuai (waq\u00ee\u2019).<\/p>\n

Mencermati frasa \u201ckecocokan kondisi\u201d seolah membawa kita pada pemahaman:<\/p>\n

1. Ternyata kedua qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi\u2019i tidaklah semata lahir dari ruang hampa atau sekedar menukil teks. Kedua versi hasil ijtihad itu lahir akibat sosio-historis yang melingkupinya sehingga harus dilakukan kajian ulang terhadap produk fiqih. Ini artinya, bahwa dalam setiap produk fiqih pada dasarnya adalah bukan merupakan sesuatu yang bersifat baku. Ia masih menerima sebagai sebuah bahan untuk didialogkan (q\u00e2bilu al-nuqasy).<\/p>\n

2. Ada sisi lain yang menuntut untuk turut dipertimbangkan dalam proses istidl\u00e2l dan istinbath, yakni kemaslahatan, meskipun porsi penempatannya adalah sangat kecil, yaitu setelah ditemui adanya realitas baru berupa dal\u00e2lah (objek hukum). Teori kemaslahatan dalam fiqih mazhab Syafi\u2019i, baru diakui dan diterima sebagai metode istidl\u00e2l (penggalian dalil) oleh kalangan Syafi\u2019iyah – seperti Syekh Zakaria al-Anshary dan Syekh Muhyiddin Ab\u00fb Yahya Al-Nawawi – setelah dua abad berikutnya sepeninggal beliau.<\/p>\n

3. Namun yang lebih menarik lagi adalah Imam Syafi\u2019i tidak pernah menggunakan istilah maqashid al-syar\u00eeah (tujuan pokok syariat) untuk menggambarkan maksud dari metode istidl\u00e2l-nya (pengambilan dalil). Beliau langsung saja menempatkan pertimbangan sisi kemaslahatan tersebut setelah menemui kebuntuan dalam penggunaan dalil yang berdasar dalil Al-Qur\u00e2n, al-Had\u00eets, Ijm\u00e2 dan Qiy\u00e2s. Metode istidl\u00e2l (pengambilan dalil) ini tampak sekali saat beliau menerapkan metode qiy\u00e2s dalam penggalian hukum dan seluruhnya tergambar di dalam kitab beliau yang bertajuk \u201cal-Ris\u00e2lah\u201d.<\/p>\n

4. Terakhir adalah, baik qaul jadid dan qaul qadim adalah tidak berkedudukan sebagai nasikh\u00a0dan mansukh (penghapus dan yang dihapus). Jadi, keduanya ada saatnya bisa digunakan setelah mencermati adanya kesesuaian situasi dan kondisi yang melingkupi para pengkaji.<\/p>\n

Wall\u00e2hu a\u2019lam bish shaw\u00e2b.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

PeciHitam.org – Percaya atau tidak, sebenarnya dalam konsep bangunan fiqih mazhab Syafi\u2019i, keberadaan al-mash\u00e2lih-nya Imam Syafi\u2019i (konsep maslahat Imam Syafi\u2019i sebagai upaya mendapatkan kemaslahatan) adalah termasuk bagian yang kurang diperhatikan dalam skema penggalian hukumnya. Ilustrasi klasik perihal konsep maslahat Imam Syafi\u2019i adalah jual beli buah kelapa. Untuk menghindari kerugian pembeli terhadap buah kelapa yang dibelinya […]<\/p>\n","protected":false},"author":16,"featured_media":17623,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[4],"tags":[5888],"yoast_head":"\n